Kelompok HAM Tuduh Pasukan Regional Ethiopia Lakukan Pembersihan Etnis di Tigray

Penyelidikan organisasi HAM menemukan adanya praktik pembersihan etnis di Tigray

AP/Nariman El-Mofty
Anak-anak Tigrayan yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray Ethiopia berdiri untuk berfoto di dekat tempat penampungan sementara di kamp pengungsi Umm Rakouba di Qadarif, Sudan timur. Penyelidikan organisasi HAM menemukan adanya praktik pembersihan etnis di Tigray. Ilustrasi.
Rep: Fergi Nadira Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA - Laporan bersama dari kelompok hak asasi manusia (HAM) yakni Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International merekam bahwa angkatan bersenjata dari wilayah Amhara telah melakukan kampanye pembersihan etnis di Tigray. Pasukan militer memaksa ratusan ribu orang meninggalkan rumah dengan menggunakan ancaman, pembunuhan, dan kekerasan seksual.

Lebih dari 15 bulan peneliti dari Amnesty dan HRW mewawancarai lebih dari 400 orang, termasuk wawancara dengan penduduk Tigray dan Amhara, serta pengungsi Tigray di Sudan. Para peneliti juga berkonsultasi dengan laporan medis dan forensik, dokumen pengadilan, citra satelit, serta bukti fotografis dan video.

Laporan tersebut menuduh para pejabat dan paramiliter dari Amhara melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Tigray barat, Ethiopia utara. Amhara merupakan wilayah tetangga Tigray.

"Sejak November 2020, pejabat Amhara dan pasukan keamanan telah terlibat dalam kampanye pembersihan etnis tanpa henti untuk memaksa orang Tigray di Tigray barat meninggalkan rumah mereka," kata Direktur HRW Kenneth Roth seperti dikutip laman Guardian, Rabu (6/4/2022).

Menurut laporan tersebut, milisi dari Amhara bergabung dengan angkatan bersenjata Ethiopia dan sekutunya untuk merebut Tigray barat dalam beberapa pekan pertama perang. Milisi menggunakan penembakan dan eksekusi tanpa pandang bulu untuk memaksa orang pergi.

Laporan itu menyebut pasukan tersebut juga memasang tanda-tanda di kota-kota yang menuntut agar orang-orang pergi dan membuat ancaman untuk membunuh warga sipil yang ingin tinggal. Laporan itu mengatakan pasukan pemerintah terlibat dalam dugaan kejahatan tersebut.

"Otoritas Ethiopia dengan tegas membantah luasnya kejahatan yang mengejutkan yang telah terungkap dan gagal mengatasinya," kata Roth.

Laporan tersebut juga mengutip seorang wanita yang mengatakan dia telah diperkosa oleh tentara. Wanita itu menuturkan pasukan telah mengancamnya untuk memusnahkan orang etnis Tigray dan menghalalkan darah penduduk etnis Tigray.

Baca Juga

Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard mengatakan,tingkat pelecehan terhadap warga sipil belum dianggap cukup serius secara internasional. "Tanggapan mitra internasional dan regional Ethiopia telah gagal untuk mencerminkan beratnya kejahatan yang terus berlangsung di Tigray barat," katanya.

"Pemerintah yang peduli harus membantu mengakhiri kampanye pembersihan etnis, memastikan bahwa warga Tigray dapat kembali ke rumah dengan aman dan sukarela, dan melakukan upaya bersama untuk mendapatkan keadilan atas kejahatan keji ini," imbuhnya.

Amnesty dan HRW juga menuduh pasukan dan pejabat Amhara menolak bantuan kemanusiaan untuk warga sipil di Tigray barat. Ini pun menjadi isu yang menjadi perhatian PBB dalam beberapa bulan terakhir.

PBB mengatakan penutupan jalan berarti badan-badan kemanusiaan kehabisan persediaan dan bahan bakar, memaksa enam organisasi bantuan untuk menghentikan pekerjaan mereka pada Februari. Pekan lalu konvoi bantuan pertama selama 100 hari mencapai ibu kota Tigray, Mekelle, setelah gencatan senjata kemanusiaan diumumkan oleh Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed.

Perubahan batas yang membentuk zona Tigray barat telah diperdebatkan sejak tahun 1992 oleh penduduk Amhara yang tinggal di zona tersebut. Penduduk mengatakan pasukan Tigray telah menekan identitas mereka, termasuk melalui kekerasan.

Laporan juga menyoroti bagaimana pasukan Tigray melakukan kejahatan perang terhadap warga Amhara selama konflik, termasuk pembantaian Mai Kadra ketika pasukan Tigray dan penduduk Tigray menyerang Amhara di kota tersebut pada 9 November 2020, yang memicu serangan balasan. PBB mengatakan lebih dari 200 orang dibantai.

Juru bicara pemerintah Amhara, Gizachew Muluneh, mengatakan kepada Reuters bahwa tuduhan pelanggaran dan pembersihan etnis di Tigray barat adalah kebohongan dan berita buatan. Juru bicara pemerintah dan militer Ethiopia, mantan komandan pasukan khusus Amhara, dan administrator Tigray barat tidak segera menanggapi permintaan komentar.

Tigray Barat telah menyaksikan beberapa kekerasan terburuk dalam perang. Ini menjadi pemicu konflik pemerintah Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed dan sekutunya dari wilayah Amhara melawan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF).

TPLF mendominasi pemerintah Ethiopia sebelum Abiy naik ke tampuk kekuasaan pada 2018. Baik Amhara dan Tigray mengeklaim wilayah tersebut, yang dikendalikan oleh pasukan Amhara dan militer Ethiopia.

 
Berita Terpopuler