Perjalanan Lintas Batas Anak-Anak dan Penyandang Disabilitas Ukraina 

Para pengungsi terus melarikan diri dari Ukraina ke negara tetangga.

AP Photo/Visar Kryeziu
Seorang warga Ukraina bersama bayinya melintas di perbatasan di Medyka, Polandia, Kamis (3/3/2022).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, ZAHONY -- Di antara satu juta pengungsi Ukraina, anak-anak, lansia, dan penyandang disalibitas paling rentan terkena dampak invasi Rusia. Mereka tidak dapat memutuskan sendiri untuk melarikan diri, dan membutuhkan bantuan untuk melakukan perjalanan ke tempat yang aman.

Baca Juga

Pada Rabu (2/3/2022) di kota Zahony, Hungaria, lebih dari 200 penyandang disabilitas Ukraina, yang berasal dari dua panti di ibu kota Kiev, turun ke di peron stasiun kereta api di tengah cuaca dingin. Mereka melarikan diri dari kekerasan yang mencengkeram Ukraina.

Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak, serta orang yang memiliki gangguan kesehatan mental dan fisik cukup serius. Mereka dievakuasi dari fasilitas perawatan setelah serangan Rusia di ibu kota Kiev semakin meningkat. 

"Tidak aman untuk tinggal di sana, ada roket, mereka menembaki Kiev. Kami menghabiskan lebih dari satu jam di bawah tanah selama pengeboman," ujar Direktur Panti Asuhan Svyatoshinksy di Kiev, Larissa Leonidovna.

Serangan intensif Rusia telah memaksa satu juta orang Ukraina pergi meninggalkan negara mereka. Seorang pejabat PBB mengatakan, konflik tersebut dapat menjadi krisis pengungsi terbesar di Eropa abad ini. 

Lebih dari separuh pengungsi atau hampir 505.000 telah pergi ke Polandia. Sementara lebih dari 116.300 telah memasuki Hongaria, dan lebih dari 79.300 telah menyeberang ke Moldova. Selain itu, 71 ribu lainnya telah melarikan diri ke Slovakia, dan sekitar 69.600 telah pergi ke negara-negara Eropa lainnya.

Sebagian besar dari mereka yang melarikan diri adalah orang dewasa yang berbadan sehat. Mereka berani melakukan perjalanan panjang dan terkadang berbahaya untuk mengungsi ke tempat yang aman. Sementara yang lainnya harus bergantung pada pengasuh atau pendamping mereka untuk menyelamatkan diri dari bahaya.

Seorang warga Ukraina memegang paspor sambil menunggu bus yang akan membawanya ke Jerman, di Przemysl, Polandis, Kamis (3/3/2022). - (AP Photo/Markus Schreiber)

“Anak-anak ini membutuhkan banyak perhatian, mereka memiliki penyakit dan membutuhkan perawatan khusus,” kata Leonidovna.

Anak-anak dari panti asuhan lainnya, yaitu Panti Asuhan Darnytskyy di Kiev turun dari kereta api, dan melanjutkan perjalanan ke Opole, Polandia dengan menggunakan bus. Mereka akan menerima perawatan lebih lanjut di Polandia.

"Total ada 216 anak-anak beserta pendamping mereka,” kata Wakil Direktur Panti Asuhan Darnytskyy, Viktoria Mikolayivna.

Cuaca dingin yang mencengkeram Eropa Timur pada Rabu (2/3/2022) membuat kondisi semakin sulit bagi mereka untuk melarikan diri ke negara-negara tetangga Ukraina. Di daerah perbatasan Palanca di selatan Moldova, suhu mencapai titik beku dan salju menutupi tanah.

Para ibu dengan anak-anak mereka yang masih kecil membungkus diri mereka dengan selimut dan pakaian tebal. Tetapi cuaca dingin telah membuat situasi menjadi lebih buruk.

Seorang ibu bernama Julia (32 tahun), mencoba menenangkan putranya yang berusia 3 tahun dan mengalami demam.  Julia merasa tidak berdaya, tetapi bangga telah membuat keputusan untuk membantu keluarganya.

“Saya bisa melindungi keluarga saya, tetapi saya tidak ingin meninggalkan negara saya.  Tetapi saya harus menemukan cara lain untuk melindungi keluarga saya,” kata Julia kepada The Associated Press.

Para pengungsi terus melarikan diri dari Ukraina ke negara tetangga Rumania melalui penyeberangan perbatasan Siret. Mereka menantang salju dan suhu di bawah titik beku. Seorang sukarelawan Palang Merahbdi Siret, Alina Onica (41 tahun), mengatakan, cuaca dingin dan salju semakin menambah tantangan dan kebutuhan para pengungsi yang terlantar akibat perang.

“Itu membuatnya lebih sulit karena banyak yang meninggalkan rumah mereka beberapa hari yang lalu, dan hanya mengenakan pakaian yang melekat di tubuh mereka. Mereka meminta sarung tangan, topi, dan selimut. Ini adalah krisis kemanusiaan dan kami berharap ini akan segera berakhir," kata Onica.

A woman holds her newborn baby inside a basement used as a bomb shelter at the Okhmadet childrens hospital in central Kyiv, Ukraine, Monday, Feb. 28, 2022. Explosions and gunfire that have disrupted life since the invasion began last week appeared to subside around Kyiv overnight, as Ukrainian and Russian delegations met Monday on Ukraine’s border with Belarus. Its unclear what, if anything, those talks would yield. Terrified Ukrainian families huddled in shelters, basements or corridors, waiting to find out. - (AP/Emilio Morenatti)

Seorang pengungsi lainnya, Nastya Kononchu berharap dapat mencapai ibukota Bulgaria, Sofia. Kononchu berasal dari kota Laut Hitam, Odesa tetapi tinggal di Kiev. Dia diantar oleh suaminya ke perbatasan Rumania untuk mengungai. Tetapi suami Kononchu tetapi tinggal di Ukraina untuk bergabung dengan angkatan bersenjata dan berperang membela tanah airnya.

“Itu adalah jalan yang sangat panjang dan sangat menakutkan,” ujar Kononchu yang menceritakan tentang perjalanannya. 

Kononchu mendengar suara rudal di sekelilingnya. Namun dia tidak tahu apakah itu rudal milik Rusia atau Ukraina. "Kami tidak mengerti, Apakah (rudal) itu milik kita atau musuh?" ujarnya.

Pengungsi lainnya, Victoria Baibara, meninggalkan Kiev dua hari lalu bersama putranya yang berusia 6 tahun. Dia mengungsi setelah menyaksikan peningkatan pengeboman di ibu kota, Kiev. Baibara tiba di Rumania pada Rabu dan akan melakukan perjalanan ke Istanbul untuk tinggal bersama teman-temannya.

“Sangat sulit bagi seorang anak, kami tidak dapat menjelaskan kepadanya mengapa kami harus meninggalkan rumah kami, mengapa kami mendengar bom ini. Dia sangat ketakutan. Saya juga sangat takut. Sangat dingin dan sulit untuk tinggal bersama seorang anak di tengah salju dan cuaca dingin," ujar Baibara.

Pengungsi lainnya, Marya Unhuryan, dari Chernivsti di Ukraina barat, datang dengan mobil ke Siret bersama putrinya yang berusia 9 tahun. Dia mengungsi bersama kerabat lainnya, dan semuanya perempuan.

 “Saya merasakan banyak rasa sakit untuk negara saya dan rakyat saya. Dia berusia 9 tahun dan dia tidak mengerti situasinya. Dia hanya ingin makan pizza di Italia dan pergi ke Disney di Prancis," kata Unhuryan. 

 

 
Berita Terpopuler