Ternak Terinfeksi PMK yang Boleh dan tidak Boleh untuk Qurban Menurut Fatwa MUI

MUI mengeluarkan fatwa setelah menerima permohonan dari Kementan terkait wabah PMK.

ANTARA/Irwansyah Putra
Petugas posko penanggulangan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Kabupaten Aceh Besar memeriksa kesehatan sapi yang terjangkit PMK di Blang Bintang, Aceh Besar, Aceh, Selasa (31/5/2022). Majelis Ulama Indonesia (MUI) hari ini telah mengeluarkan fatwa terkait hewan ternak untuk Idul Adha.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhyiddin, Deddy Darmawan Nasution, Idealisa Masyrafina

Baca Juga

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Selasa (31/5/2022) mengumumkan fatwa hewan yang terinfeksi virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) untuk dijadikan hewan qurban. Dalam fatwa ini diperinci ternak terinfeksi PMK yang boleh dan tidak boleh untuk dijadikan qurban.

Ketua MUI bidang Fatwa, KH Asrorun Niam mengatakan, fatwa ini keluarkan MUI setelah menerima permohonan fatwa dari Kemeterian Pertanian terkait pemotongan hewan qurban di tengah wabah PMK. Karena, menurut dia, hal ini menjadi masalah serius ketika ada pelaksanaan ibadah qurban. 

"Untuk itu Kementan mengajukan fatwa agar memperoleh panduan terkit dengan pelaksanaan qurban," ujar Niam saat konferensi pers di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (31/5/2022). 

Setelah MUI mendengar pendalaman dari ahli terkait virus PMK, barulah Komisi Fatwa MUI mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 32 tahun 2022 tentang hukum dan panduan pelaksanaan ibadah qurban saat kondisi wabah PMK. 

Niam menjelaskan, PMK adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus yang sangat menular dan menyerang hewan berkuku genap/belah seperti sapi, kerbau, dan kambing. Penyakit ini salah satunya bisa menyebabkan kurus permanen, serta proses penyembuhannya butuh waktu lama atau bahkan mungkin tidak dapat disembuhkan. 

Sementara, hewan yang bisa dijadikan kurban adalah hewan yang sehat, tidak cacat seperti buta, pincang, tidak terlalu kurus, dan tidak dalam keadaan sakit serta cukup umur. Sedangkan status hukum untuk hewan yang terkena PMK, Niam menjelaskan secara rinci. 

Niam menuturkan, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori ringan, seperti lepuh ringan pada celah kuku, kondisi lesu, tidak nafsu makan, dan keluar air liur lebih dari biasanya hukumnya sah dijadikan hewan qurban.

"Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau menyebabkan pincang/tidak bisa berjalan serta menyebabkan sangat kurus hukumnya tidak sah dijadikan hewan qurban," kata Niam. 

Kemudian, lanjut dia, hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat dan sembuh dari PMK dalam rentang waktu yang dibolehkan qurban (tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah), maka hewan ternak tersebut sah dijadikan hewan qurban.

"Hewan yang terkena PMK dengan gejala klinis kategori berat dan sembuh dari PMK setelah lewat rentang waktu yang dibolehkan berqurban (tanggal 10 sampai dengan 13 Dzulhijjah), maka sembelihan hewan tersebut dianggap sedekah bukan hewan qurban," jelas Niam. 

"Pelobangan pada telinga hewan dengan ear tag atau pemberian cap pada tubuhnya sebagai tanda hewan sudah divaksin atau sebagai identitasnya, tidak menghalangi keabsahan hewan qurban," ucap Niam. 

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda menjelaskan, fatwa ini mulai berlaku sejak ditetapkan pada 31 Mei 2022. Dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. 

Kiai Miftah menambahkan, persyaratan hewan qurban di antaranya harus sehat secara fisik, baik anggota tubuhnya tidak ada yang cacat, maupun tidak memiliki gangguan virus. Sementara, dia melihat dampak dari virus PMK ini dapat menyebabkan hewan tersebut tidak bisa jalan karena menyerang tubuh kaki.

“Oleh karena itu, harus berhati-hati, meskipun ada pernyataan dari dokter bahwa daging hewan yang sudah terpapar virus PMK itu layak dikonsumsi. Tetapi untuk hewan qurban memiliki persyaratan khusus,” kata Kiai Miftah kepada Republika.

“Hewan pincang saja tidak boleh digunakan untuk qurban, apalagi yang tidak bisa jalan,” jelasnya.

 

Sebelumnya, Menteri Pertanian Syarul Yasin Limpo, menyampaikan, kebutuhan hewan ternak untuk kurban pada Hari Raya Idul Adha 2022 diperkirakan mencapai 1,72 juta ekor. Jumlah itu naik 6 persen dari kebutuhan tahun lalu sebanyak 1,64 juta ekor.

Syahrul mengatakan, meski kebutuhan kurban tahun ini meningkat di saat adanya wabah PMK, ketersediaan sangat mencukupi. Pasokan hewan ternak yang disiapkan untuk kurban juga bukan dari wilayah yang kini terjangkit PMK.

"Potensi ketersediaan kurban sebanyak 1,73 juta ekor dan bukan dari daerah yang masuk zona merah terkonfirmasi PMK," kata Syahrul dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR, Senin (23/5/2022).

Syahrul mengatakan, pendataan dan sosialisasi PMK kepada para pedagang hewan kurban akan terus dilakukan kepada seluruh dinas kabupaten kota. Dengan begitu diharapkan pelaksanaan kurban pada Idul Adha dapat berjalan lancar.

"Kami sangat yakin 14 hari sebelum Idul Adha semua ternak sudah dalam posisi yang dibutuhkan dan masuk (ke daerah pemotongan)," kata Syahrul. Adapun Idul Adha akan jatuh pada 9 Juli 2022.

Lebih lanjut, Kementan mencatat terdapat 52 kabupaten kota di 15 provinsi yang saat ini terpapar wabah PMK. Kelima belas provinsi tersebut di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.

Syahrul mengatakan, perkembangan tersebut berdasarkan data hingga 17 Mei 2022. Adapun, total ternak ruminansia yang terdapat di 15 provinsi tersebut sebanyak 13,8 juta ekor. Namun, jumlah ternak yang terdampak PMK hanya 3,9 juta ekor.

"Dan yang mengalami sakit berdasarkan hasil konfirmasi tes PCR di laboratorium sebanyak 13.968 ekor atau 0,36 persen dari populasi yang terdampak," katanya.

Syahrul melanjutkan, berdasarkan kordinasi Kementan dengan para pemerintah daerah terdapat hasil menggembirakan dari penanganan PMK sejauh ini.

"Ternak yang sembut sebanyak 2.630 ekor atau 18,83 persen dari ternak yang sakit adapun yang mati sebanyak 99 ekor atau 0,71 persen dari ternak sakit," ujarnya menambahkan.

Pakar peternakan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof. Akhmad Sodiq menyarakan agar masyarakat menggunakan hewan ternak selain sapi untuk berkurban.

"PMK sebagian besar masih di sapi potong, untuk alternatif hewan kurban lain kan ada domba, kambing, kalau ketersediaan sapi potong berkurang," ujar Sodiq kepada Republika, Selasa (17/5/22).

 

 

 

Selain itu, saat ini pasokan sapi di Indonesia memang belum mencukupi. Dengan adanya PMK, lanjut Sodiq, dan jika perlu mengimpor, ia menekankan agar Pemerintah perlu lebih berhati-hati dengan mengecek wilayah asal sapi, apakah ada kasus PMK atau tidak. Seperti impor kerbau dari India, Pemerintah perlu mengecek wilayah-wilayah asal kerbau tersebut.

"Kalau tidak ada impor, sapi di Indonesia belum bisa dipenuhi, dan barangkali populasi sapi di Indonesia bisa berkurang. Kalau kemudian ada impor dan sebagainya, jadi harus lebih berhati-hati," ujarnya.

 

Penyakit mulut dan kuku (PMK) kembali muncul di Indonesia. - (Republika)

 

 
Berita Terpopuler