Sang Nenek: Karomah Para Menteri Sepanjang Zaman

Karomah seoraqng ibu

seputarsukabumi.com
Seorang wanita memperhatikan foto R.H. Didi Sukardi, menteri, pejuang kemerdekaan dan wartawan yang dikenal sebagai salah satu pahlawan di Sukabumi. Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wina Armada Sukardi, Jurnalis Senior dan Pakar Hukum Pers.

Bukan lantaran dia “dikelilingi” para menteri, kami mengaguminya. Memang suaminya, R.H. Didi Sukardi, pernah menjabat menteri Pasundan zaman 100 menteri. Begitu juga seorang mantunya, Hartarto Sastrosoenarto, menjadi menteri Perindustrian dan Menko pada era Presiden Soeharto. Lantas ada cucunya, Laksamana Sukardi, jadi 

Menteri BUMN di zaman Megawati, dan terakhir kiwari ada cucunya yang lain, Airlangga Hartarto menjadi menteri di pemerintahan Jokowi. Tapi kami takjub dan kagum kepadanya bukan karena itu, melainkan lantaran sosoknya memang patut dijadikan idola, setidaknya buat kami.

Dialah Hj Iyar Sekarningsih, nenek saya. Semua anak, cucu, cicit dan keturunanannya memanggil dengan sebutan satu kata yang sama: Ibu! Perlambang kehormatan kepada dirinya. 

Sebagaimana  lazimnya kaum perempuan zaman baheula yang miliki banyak anak, Ibu,    nenek saya itu, punya 11 anak. Dari anaknya itu telah beranak pinak lagi, dan kalau dijumlah  seluruh keturunannya mencapai sekitar 200 orang. Hebatnya, Ibu masih faham dan hafal satu persatu keturunanannya Ibu menjadi magnit buat seluruh keluarga besar kami. Kalau lebaran, di hari pertama, kami semua selalu berkumpul di rumahnya di Sukabumi, Jawa Barat. Bagi keluarga besar kami, sosoknya memikili kharisma luar biasa. Tanpa diminta atau disuruh, kami merasa berkewajiban hadir di rumahnya pada hari pertama lebaran. 

 Ibu seorang yang cerdas, berwawasan luas, dan mempunyai pengetahuan detail lumayan dalam. Sewaktu adik saya sekitar 30 tahun silam, terima di IPB, dan melaporkan kepadanya, “Di IPBnya fakultas apa?” tanyanya  kepada adik saya. 

 “Perternakan Bu,” jawab adik saya.

Jangankan buat nenek-nenek, buat banyak orang tua saja, sudah tidak bisa atau sulit membedakan mana ITB, IPB atau bahkan UI. Apalagi sampai mengetahui fakultasnya. Tapi Ibu masih faham soal itu.

Hebatnya, otak Ibu seperti komputer, ketika berdialog dengan cucunya, dia faham benar latar belakang dan (kalau ada) persoalan cucu yang dihadapinya satu per satu, sehingga pembicaraan antara nenek dan cucu  “klik.”

Saya bersyukur, ketika kecil sempat dapat mencicipi hidup dan tinggal bersamanya sekitar empat tahunan.  Jadi sempat merasakan langsung getar-getar kehebatannya.

     

Ibu seorang yang taat beragama. Dari pengetahuan saya, dia  selalu menyambung sholat Maghrib dengan sholat Isya. Artinya, waktu selesai sholat magrib dia tidak keluar kamar lagi, tapi menunggu sampai waktu sholat isya. Sambil menunggu dia mengaji atau berdoa untuk keselamatan anak cucu keturunannya. Setelah sholat isya dilanjutkannya  lagi dengan berdoa cukup lama. Biasanya dia baru keluar kamar pukul 20-an.  Setelah itu Ibu baru makan malam.      

Sering pula ada beberapa botol air putih dihadapannya ketika dia berdoa seusai sholat Isya. Dia memohon kepada Allah agar melalui air putih yang didoakannya dapat membantu memberikan keselamatan dan kesehatan anak cucu keturunannya. Maka air-air itu selalu dibagikan kepada keturunannya. 

Pernah salah satu keturunannya, sudah siap akan dioperasi, tetapi  dua atau tiga hari sebelumnya lebih dahuku meminum air putih dari Ibu. Besok ketika mau dioperasi, ternyata penyakitny sudah  tidak ada. Dia tidak jadi dioperasi.

Meski Ibu percaya hal-hal spiritual seperti itu, tapi Ibu sangat kritis memandang dan menanggapi persoalan agama, baik yang aktual maupun “klasik,” termasuk persoalan yang relatif sensitif sekalipun. Pandangannya sejak lama sudah sering out of the box.

     

Saya pribadi dalam obrolan santai berdua dengannya, pernah ditanya dalam bahasa Sunda, “Kunaon agama Islam turun  na di Arab? (Kenapa agama Islam turunnya di Arab).”  Dalam berbicara Ibu memang masih banyak dan sering memakai bahasa Sunda, lantaran dia berasal dari Parahiyangan. Lahir dan besar di Sukabumi.

    “Kan karena dulu orang Arab bahlul, biadab  dan sadis,” jawab saya mengutip beberapa ceramah Kiai soal asal usul kenapa agama Islam turun di Arab. “Jadi untuk memperbaiki moral bangsa Arab.” 

     “ Menurut Ibu, itu mah kurang tepat!” tegasnya. 

     “Tapi itu pendapat banyak Kiai, Bu!” Saya mencoba membantah.

      “Mungkin kiai-kaia itu  udah kurang mau berpikir lagi,” katanya kalem. 

Dia melanjutkan, “ Kalau agama Islam diturunkan di Arab karena alasan bangsa Arab dulu bahlul, biadab dan sadis, jadi Islam bisa tidak cocok untuk bangsa seperti Indonesia yang dari dulu sudah terkenal sabar, santun dan tegang rasa. Padahal kan agama Islam universal. Apalagi dari sejarah sudah jelas, pada  waktu itu banyak bangsa lain  di luar bangsa Arab yang kebudayaan lebih bahul, lebih biadab dan lebih sadis dari bangsa Arab. Emang gladiator, mengadu orang sampai mati, -teu _ (tidak) sadis?” paparnya.

      “Jadi kenapa Bu?”  kejar saya 

       “Kiye (begini). Apa alasannya sebenarnya,  hanya Gusti Allah yang tahu. Tapi kalau ikhtiar manusia untuk mengetahuinya  dan memberikan pemikiran, bisa ada alasan yang lebih wajar. Coba kamu ambil globe (bola dunia). Kamu periksa dimana letak zairah Arab? Orang  kita menyebutnya *timur tengah. * Artinya, jazirah Arah terletak di tengah-tengah dunia!”

     “Punten, saya belum mengerti Bu?”

       “Dengan terletak di tengah-tengah dunia, penyebaran agama Islam jadi lebih mudah. Lebih praktis. Lebih cepat. Coba  lamun (jika) turunnya di kutub utara, bagaimana penyebarannya?   Pasti dari hitungan apapun, ekonomi, sosial, politik dan nu sejen (lainnya), susah sekali,” jelasnya. “Wakaupun begitu, nu pang nyaho na (tapi yang paling tahu) tepat ya Gusti Allah. Ini mah cuma tafsir dari Ibu saja.”

     Saya manggut-manggut. Penjelasan yang logis. Sampai sekarang, setelah saya tua, saya masih menyakini kebenaran pendapat Ibu itu

      Kendati keturunan ningrat dan dari keluarga kaya, dia tidak diskriminatif. Dia mau bergaul dengan semua golongan.

       Ibu sangat anti ada anak keturunannya yang bersikap culas, curang, apalagi korupsi. Dia mengajarkan keturunanya untuk bersikap jujur, berani serta tanggung jawab. Pernah setelah saya mampu membeli rumah mungil di Pondok Indah, Jakarta Selatan, saya datang ke Sukabumi melaporkan hal ini kepada Ibu.

      “Alhamdullilah Bu, saya sudah punya rumah sendiri di Pondok Indah. Biar kecil tapi lumayan,” jelas saya kala itu.

     Saya sudah membayangkan sebagai nenek, Ibu bakal langsung bergembira menerima kabar dari cucunya ini. Nyatanya dia tak bereaksi  sesuai perkiraan, tepatnya harapan, saya. Dia cuma diam saja

      “Kamu punya uang cukup untuk beli rumahnya?” tanya Ibu menyelidik.

       “Alhamdullilah Bu.

Saya kerja keras, di beberapa perusahaan dan masih ditambah nyambi- nyambi macem-macem.

Suami isteri kan kerja juga.,” jawab saya

      Dia masih bergeming.

      “Masih kredit kok Bu,” tambah saya lagi.

       “Tapi bukan dari uang korupsi kan?” tiba-tiba dia nyeletuk.

Oh, ini rupanya perkaranya. Dia tidak mau cucunya korupsi. Logikanya hebat : bagaimana saya yang kala itu masih mudah, kok sudah bisa beli rumah di Pondok Indah? Darimana sumber keuanganya. Ibu ingin memastikan. Dia tak mau ada cucunya yang korupsi!!

“Oh bukan sama sekali, Bu. Bukan dari korupsi belinya. Hasil kerja keras berdua!” jelas saya dengan tekanan suara menyakinkan.

 Barulah wajahnya lega. Senyumnya mengembang. “Lamun kitu (kalau begitu), syukurlah. Allhamdullilah,”katanya.

Ibu bukan hanya tegas, adil dan jujur dalam perkataan dan pikiran tapi juga dalam pelaksanaanya. Dulu di belakang rumahnya terhampar luas sawah miliknya. Sawah itu dikerjakan oleh penduduk sekitar di sana. Pembagian hasilnya juga menarik, karena jauh dari membebani rakyat. Setiap hasil panen, seluruh padi dibagi tiga. Sepertiga bagian buat yang membantu panen, dan dua pertiga lainnya buat Ibu sebagai pemilik. 

 Sampai saya telah kuliah, kalau saya ke Sukabumi, saya masih diberikan “uang jajan” oleh Ibu.  Makanya ketika saya sudah lulus dari Fakultas Hukum UI, dan sudah mulai bekerja, saat menerima “uang jajan” dari ibu, saya bilang,”Bu ini yang terakhir saya terima dari Ibu. _Ayena abdi to damel. Tos loba artosna.Teu kedah dipasihan dei _ (Ibu, ini uang pemberiaan terakhir dari Ibu ya. Saya sekarang sudah bekerja. Uangnya udah banyak, jadi gak perlu dikasih lagi).”

Saya sengaja bilang “uangnya udah banyak” biar Ibu mau menghentikan memberi uang ke saya. Kalau cuma bilang “sudah kerja” dia pasti tak yakin, uang saya sudah cukup atau tidak. Memang salah satu kehebatan karakter Ibu, dia sangat menyayangi anak cucu keturunan, dan mewujudkannya dalam tindakan nyata. Secara intinktif dia faham mana cucu-cucunya yang berkecukupan,  dan mana yang masih perlu dibantu diberi “uang jajan.” Untuk saya, karena saya pernah tinggal bersamanya, jadi sampai saat itu tetap diberi “uang jajan.”

   

Sampai di hari tuanya, Ibu masih sehat walafiat. Pikiran masih jernih. Dia bahkan masih menjaga penampilan. Pernah  suatu saat, saya mau mengambil foto dirinya bersama anak-anak saya, dia minta waktu dulu sebentar  untuk memakai perhiasan, seperti peniti emas dan sebagainya. Sehari-hari Ibu memang memakai kain dan kebaya nasional atau kebayan model encim-encim. Proses foto belum semudah seperti sekarang, tetapi masih analog memakai film yang hasilnya harus dicuci cetak di laboratorium lebih dahulu

      “Ibu mah ti baheula tos tampil selalu resi

(Ibu sih dari duhulu sudah selalu tampil rapi),”katanya.

Kami para cucu, cicit dan keturunan sudah bertekad, kalau umur Ibu sampai mencapai 100 tahun, kami bakal ramai-ramai merayakan di JCC atau konvension hall. Besar-besaran. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Saat usianya 98 tahun ,  Sang nenek yang lahir 19 Desember 1900, dipanggil menghadapn Sang Kuasa pada 5 Agustus 1998. 

Kami keluarga besar, khususnya saya pribadi, kehilangan nenek yang menjadi tauladan. Seorang nenek yang tidak saja mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepada anak cucu dan keturunan, tapi juga seorang nenek yang menanamkan sikap berani, jujur, adil dan berwibawa.

      Alfatihah. 

       Tabik.

 
Berita Terpopuler