80 Persen Anak Perempuan Afghanistan Putus Sekolah

Taliban menutup sekolah menengah untuk anak perempuan sejak mereka merebut kekuasaan.

AP/Felipe Dana
Anak-anak perempuan berjalan ke atas saat mereka memasuki sekolah sebelum kelas di Kabul, Afghanistan, Ahad (12/9). 80 Persen Anak Perempuan Afghanistan Putus Sekolah
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sebuah analisis dilakukan oleh Save the Children dan UNICEF mengungkapkan sekitar 850 ribu gadis sekolah menengah di Afghanistan tidak dapat mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Banyak dari mereka yang terluka dan depresi karena pemerintahnya melarang mereka mengakses hak atas pendidikan.

Baca Juga

Dilansir dari Al Araby, Kamis (19/5/2022), hampir 80 persen anak perempuan ditolak haknya atas pendidikan di provinsi-provinsi di Afghanistan. Taliban menutup sekolah menengah untuk anak perempuan sejak mereka merebut kekuasaan pada Agustus tahun lalu.

Pemerintah Taliban sempat membuka sekolah untuk pertama kali pada akhir Maret lalu, tapi kemudian segera ditutup tanpa ada penjelasan secara rinci. Keputusan mengejutkan itu terjadi tak lama setelah pertemuan rahasia para pemimpin kelompok itu di kota Kandahar, pusat kekuatan de facto Taliban. Para pejabat terus mengklaim pendidikan anak perempuan harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

“Anak-anak perempuan benar-benar hancur ketika mereka tiba di kelas, bersemangat untuk tahun ajaran baru, (laku tiba-tiba) disuruh pulang,” kata Penjabat Direktur Regional Asia Save the Children Afghanistan, Olivier Franchi.

“Pendidikan adalah urat nadi bagi semua anak, terutama anak perempuan. Tanpa itu, mereka berada pada peningkatan risiko kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi, termasuk pernikahan dini. Tidak ada masalah administrasi, logistik atau lainnya yang mungkin dapat membenarkan kelanjutan kebijakan yang menolak akses anak perempuan ke pendidikan mereka,” kata dia.

Meskipun menjanjikan versi yang lebih lembut dari rezim keras mereka sebelumnya, dari 1996 hingga 2001. Tetapi fakta di lapangan, pembatasan Taliban versi rezim keras sebelumnya mulai merangsek masuk.

Wanita secara efektif dikucilkan dari sebagian besar pekerjaan pemerintah, dan diperintahkan berpakaian sesuai dengan interpretasi ketat Alquran versi Taliban. Taliban juga memerintahkan maskapai penerbangan Afghanistan menghentikan wanita dari naik pesawat kecuali mereka dikawal oleh mahram atau kerabat pria dewasa. Taliban juga melarang wanita melakukan perjalanan solo antarkota.

 

Pada Maret, dua menteri wanita Muslim, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Wakil Menteri Luar Negeri Qatar Lolwah Al Khater bersama-sama mengadakan pembicaraan dengan penjabat menteri luar negeri Taliban Amir Khan Muttaqi di Doha, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas hak-hak perempuan di negara itu. Mereka adalah perwakilan asing pertama yang bertemu dengan seorang pemimpin Taliban sejak kelompok itu melarang para gadis bersekolah.

Pada bulan yang sama, juru bicara kementerian luar negeri Qatar Majed Al-Ansari mengatakan penting bagi Taliban untuk mendengarnya dari dunia Muslim bahwa ajaran Islam tidak membatasi wanita. "Sementara kami memahami sensitivitas di balik janji untuk Afghanistan dalam iklim ini, kami juga menekankan pentingnya tidak mengisolasi Afghanistan lagi. Ini melegitimasi posisi radikal," katanya kepada wartawan pada Maret.

"Kita harus sangat kuat dalam mengutuk dan kita harus sangat jelas dalam berbicara dengan Taliban tentang pelanggaran hak asasi manusia tetapi juga kita tidak boleh meninggalkan Afghanistan. Kami telah meninggalkan Afghanistan sekali, dan kami tahu apa hasilnya,” kata Franchi.

Parvana (14 tahun) dari provinsi Kabul tidak dapat menghadiri sekolah formal karena ketakutan akan kekerasan. Ia menghadiri kelas pendidikan berbasis komunitas yang dikelola oleh Save the Children. 

“Ketika saudara laki-laki saya pergi ke sekolah dan saya sebelumnya tidak bisa, saya merasa tidak enak. Yang saya inginkan hanyalah pergi ke sekolah, belajar, menjadi seseorang di masa depan dan membuat keluarga saya dan orang-orang dari daerah ini bangga," kata Parvana. 

“Pendidikan tidak hanya penting untuk anak perempuan tetapi semua orang harus dididik. Tidak ada orang yang dilahirkan untuk tinggal di rumah. Kami dilahirkan untuk bekerja keras, belajar, dan mencapai tujuan kami," tambahnya. 

“Orang-orang takut ketika transisi kekuasaan terjadi, karena mereka tidak mengizinkan banyak anak perempuan pergi ke fasilitas pendidikan. Bahkan jika mereka diizinkan, anak perempuan terlalu takut untuk pergi ke kelas,” ungkapnya.

 

Diperkirakan hampir delapan juta anak usia sekolah membutuhkan dukungan untuk mengakses pendidikan saat ini di Afghanistan. Jumlah tersebut meningkat dari 2,6 juta dibandingkan tahun lalu.

Ketidakamanan, kemiskinan, tradisi budaya, infrastruktur yang buruk, materi pembelajaran yang tidak memadai dan kurangnya guru perempuan dan laki-laki yang berkualitas terus menjadi hambatan bagi anak-anak untuk mengakses pendidikan. Shukuria (28) berasal dari provinsi selatan Afghanistan dan menikah pada usia 17 tahun dengan seorang pria 35 tahun lebih tua darinya dan sekarang menjadi ibu dari lima anak. Suami Shukuria tidak bisa lagi bekerja dan putra sulungnya, yang berusia 12 tahun, bekerja di bengkel mobil untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.  

Dia tidak bersekolah sebagai seorang gadis dan tanpa pendidikan apapun, dia telah berjuang untuk mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi anak-anak dan suaminya. Pada usia 25, dia memutuskan mengenyam pendidikan dan sekarang didukung oleh kelas pendidikan anak perempuan Save the Children.

“Pendidikan adalah hal terpenting dalam hidup. Bagi anak-anak saya, saya berharap mereka belajar dan berkembang serta mewujudkan impian mereka. Bagi saya sendiri, saya berharap menjadi guru yang baik dan melayani siswa di masyarakat ini,” kata Shukuria.

Pada Maret, peraih Nobel Malala Yousafzai mengatakan pada pertemuan para politisi internasional dan pemimpin bisnis bahwa larangan tersebut akan lebih sulit untuk ditegakkan daripada selama periode pertama Taliban berkuasa.

"Saya pikir jauh lebih mudah bagi Taliban (untuk menegakkan) larangan pendidikan anak perempuan pada 1996," kata Yousafzai, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2014 atas perjuangannya untuk hak semua anak atas pendidikan.

“Kali ini akan jauh lebih sulit, karena perempuan telah melihat apa artinya dididik, apa artinya diberdayakan. Kali ini akan jauh lebih sulit bagi Taliban untuk mempertahankan larangan pendidikan anak perempuan,” tegasnya.

 

"Larangan ini tidak akan berlangsung selamanya,” ujar Yousafzai meyakinkan.

Taliban fundamentalis menghentikan anak perempuan dari bersekolah selama pemerintahannya di Afghanistan dari 1996 sampai digulingkan oleh koalisi internasional yang dipimpin AS pada 2001.

Yousafzai, yang selamat dari upaya pembunuhan Taliban Pakistan ketika dia berusia 15 tahun, mengatakan sekolah perempuan harus menjadi syarat untuk membiarkan negara yang diperintah Taliban itu kembali ke kehidupan internasional. "Mereka seharusnya tidak diakui jika mereka tidak mengakui hak asasi perempuan dan anak perempuan," katanya.

Dalam 20 tahun antara dua pemerintahan Taliban, anak perempuan diizinkan pergi ke sekolah dan perempuan dapat mencari pekerjaan di semua sektor, meskipun negara itu tetap konservatif secara sosial. Belum ada negara yang mengakui pemerintah Taliban dan banyak yang mengatakan mereka tidak dapat melanjutkan bantuan ke negara itu sampai hak-hak dasar, termasuk pendidikan, ditegakkan.

Kepala Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Achim Steiner memperingatkan Afghanistan berisiko menjadi krisis yang terlupakan kecuali jika Taliban membuka kembali sekolah untuk anak perempuan. “Komunitas internasional juga memiliki peran penting untuk dimainkan dan harus terus menyediakan dana untuk mendukung dan melindungi anak perempuan yang masih bersekolah. Sistem pendidikan di Afghanistan tergantung pada seutas benang dan sekarang bukan waktunya untuk mundur,” tambah Franchi Save the Children.

 

https://english.alaraby.co.uk/features/nearly-80-afghan-girls-are-out-school

 
Berita Terpopuler