Vonis Lepas Pidana Sidang Unlawfull Klling yang Sudah Ditebak

Keluarga korban unlawfull killing menilai putusan hakim tidak berperikemanusiaan.

ANTARA/Sigid Kurniawan/
Terdakwa unlawful killing anggota Laskar FPI Briptu Fikri Ramadhan (kanan) dan Ipda M Yusmin Ohorella ((kedua kanan) didampingi Koordinator Tim Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat (kiri) mengukuti sidang putusan yang digelar secara virtual di Jakarta, Jumat (18/3/2022). Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis bebas kedua terdakwa meski dakwaan primer jaksa terbukti, perbuatan terdakwa tidak dapat dikenai pidana karena masuk dalam kategori pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Antara

Vonis bebas pidana bagi dua terdakwa pembunuhan anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dinilai tidak mengejutkan. Meski terbukti melakukan penghilangan nyawa terhadap enam pengawal Habib Rizieq Shihab, namun putusan persidangan unlawfull killing melepaskan dua anggota Resmob Polda Metro Jaya itu dari tuntutan pidana.

Pengacara FPI dan keluarga korban unlawfull killing, Azis Yanuar mengaku tak kaget dengan putusan lepas dari majelis hakim atas kasus tersebut. Karena dikatakan Azis, sejak awal kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tersebut naik ke penyidikan dan ke persidangan, kepengurusan FPI, maupun pihak keluarga korban, tak percaya dengan independensi lembaga hukum, maupun pengadilan yang menyidangkan dua terdakwa anggota Polda Metro Jaya, pelaku pembunuhan enam Laskar FPI tersebut.

“Kita melihat rangkaian proses hukum, sampai putusan dari kasus ini, sudah menebak jauh-jauh hari, bahwa pasti pelaku pembunuhan tersebut bebas,” kata Azis kepada Republika, pada Jumat (18/3/2022). Itu mengapa, sejak awal, dikatakan dia, dari FPI, maupun pihak keluara korban, merasa tak perlu untuk turut diperiksa, ataupun memberikan kesaksian terkait peristiwa KM 50 tersebut.
“Sejak awal, kita melihat semua rangkaian dan proses hukum, sampai pada persidangan kasus ini, berada dalam proses yang sesat,” kata Azis.

Azis pun menyampaikan, FPI, maupun pihak keluarga enam korban pembunuhan tersebut, tak perlu bicara banyak soal rangkaian proses hukum yang dinilai sesat tersebut. “Kita akan melihat putusan lepas ini, sebagai justifikasi dari hakim, atas perilaku pembunuhan yang membunuh korban dengan cara sadis, dan tidak berprikemanusian tersebut,” kata Azis.

Sementara kedua terdakwa, menyatakan menerima putusan lepas, dan segala pertimbangannya tersebut. “Kami menerima putusan dari hakim ini,” begitu kata kordinator tim pengacara terdakwa, Henry Yosodiningrat.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan keluarga korban dapat meminta jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan gugatan banding jika merasa tidak puas dengan putusan PN Jaksel. Keberatan terhadap putusan hakim tersebut harus dilakukan melalui ketentuan hukum yang berlaku, kata Poengky.

"Kompolnas menghormati proses hukum yang berjalan di pengadilan secara terbuka. Apabila keluarga korban atau pengacaranya tidak puas dengan putusan majelis hakim, maka dapat meminta jaksa penuntut umum mengajukan banding," katanya, Jumat.

Majelis hakim PN Jakarta Selatan, dalam sidang pembacaan putusan Jumat, memvonis dua terdakwa penembakan anggota FPI lepas dari sanksi hukum dan bebas dari seluruh tuntutan. Hakim memutuskan Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella bebas, meskipun kedua polisi itu terbukti melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan dalam dakwaan primer jaksa.

Ketua Majelis Hakim M. Arif Nuryanta dalam putusannya menyampaikan seluruh unsur dalam dakwaan primer jaksa terpenuhi. Dakwaan primer jaksa adalah Briptu Fikri dan Ipda Yusmin terbukti merampas nyawa orang lain, dengan menembak empat anggota FPI di dalam mobil Xenia milik polisi pada 7 Desember 2020. Perbuatan itu diatur dalam Pasal 338 KUHP.

Majelis hakim menilai penembakan itu merupakan upaya pembelaan diri para terdakwa, sehingga kedua polisi itu tidak dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP. Poengky menilai penggunaan Pasal 49 oleh majelis hakim dalam perkara itu tepat.

"Kami melihat penerapan Pasal 49 KUHP oleh majelis hakim, karena didukung dengan tindakan diskresi kepolisian sesuai undang-undang yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia bagi aparat penegak hukum," jelasnya.

Sementara Kejaksaan Agung menghormati keputusan sidang unlawful killing. "Kami hormati putusan pengadilan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.

Ketut juga menilai sikap jaksa penuntut umum untuk pikir-pikir terkait putusan majelis hakim tersebut sudah tepat. Menurut dia, jaksa penuntut masih menggunakan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir sambil mempelajari putusan hakim secara lengkap. "Kami pelajari dulu putusan lengkapnya, nanti baru penuntut umum mengambil sikap," ujarnya

Baca Juga




Hakim, dalam putusannya mengatakan, pembunuhan yang dilakukan oleh Briptu Fikri dan Ipda Yusmin adalah dalam rangka pembelaan terpaksa, dan pembelaan terpaksa melampai batas. Perbuatan yang dilakukan Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin, menurut majelis pengadil dalam putusannya menyatakan, dapat dimaafkan. Sehingga, dikatakan hakim, Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin tak dapat dipidana, dan harus dilepaskan dari tuntutan.

“Mengadili, menyatakan terdakwa Fikri Ramadhan, dan Yusmin Ohorella telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primer jaksa penuntut umum,” begitu kata Ketua Majelis Hakim Arif Nuryanta saat membacakan putusan pertama di PN Jaksel, Jumat (18/3/2022).

Ada tujuh bunyi putusan dalam sidang tersebut. Selain menyatakan perbuatan terdakwa Fikri, dan Yusmin terbukti sebagai pidana, namun hakim memutuskan untuk melepaskan keduanya, dengan alasan pemaaf, dan tindakan yang dibenarkan.

“Menyatakan perbuatan terdakwa Fikri Ramadhan, dan Yusmin Ohorella melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan jaksa penuntut umum adalah dalam rangka pembelaan terpaksa, dan pembelaan terpaksa melampaui batas,” sambung hakim Arif, dalam putusan yang kedua. Sebab itu, dalam putusan ketiga, majelis hakim menyatakan, keduanya, tak dapat jatuhi dipidana. “Menyatakan bahwa kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena ada alasan pembenar, dan pemaaf,” ujar hakim Arif.  

Atas dasar tiga putusan tersebut, pada amar selanjutnya, majelis hakim setuju untuk melepaskan terdakwa Fikri, dan Yusmin dari segala konsekuensi penghukuman. “Melepaskan terdakwa oleh karena itu, dari segala tuntutan hukum. Dan memulihkan hak-hak terdakwa, dan kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya,” begitu ujar hakim. Putusan majelis hakim tersebut, tentu saja tak sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). JPU, dalam tuntutannya meminta majelis hakim untuk menghukum terdakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin dengan penjara selama 6 tahun penjara.

Tuntutan tersebut, karena jaksa meyakini Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin melakukan penghilangan nyawa terhadap enam anggota Laskar FPI dengan cara melakukan penembakan dengan peluru tajam. JPU, mengacu pada dakwaannya, yang menebalkan sangkaan Pasal 338 KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagai ancaman primair, dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana juncto, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, sebagai ancaman subsidair. Tetapi, hakim dalam pertimbangan putusannya, punya alasan lain melepaskan terdakwa dari segala tuntutan jaksa.

Majelis hakim, dalam penjelasan praputusan mengatakan, pembunuhan yang dilakukan oleh Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin memang dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Hakim setuju dengan pembuktian JPU, yang menyebutkan para terdakwa menggunakan senjata api berpeluru tajam, menembak mati para anggota laskar. Selain dua anggota Resmob Polda Metro Jaya itu, terungkap yang turut serta melakukan pembunuhan, adalah Ipda Elwira Z Pribadi. Tetapi, pelaku pembunuhan terakhir, dinyatakan meninggal dunia sehingga tak dapat diajukan ke persidangan.

Hakim mengatakan, pembunuhan yang dilakukan oleh Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin, serta Ipda Elwira terjadi dalam dua peristiwa. Pada peristiwa pertama, Ahad (6/12) 2020, terjadi di Kilometer (KM) 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek), Jawa Barat (Jabar). Peristiwa pertama itu, berawal dari kegiatan para terdakwa yang melaksanakan tugas pembuntutan terhadap Habib Rizieq Shihab yang sedang menuju ke arah luar Jakarta dari kawasan Sentul-Bogor, Jabar.

Pembuntutan terhadap Imam Besar FPI itu dilakukan Resmob Polda Metro Jaya karena ditengarai adanya aksi massa FPI, dan PA 212 yang akan mengepung Mapolda Metro Jaya atas pemeriksaan Habib Rizieq Shihab terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan. Akan tetapi, dalam rangkaian aksi pembuntutan tersebut, para terdakwa dihalang-halangi oleh para anggota laskar. Hakim mengatakan, penghalang-halangan tersebut berujung pada aksi kejar-kejaran antara rombongan mobil terdakwa, dan mobil anggota laskar.

Aksi kejar-kejaran itu berakhir, di KM 50 Tol Japek, setelah dua anggota laskar FPI keluar dari mobil Chevrolet Spin untuk menyerang para anggota Resmob. Penyerangan itu, dikatakan majelis hakim menggunakan senjata tajam, dan senjata api. Atas serangan tersebut, para terdakwa bersama tim rombongan pengintai lainnya, melakukan penembakan ke arah para anggota laskar.

Kemudian terjadi penembakan yang dilakukan oleh Ipda Elwira Z almarhum, dan juga Ipda Yusmin, serta Briptu Fikri ke arah penumpang mobil anggota FPI yang menyebabkan dua anggota FPI, bernama Andi Oktiawan (33 tahun), dan Faiz Ahmad Sukur (22) ditemukan meninggal dunia di dalam mobil Chevrolet Spin.

Sedangkan pada peristiwa kedua, terjadi di dalam mobil Xenia setelah terdakwa Briptu Fikri, Ipda Yusmin, bersama Ipda Elwira menangkap empat anggota FPI lainnya. Yakni Ahmad Sofyan alias Ambon (26 tahun), Muhammad Reza (20), dan Luthfi Hakim (25), serta Muhammad Suci Khadavi (21). Dikatakan hakim, saat ketiga anggota Resmob itu hendak membawa keempat anggota laskar tersebut ke Mapolda Metro Jaya, di Jakarta, tepatnya pada KM 51+200 Tol Japek, terjadi perkelahian, dan upaya perebutan senjata api yang dilakukan oleh keempat anggota FPI, terhadap Briptu Fikri di dalam mobil.

Dikatakan hakim, Muhammad Reza mencekik, dan Muhammad Luthfi Hakim ikut membantu dan merebut senjata api milik terdakwa Britu Fikri. Sedangkan Ahmad Sofyan, dan Muhammad Suci Khadavi membantu pengeroyokan dengan menjambak rambut terdakwa Britu Fikri. Pada saat itu, terdakwa Ipda Yusmin memberikan aba-aba kepada Ipda Elwira. Dikatakan hakim, dengan seketika, Ipda Elwira yang berada di kursi depan dalam mobil menembak ke belakang, ke arah dada sebelah kiri dari Luthi Hakim sebanyak 4 kali.

Sedangkan tiga anggota FPI yang duduk di kursi belakang, kata hakim, masih menyerang, dan tetap berusaha merebut senjata api Britu Fikri. Sehingga, kata hakim, tangan Britu Fikri tertarik, atau tertekuk ke belakang dengan posisi terdakwa tetap menghadap ke depan. “Dan dalam posisi terdakwa Fikri tersebut, kemudian senjata semi otomatis, yang sudah terkokang meletus, dan mengenai, dada kiri M Reza, sebanyak 2 kali, serta mengenai dada sebelah kiri dari M Khadavi sebanyak 3 kali,” begitu kata hakim.

Melihat masih terjadi penyerangan dan perebutan senjata milik terdakwa Fikri, kemudian Ipda Elwira, kata hakim, menembak dada sebelah kiri dari Ahmad Sofyan sebanyak 2 kali. Sehingga empat anggota FPI yang berada dalam mobil Xenia meninggal dunia. “Berdasarkan dua peristiwa yang menjadi satu kesatuan tersebut, maka, unsur merampas nyawa orang lain dalam pokok perkara, telah terpenuhi menurut hukum,” begitu kata hakim dalam petimbangannya. Pun, dikatakan hakim, perbuatan melepaskan tembakan yang dilakukan terdakwa Briptu Fikri, Ipda Yusmin, dan Ipda Elwira terhadap anggota Laskar FPI, atas dasar kesadaran, dan diketahui dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa.

Meskipun begitu, hakim dalam pertimbangan lanjutannya mengatakan, bahwa rangkaian peristiwa pidana pertama, dan kedua yang dilakukan oleh terdakwa Briptu Fikri, dan Yusmin, dalam masa pelaksanaan penugasan resmi sebagai anggota kepolisian. Hal tersebut, kata hakim, dengan adanya bukti surat penugasan yang diterbitkan Dit Reskrimum Polda Metro Jaya, untuk para anggota Resmob Polda Metro Jaya yang melakukan rangkaian pengintaian sehingga terjadi dua peristiwa pembunuhan anggota Laskar FPI tersebut.

Selanjutnya, dikatakan hakim, perbuatan pidana berupa penembakan yang menghilangkan nyawa enam anggota Laskar FPI, pada kejadian pertama, dan kedua tersebut dilakukan oleh terdakwa Briptu Fikri, Ipda Yusmin, dan Ipda Elwira, dalam keadaan untuk pembelaan terpaksa, dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Pembelaan terpaksa pada kejadian pertama, dikatakan hakim karena adanya serangan yang mengancam nyawa para terdakwa, dan orang lain. Pembelaan terpaksa melampau batas pada kejadian kedua,  dikatakan hakim, karena adanya serangan yang mengancam nyawa para terdakwa, dan berdampak pada guncangan jiwa para terdakwa saat peristiwa itu terjadi.

Meskipun begitu, kata hakim menegaskan dalam pertimbangannya, pembelaan terpaksa, maupun pembelaan terpaksa melampau batas yang dilakukan terdakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin, juga Ipda Elwira tetap dinyatakan sebagai perbuatan tindak pidana. Akan tetapi, dapat mendapatkan pembenaran, dan pemaafan. Sehigga, dikatakan hakim, perbuatan pembelaan terpaksa, maupun pembelaan terpaksa melampaui batas tersebut, tak dapat dijatuhi hukuman.

Hal tersebut, kata hakim, mengacu pada Pasal 49 KUH Pidana. “Oleh karena itu, perbuatan pembelaan, tetap melawan hukum. Hanya orangnya, maupun pelakunya, tidak dapat dipidana. Karena guncangan jiwa yang hebat lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf,” begitu kata hakim. Atas putusan hakim, dan pertimbangan tersebut, jaksa belum memikirkan untuk melakukan banding.

Di persidangan, jaksa Paris Manalu, dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jaksel menyatakan, masih akan mempelajari putusan dari majelis hakim tersebut. “Kami (tim JPU) masih pikir-pikir atas putusan ini,” kata dia, di persidangan, Jumat (18/3).




 
Berita Terpopuler