Studi Sebut Planet Jupiter Melahap Banyak Planetesimal, Apa Itu?

Jupiter dikenal sebagai planet tertua di Tata Surya.

nasa
Pemandangan badai di Planet Jupiter yang ditangkap dengan teleskop Hubble.
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani  Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, LEIDEN -- Planet Jupiter hampir seluruhnya terdiri dari hidrogen dan helium. Jumlah masing-masing sangat sesuai dengan jumlah teoritis di nebula surya primordial.

Baca Juga

Namun, planet Jupiter juga mengandung unsur-unsur lain yang lebih berat, yang oleh para astronom disebut logam. Meskipun logam adalah komponen kecil Jupiter, keberadaan dan distribusinya memberi tahu banyak astronom mengenai banyak hal.

Dilansir dari Sciencealert, Senin (13/6/2022), menurut studi baru, kandungan dan distribusi logam Jupiter berarti bahwa planet ini memakan planetesimal berbatu di masa mudanya. Planetesimal adalah kumpulan debu dan gas yang kemudian bersatu dengan kerikil dan batu membentuk material yang lebih besar.

Sejak pesawat ruang angkasa Juno Badan Antariksa Amerika (NASA) mencapai Jupiter pada Juli 2016 dan mulai mengumpulkan data terperinci, temuan itu telah mengubah pemahaman ilmuwan tentang pembentukan dan evolusi Jupiter.

Salah satu fitur misi adalah instrumen Ilmu Gravitasi. Fitur ini mengirimkan sinyal radio bolak-balik antara Juno dan Deep Space Network di Bumi.

Proses ini mengukur medan gravitasi Jupiter terbentuk, itu dimulai dengan mengakresi material berbatu. Setelah jutaan tahun, Jupiter menjadi raksasa seperti sekarang ini.

Namun, ada pertanyaan penting mengenai periode awal akresi berbatu. Apakah itu menambah massa batu yang lebih besar seperti planetesimal? Atau apakah itu menambah material seukuran kerikil? Tergantung pada jawabannya, Jupiter terbentuk pada skala waktu yang berbeda.

Studi baru diterbitkan dalam jurnal Astronomy and Astrophysics. Penulis utamanya adalah Yamila Miguel, asisten profesor astrofisika di Observatorium Leiden dan Institut Penelitian Luar Angkasa Belanda.

Kita semakin terbiasa dengan gambar Jupiter yang indah berkat JunoCam dari pesawat ruang angkasa Juno. Tapi yang kita lihat sedalam kulit. Semua gambar awan dan badai yang memukau itu hanyalah lapisan terluas tipis 50 kilometer dari atmosfer planet.

Kunci pembentukan dan evolusi Jupiter terkubur dalam-dalam di atmosfer planet, yang kedalamannya puluhan ribu kilometer. Sudah diterima secara luas bahwa Jupiter adalah planet tertua di Tata Surya. Namun, para ilmuwan ingin tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan Jupiter untuk terbentuk.

Penulis makalah ingin menyelidiki logam di atmosfer planet menggunakan eksperimen Ilmu Gravitasi Juno. Kehadiran dan distribusi kerikil di atmosfer planet memainkan peran sentral dalam memahami pembentukan Jupiter. Eksperimen Ilmu Gravitasi mengukur distribusi kerikil di seluruh atmosfer.

Sebelum Juno dan eksperimen Ilmu Gravitasinya, tidak ada data pasti tentang harmonik gravitasi Jupiter. Para peneliti menemukan bahwa atmosfer Jupiter tidak sehomogen seperti yang diperkirakan sebelumnya.

Lebih banyak logam berada di dekat pusat planet daripada di lapisan lainnya. Secara keseluruhan, jumlah logam mencapai antara 11 dan 30 massa Bumi.

Dengan data di tangan, tim membangun model dinamika internal Jupiter. “Dalam makalah ini, kami mengumpulkan koleksi model interior Jupiter yang paling komprehensif dan beragam hingga saat ini dan menggunakannya untuk mempelajari distribusi elemen berat di selubung planet,” tulis mereka.

Tim membuat dua set model. Set pertama adalah model 3-lapisan dan yang kedua adalah model inti encer.

“Ada dua mekanisme bagi raksasa gas seperti Jupiter untuk memperoleh logam selama pembentukannya: melalui pertambahan kerikil kecil atau planetesimal yang lebih besar,” kata penulis utama Miguel.

“Kita tahu bahwa begitu bayi planet cukup besar, ia mulai mengeluarkan kerikil. Kekayaan logam di dalam Jupiter yang kita lihat sekarang tidak mungkin dicapai sebelumnya. Jadi kita dapat mengecualikan skenario dengan hanya kerikil sebagai benda padat selama pembentukan Jupiter. Planetesimal terlalu besar untuk diblokir, jadi mereka pasti berperan.”

Kelimpahan logam di interior Jupiter berkurang dengan jarak dari pusat. Itu menandakan kurangnya konveksi di atmosfer dalam planet, yang menurut para ilmuwan ada.

“Sebelumnya, kami mengira Jupiter memiliki konveksi, seperti air mendidih, sehingga tercampur sempurna,” kata Miguel. “Tetapi temuan kami menunjukkan hal yang berbeda.”

“Kami dengan kuat menunjukkan bahwa kelimpahan unusr berat tidak homogen dalam lapisan luar Jupiter,” tulis para penulis dalam makalah mereka.

“Hasil kami menyiratkan bahwa Jupiter terus menambah unsur-unsur berat dalam jumlah besar sementara selubung hidrogen-heliumnya tumbuh, bertentangan dengan prediksi berdasarkan massa isolasi kerikil dalam inkarnasinya yang paling sederhana, lebih menyukai model hibrida berbasis planetesimal atau lebih kompleks.”

 

 

 
Berita Terpopuler