Naskah Khutbah Jumat: Muhasabah di Akhir Ramadhan

Introspeksi diri diperlukan untuk menilai kuantitas dan kualitas ibadah Ramadhan.

ANTARA/Makna Zaezar
Umat Islam membaca Al Quran bersama-sama di Masjid Raya Nurul Islam, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (27/4/2022). Kegiatan Khataman Al Quran yang dilakukan 10 hari terakhir di bulan suci Ramadhan tersebut untuk meraih malam kemuliaan (Lailatulqadar) dari Allah SWT dengan memperbanyak amal ibadah yaitu membaca Al Quran, Shalawat, Shalat Tahajud (malam) dan berdzikir. Naskah Khutbah Jumat: Muhasabah di Akhir Ramadhan
Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH. Samsul Ma’arif

Baca Juga

Intisari Khutbah Jumat, 25 Ramadhan 1442 H / 7 Mei 2021 M, dilansir di Mimbar Jumat Edisi 1111 Tahun 2021 dari laman resmi Masjid Istiqlal.

Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah,

Waktu terus berjalan menemani kehidupan manusia, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Begitu juga dengan satu bulan Ramadhan dalam satu tahun penanggalan Hijriyah, hadir setiap tahunnya dan akan berganti dan pergi sesaat lagi meninggalkan manusia. Mungkin sudah tak terhitung kita berjumpa dengan Ramadhan, namun saat Ramadhan berlalu tak terhitung juga penyesalan karena kita tidak memaksimalkan Ramadhan untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas hubungan kita dengan Allah subhanahu wata'ala dan hubungan kita dengan sesama manusia.

Padahal dalam satu surat khusus Allah subhanahu wata'ala memperingatkan kita tentang ruginya manusia karena sudah lalai dengan waktu dan kesempatan yang Allah subhanahu wata'ala berikan.

Firman Allah subhanahu wata'ala dalam Alquran Surat Al-Ashr Ayat 1-3:

وَالْعَصْرِ (1)  إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)  

"Demi masa, sungguh, manusia berada dalam KERUGIAN, kecuali orang-orang yang BERIMAN dan mengerjakan KEBAJIKAN serta saling menasihati untuk KEBENARAN dan saling menasehati untuk KESABARAN."

Oleh karena itu, di akhir Ramadhan yang penuh berkah ini, sudah selayaknya kita menengok kembali ke belakang dan melakukan introspeksi diri. Introspeksi diri sangat diperlukan untuk menilai kadar kuantitas dan kualitas apa yang telah kita lakukan selama Ramadhan tahun ini.

Secara kuantitas, kita perlu melakukan banyak bermuhasabah. Misalnya tentang shalat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid, berapa kali kita menjadi ma’mum masbuq? Berapa kali kita luput dari shalat berjama’ah di masjid?

Berapa kali kita mendapatkan shaf pertama, shaf kedua, shaf ketiga dan seterusnya? Lalu tentang shalat sunnah, kita renungkan sejenak; berapa kali kita luput mengerjakan shalat sunnah rawatib qabliyah maupun ba’diyah?

Sudah rutinkah kita mengerjakan shalat Dhuha bulan mulia ini? Berapa kali kita tidak menyelesaikan shalat tarawih dan witir bersama imam di masjid?

Lalu sebagai seorang Muslim yang memiliki kitab suci Alquran, pertanyaannya, berapa juz dalam sehari yang bisa kita baca secara rutin? Berapa kali kita khatam membacanya dalam sebulan ini? Berapa ayat yang kita kaji dan pelajari tafsirnya dalam sehari?

Lalu tentang zakat dan infak, pernahkah kita memikirkan dan menghitung, berapa nominal zakat mal (harta) yang harus kita keluarkan dari hasil bisnis dan usaha kita?

Berapa jumlah zakat fitrah yang harus kita bayarkan untuk diri kita dan anggota keluarga kita? Berapa nominal harta yang telah kita infakkan untuk umat Islam di Gaza, Suriah, dan negeri Muslim lainnya yang terluka? Berapa harta yang telah kita berikan kepada fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan?

Kemudian tentang hak-hak ukhuwah dan kekerabatan, pertanyaannya, berapa kali kita sempatkan untuk bersilaturahmi kepada tetangga dan kaum kerabat selama sebulan ini? Berapa banyak persentase waktu, perhatian, dan bantuan yang kita berikan kepada mereka? Berapa kali kita menengok orang sakit dan mengantarkan pemakaman jenazah umat Islam selama sebulan ini?

Selain itu, yang mungkin tidak kalah pentingnya untuk direnungkan kembali berapa kali kita menggunjing, mengadu domba, berbohong, memfitnah, bersumpah palsu atau berkata-kata kotor selama bulan yang mulia ini? Berapa kali mata, telinga, perut, tangan dan kaki kita melakukan hal yang haram di siang dan malam Ramadhan tahun ini?

Berapa banyak kita menghambur-hamburkan harta kita untuk menu buka puasa dan sahur yang berlebih-lebihan? Berapa kali kita tidak melakukan shaum tanpa ada udzur yang syar’i? Renungan itu baru meliputi muhasabah yang berkaitan dengan kuantitas amal perbuatan.

Masih ada muhasabah lainnya yang juga penting, bahkan lebih penting, yaitu muhasabah yang berkaitan dengan kualitas amal perbuatan. Seperti apa kualitas shalat kita?

Sudah mampukah kita menghadirkan kekhusyuan dalam shalat-shalat kita? Sudah mampukah kita mendapatkan shaf-shaf awal dalam shalat berjama’ah di masjid?

Sudah mampukah kita memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunnah-sunnah dan adab-adab dalam shalat kita? Sudah mampukah kita menjaga dzikir dan doa setelah shalat kita? Jika diurai satu per satu, niscaya daftarnya akan sangat panjang.

Namun itulah sebenarnya yang disebut dengan muhasabah. Merenungi, meneliti dan mencari-cari kekurangan dari amal-amal yang telah kita kerjakan, semata-mata demi memperbaiki dan meningkatkan amal tersebut pada masa setelahnya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Muhasabah setelah beramal adalah sifat mulia kaum beriman.

Orang beriman beramal shalih, namun mereka tidak merasa bangga, kagum dan sombong dengan amal shalih mereka. Orang beriman bahkan dilanda oleh kekhawatiran jika amal yang telah mereka lakukan ditolak oleh Allah subhanahu wata'ala. Sebab amal shalih, bisa saja ditolak Allah subhanahu wata'ala karena secara lahiriah (ilmu fiqih = ittiba’ sunnah) belum memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunnah-sunnah dan adab-adabnya atau karena secara batiniah (faktor niat dan hati) mengandung unsur kesombongan, riya’, sum’ah, ‘ujub, dan virus-virus perusak amal lainnya.

Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Mu’minun Ayat 57-61, yang artinya:

"Sesungguhnya orang-orang yang (bersikap hati-hati) karena rasa takut mereka kepada (azab dan murka) Rabb mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang menginfakkan apa yang telah mereka infakkan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya” (QS. Al-Mu’minun: 57-61).

Makna ayat yang mulia ini telah dijelaskan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, “Wahai Rasulullah, firman Allah yang berbunyi ‘Dan orang-orang yang menginfakkan apa yang telah mereka infakkan, dengan hati yang takut’, apakah maksudnya adalah seseorang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?”

Maka beliau menjawab: “Tidak wahai putri Abu Bakar atau tidak wahai putri Ash-Shiddiq, tapi maksud ayat itu adalah seseorang yang mengerjakan shaum, melaksanakan shalat dan mengeluarkan sedekah, namun ia khawatir jika amal kebaikannya tersebut tidak diterima Allah." (HR Tirmidzi).

 

Inilah buah dari ilmu dan muhasabah. Seorang mukmin senantiasa beramal shalih, disertai perasaan harap dan cemas. Ia berharap Allah subhanahu wata'ala menerima amalnya dan memberinya balasan yang terbaik. Namun ia juga merasa khawatir jika Allah subhanahu wata'ala tidak menerima amalnya, karena adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam syarat, rukun, sunnah, adab maupun keikhlasan dari amal yang ia kerjakan.

Seorang ulama tabi’in, imam Hasan Al-Bashri, berkata "Seorang mukmin itu memadukan antara amal kebaikan dan rasa khawatir (amalnya tidak diterima Allah subhanahu wata'ala), adapun orang munafik justru memadukan antara amal keburukan dan rasa aman dari kemurkaan dan adzab Allah." (Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ayyi Alquran).

Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah,

Ramadhan akan selalu ditandai dengan transformasi dalam diri pelakunya serta masyarakat sekitarnya dengan mengalirnya amal shalih yang tiada putus-putusnya serta berbagai perbuatan terpuji lainnya. Bila setelah Ramadhan seseorang selalu berbuat baik, serta bisa memberikan sumbangsih untuk perubahan masyarakat di sekitarnya sampai ia menghadap Allah subhanahu wata'ala, maka jelas ia akan tergolong kelompok manusia yang meraih gelar takwa, mendapatkan pahala, dan kelak ia dapatkan adalah surga.

Dan sebaliknya, jika setelah melaksanakan ibadah Ramadhan seseorang masih seperti sebelum melaksanakan Ramadhan maka bisa dipastikan Ramadhannya tidak berkah dan ia gagal meraih predikat takwa. Namun begitu, kita memang tidak bisa menilai apakah seseorang itu benar-benar mencapai gelar takwa atau tidak.

Itu hak Allah. Namun kita bisa mengenali ciri-ciri orang yang meraih gelar takwa antara lain adalah terjadinya perubahan pribadi ke arah yang positif. Perubahan ini mencakup hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan lingkungan sekitar), juga mencakup kualitas ibadah jasmani dan rohani.

Sebagian dari dampak ibadah puasa Ramadhan bagi pelakunya adalah terjadinya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji. Indikator diraihnya gelar takwa pasca Ramadhan adalah jika pelakunya patuh melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wata'ala dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, baik semasa Ramadhan maupun nanti paska Ramadhan.

Ada banyak kriteria orang yang bertakwa yang disebutkan dalam Alquran maupun Sunnah. Di antara kriteria tersebut adalah, beriman, senantiasa mendirikan shalat, menunaikan zakat atau menafkahkan sebagian harta, selalu menepati janji, sabar, selalu berdoa kepada Allah, benar, tetap taat dan mengingat Allah, selalu beristighfar (meminta ampun) dan taubat kepada Allah dari semua dosanya. Di samping itu, menahan amarah, suka memaafkan, selalu berbuat baik, tidak melakukan perbuatan keji, shalat tahajud, amalan-amalan tersebut selalu dilakukan oleh yang bertakwa.

Kriteria berikutnya adalah ia akan memiliki sifat dan sikap terpuji seperti sabar, syukur, tawakkal, tasamuh (toleransi), pemaaf, tawadu’ dan sebagainya. Ia juga akan malu kepada Allah subhanahu wata'ala untuk melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Bersemangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam. Kemudian ia juga akan senantiasa bekerja keras dan tekun untuk memenuhi keperluan hidup dirinya, keluarganya dan dalam rangka membantu orang lain serta berusaha untuk tidak membebani dan menyulitkan orang lain.

Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah,

Semoga Allah subhanahu wata'ala memasukkan kita ke dalam golongan orang-oranِg Mukmin yang memadukan antara amal kebaikan, muhasabah dan rasa khawatir sebagaimana disebutkan dalam ayat Alquran dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 
Berita Terpopuler