Catatan Kritis Ibnu Al Jauzi Terkait Praktik Tasawuf yang Menyimpang

Praktik tasawuf menyimpang kerap tak didasari ilmu syariat

Thoudy Badai/Republika
Ilustrasi praktik tasawuf menyimpang. Praktik tasawuf menyimpang kerap tak didasari ilmu syariat
Rep: Rossi Handayani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tak dapat dimungkiri praktik sebagian kalangan sufi yang aktif menggeluti tasawuf dan tarekat, telah bergeser dari hakikat dan subtansi tasawuf itu sendiri.  

Baca Juga

Dikutip dari buku Talbis Iblis karya Ibnu Al Jauzi dengan pentahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Istilah tasawuf atau sufi muncul guna menyebut ihwal suatu kaum sebelum tahun 200 Hijriyah. Pada waktu istilah ini dimunculkan oleh generasi pertama membahas dan menyebutkan ciri khas dengan banyak ungkapan.

Intinya, inti tasawuf adalah mengolah jiwa serta melatih watak dengan mencegahnya dari akhlak-akhlak tercela dan mendorongnya agar bisa berakhlak mulia, misalnya zuhud, santun, sabar, ikhlas, jujur, dan beragam sifat baik lainnya, yang mendatangkan banyak pujian di dunia dan pahala di akhirat.  

Ibnu Al Jauzi menyebutkan, demikianlah kondisi generasi pertama kaum sufi, sebelum Iblis mengelabui sebagian mereka dalam banyak aspek ideologi, juga mengelabui generasi setelah mereka yang menjadi pengikut mereka. 

Tiap satu generasi berlalu, Iblis makin berambisi menyesatkan generasi berikutnya, sehingga mereka semakin tertipu. Dan pada akhirnya, Iblis benar-benar leluasa menguasai generasi terakhir.  

Faktor yang membuat Iblis amat mudah menipu kaum sufi ialah terhalangnya mereka dari ilmu. Iblis memberi tahu ke mereka bahwa tujuan ilmu tak lain adalah amal. 

Setelah lentera ilmu mereka padam, mereka berjalan tidak tentu arah dalam kegelapan. Di antara mereka ada yang diberi tahu Iblis bahwa tujuan ilmu yaitu meninggalkan dunia secara total, sehingga mereka ini menolak apa saja yang diperlukan oleh tubuh, menyamakan harta dengan kalajengking, hingga mereka lupa bahwa harta diciptakan pula untuk menggapai maslahat. Mereka membebani jiwa secara berlebihan, sampai-sampai tidak pernah tidur.  

Baca juga: Neom Megaproyek Ambisius Arab Saudi, Dirikan Bangunan Terbesar di Dunia

Mereka ini, sebenarnya bermaksud baik, hanya saja salah jalan. Sebagian kaum sufi ada yang tanpa sadar telah mengamalkan hadits-hadits maudhu’ (riwayat palsu). Ini terjadi karena keterbatasan ilmu.  

Terdapat kerancuan dalam menjelaskan penisbatan istilah sufi. Kalangan lain berpendapat bahwa tasawuf dinisbatkan kepada Ahlush Shuffah (Sahabat yang tinggal di beranda rumah Nabi Muhammad ﷺ). Mereka berpendapat demikian lantaran Ahlush Shuffah memiliki sitat yang sama tentang sifat khas yang dimiliki oleh golongan Sufah, yaitu fokus beribadah kepada Allah dan konsisten hidup dalam kondisi fakir. 

 

Ahlush Shuffah adalah sekelompok orang-orang fakir umat Islam yang datang kepada Nabi ﷺ tanpa memiliki sanak keluarga ataupun mempunyai harta. Mereka dibuatkan tempat untuk berteduh di serambi atau beranda Masjid Rasulullah. Sebab kecenderungan itulah mereka disebut Ahlush Shuffah, orang-orang yang menetap di areal Masjid Nabi Muhammad ﷺ.  

Dari al-Hasan, dia mengutarakan: “Dibuatkan tempat berteduh bagi kaum dhuafa (fakir miskin), hingga kaum Muslimin memberikan sebagian rezekinya untuk mereka, semampunya.”  

Mereka tinggal di Masjid karena terpaksa, dan mereka memakan sedekah karena terpaksa. Buktinya, sesudah Allah memberikan kelapangan kepada kaum Muslimin, mereka keluar dari kondisi semacam ini dan tidak lagi tinggal atau menetap di beranda masjid.  

Dengan demikian, penisbatan sufi (صُوْفِي= penganut tasawuf) kepada Ahlush Shufah adalah keliru. Sebab, jika memang demikian, maka kata yang digunakan semestinya adalah Shufi (صُفِيٌ). 

Kalangan lain berpendapat bahwa sufi berasal dari kata shufanah, artinya sayuran yang keras dan pendek. Para sufi dinisbatkan kepada sayuran ini karena merasa cukup dengan memakan tumbuh-tumbuhan padang pasir. Ini juga keliru, karena jika benar mereka dinisbatkan pada sayuran ini, tentu mereka disebut Shufani.  

Menurut kalangan lainnya, sufi dinisbatkan kepada shufah, yaitu bulu yang tumbuh di bagian belakang leher. Karena halusnya, seakan-akan mereka terhubung dengan Khaliq (Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan dipalingkan dari makhluk. 

Yang lain berpendapat berbeda, tidak seperti itu. Terlepas dari semua persepsi tersebut, yang benar bahwa sufi dinisbatkan kepada shuf. Pendapat ini mungkin tepat, namun yang sahih adalah pendapat yang pertama.  

 

Kemudian kelompok-kelompok ini terpecah menjadi banyak sekali tarekat, sehingga aqidah mereka pun rusak. Di antara sufi ini ada yang menganut paham hulul (keyakinan terkait menitisnya Khaliq kepada makhluk, 'kita berlindung kepada Allah dari paham ini'), dan ada pula yang menganut paham ittihad (keyakinan terkait menyatunya Khaliq dengan makhluk).      

 
Berita Terpopuler