Jejak Toleransi Beragama di Tanjungpinang Terlacak Sejak Era Kolonial

Warga etnik Melayu, Jawa, Bugis, dan China hidup berbaur di Tanjungpinang.

Republika/Prayogi
Toleransi antarumat beragama (ilustrasi). Berbagai etnik dengan agama berbeda hidup berbaur di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, sejak era Hinda Belanda.
Rep: Fuji E Permana Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Rumah Moderasi Beragama STAIN Sultan Abdulrahman Kepulauan Riau, Zulfa Hudhiyani, mengungkapkan, terdapat jejak sejarah toleransi antarumat beragama perwujudan dari moderasi beragama di Tanjungpinang sejak era pemerintahan Hindia Belanda. Sebagaimana diketahui, penduduk Tanjungpinang didominasi oleh etnik Melayu yang dianggap penduduk asli dan dominan.

"Selain itu terdapat juga etnik Bugis dan China yang sudah ratusan tahun berbaur dengan etnik Melayu sejak zaman Kesultanan Johor Riau Lingga," kata Zulfa saat Focus Group Discussion Keberagaman di Tanah Melayu yang diselenggarakan El-Bukhari Institute, Kamis (21/4/2022).

Zulfa menjelaskan, etnik lainnya, seperti Jawa, Minangkabau, dan Batak datang belakangan ke Tanjungpinang. Orang Jawa mulai ramai datang ke Tanjungpinang tahun 1960-an.

Baca Juga

Etnik Bugis awalnya ramai mendiami Kampung Bugis, sedangkan orang China mendiami Senggarang dan kawasan Pasar Tanjungpinang dan orang Jawa awalnya bermukim di Kampung Jawa. Dalam perkembangannya, tiap etnik menyebar ke sejumlah kawasan di Kota Tanjungpinang.

Kedatangan orang dari China secara besar-besaran ke Pulau Bintan terjadi sejak dibukanya perkebunan gambir dan lada tahun 1740-an di zaman Daeng Celak menjadi Yang Dipertuan Muda Riau. Ini menjadi bukti bahwa orang Melayu dan Bugis yang menjadi pemilik kebun gambir dan lada di Pulau Bintan terbuka menerima kedatangan etnik berbeda yang notabene juga berbeda agama.

"Ini (salah satu) bukti sejarah penerapan moderasi beragama ada di Tanjungpinang," ujar peneliti yang fokus pada riset ekspresi moderasi beragama di wilayah Sumatra ini.

Zulfa mengungkapkan, pada tahun 1741, Gubernur Belanda di Melaka melaporkan tentang Sultan Johor Lingga yang namanya Sulaiman Badrul Alamsyah menyambut kedatangan secara besar-besaran orang China dari Pulau Jawa ke Pulau Bintan. Dalam perkembangannya, etnik China menjadi etnik utama selain etnik Melayu di Tanjungpinang.

Pada tahun 1852, dalam daerah Government Hindia-Belanda di Tanjungpinang terdapat 1.165 jiwa orang China yang berusia 12 tahun ke atas. Mereka berasal dari etnik yang berbeda, yakni Teochew dan Hokkien.

Zulfa menjelaskan, etnik Teochew dan Hokkien awalnya saling bermusuhan di Tanjungpinang. Orang Teochew menempati daerah Senggarang, sementara orang Hokkien menempati wilayah Tanjungpinang.

"Kemudian Kapitan Tan Hoo berhasil mendamaikan kedua kelompok ini sehingga orang China di Tanjungpinang hidup rukun dan semakin berpengaruh. Ini bukti sejarah kedua penerapan moderasi beragama di Tanjungpinang," jelas Zulfa.

Menurut Zulfa, adanya toleransi beragama yang merupakan perwujudan dari moderasi beragama ditunjukan saat adanya pembangunan gereja di Tanjungpinang. Pada 14 Februari 1835, ada peletakan batu pertama gereja. Satu tahun kemudian gereja selesai dibangun dan diresmikan. Gereja tersebut dibangun dari sumbangan sukarela anggota jamaat gereja di Keresidenan Riau.

"Menariknya, pihak Kesultanan Riau Lingga melalui Yang Dipertuan Muda Riau, Raja Abdul Rahman, dan Kapitan Tan Hoo yang ada di Tanjungpinang ikut memberikan bantuan uang dan tenaga," ujar Zulfa.  

Zulfa mengatakan, saat pertama kali dibangun, gereja ini digunakan untuk peribadatan orang Belanda dan kerabatnya pemeluk agama Kristen. Dalam perkembangannya, gereja ini jadi gereja Protestan.

Zulfa menjelaskan, dalam upaya menciptakan harmonisasi antarpemeluk agama, pemerintah kolonial Belanda membangun rumah ibadah berdekatan, termasuk juga di Tanjungpinang. Provinsi Kepulauan Riau ini memang termasuk kota kolonial dan kota dagang.

"Gereja Protestan dibangun lokasinya tidak jauh dari Masjid Keling yang sekarang dikenal sebagai Masjid Agung Al Hikmah, dan Klenteng Tien Hou Kong atau Vihara Bahtra Sasana," kata Zulfa.

 
Berita Terpopuler