Warga Korsel Tolak Pembangunan Masjid, Islamofobia atau Xenofobia?

Tepat satu tahun lalu, komunitas muslim di Distrik Daegu mendirikan masjid.

EPA
Umat Muslim menjalankan ibadahnya di salah satu masjid di Kota Seoul, Korea.
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  DAEGU -- Tepat satu tahun lalu, komunitas muslim di Distrik Daegu, Korea Selatan mendirikan masjid.  Melansir laman nytimes.com, Rabu (2/3/2022),  sebanyak 150 muslim yang merupakan mahasiswa Universitas Nasional Kyungpook membangun masjid di sebelah gedung yang digunakan sementara untuk shalat. Namun pembangunan masjid terpaksa dihentikan karena warga sekitar menolak keberadaan masjid tersebut. 

Baca Juga

Di dalam sebuah gedung yang temaram  terlihat pemuda Muslim bersujud dan shalat dalam keheningan. Di luar, tetangga mereka, warga Korea berkumpul memprotes dengan spanduk kemarahan bertuliskan sarang teroris pindah ke lingkungan mereka.

"Masjid itu akan mengubah lingkungan Daehyeon-dong menjadi daerah kantong muslim dan daerah kumuh yang dipenuhi kejahatan,” tulis warga Korea di papan tanda dan spanduk protes. 

Menurut mereka masjd akan membawa lebih banyak kebisingan dan bau makanan dari budaya asing dan dapat mengusir penduduk Korea. 

Mahasiswa Muslim dan pendukung Korea mereka melawan, dengan alasan bahwa mereka memiliki hak untuk hidup dan ibadah dalam damai di Daegu, salah satu kota paling konservatif secara politik di Korea Selatan.  “Ada perbedaan antara protes dan pelecehan,” kata Muaz Razaq, 25, mahasiswa   doktoral ilmu komputer yang berasal dari Pakistan. 

Razaq menilai tindakan yang dilakukan warga Korea itu bukan lagi bentuk unjuk rasa tetapi merupakan pelecehan. Meski Korea Selatan dikenal dengan pengaruh globalisasinya namun mereka masih bergulat dengan gelombang anti-imigran dan Islamofobia yang ganas. 

Mereka berhasil mengekspor budayanya ke luar negeri, namun lambat menyambut budaya lain di dalam negeri. Konflik pembangunan masjid merupakan contoh nyata, bagian dari fenomena yang lebih besar di mana warga Korea Selatan harus menghadapi apa artinya hidup dalam masyarakat yang semakin beragam. 

 

 

Kaum Muslim sering menanggung beban rasa was-was rasis, terutama setelah Taliban mengeksekusi dua misionaris Korea Selatan pada 2007. Kedatangan 500 pencari suaka Yaman di pulau Jeju pada 2018 memicu rangkaian protes anti-imigran terorganisir pertama di Korea Selatan. 

Pemerintah menanggapi kekhawatiran bahwa para pencari suaka menyembunyikan teroris dengan melarang mereka meninggalkan pulau itu.

“Aturan mereka tentang jilbab saja sudah cukup menjadi alasan bahwa mereka tidak boleh menginjakkan kaki di negara kita,” kata Lee Hyung-oh, pemimpin Refugee Out, jaringan anti-imigrasi nasional yang menentang masjid di Daegu.

Banyak orang Korea menjelaskan sikap mereka terhadap orang asing dengan mengutip sejarah,  negara kecil mereka telah bertahan dari invasi dan pendudukan selama berabad-abad, mempertahankan wilayah, bahasa, dan identitas etnisnya. Mereka yang menentang masjid dan imigrasi secara lebih luas sering memperingatkan bahwa masuknya orang asing akan mengancam darah murni dan homogenitas etnis Korea Selatan.

“Kami mungkin terlihat eksklusif, tetapi itu telah menjadikan kami apa adanya, mengkonsolidasikan kami sebagai bangsa untuk bertahan dari perang, pemerintahan kolonial dan krisis keuangan dan mencapai pembangunan ekonomi sambil berbicara dalam bahasa yang sama, memikirkan pemikiran yang sama,” ujar Lee. 

Lee menolak warga Korea Selatan mengalami xenofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing). Mereka hanya tidak ingin bercampur dengan orang lain. 

 

Namun kebangkitan Korea Selatan sebagai pusat kekuatan budaya bertepatan dengan krisis demografis. Tingkat kelahiran yang rendah selama bertahun-tahun dan peningkatan pendapatan di daerah perkotaan telah menyebabkan kekurangan perempuan yang ingin menikah dan tinggal di kota-kota pedesaan. Peternakan dan pabrik mengalami kesulitan untuk mengisi pekerjaan berupah rendah. Universitas kekurangan mahasiswa lokal.

Untuk membantu meringankan tantangan, Korea Selatan membuka pintunya bagi pekerja dan mahasiswa dari negara lain. Beberapa pria pedesaan mulai menikahi wanita asing, terutama dari Vietnam . Namun ketika pemerintah memperkenalkan kebijakan untuk mendukung keluarga multikultural, ada reaksi balik. Tiba-tiba, kata-kata seperti multikulturalisme dan keragaman menjadi istilah yang merendahkan bagi banyak orang Korea Selatan.

"Orang Korea memiliki keyakinan xenofobik yang mengakar bahwa orang asing lebih rendah,” kata Yi Sohoon, seorang profesor sosiologi di Universitas Nasional Kyungpook yang mendukung masjid tersebut. Tapi mereka menilai orang asing berbeda menurut asalnya. Mereka memperlakukan orang kulit hitam dari Amerika Serikat atau Eropa secara berbeda dari orang kulit hitam dari Afrika.

Terkait dengan pembangunan masjid, mahasisea muslim di Daehyeon-dong telah menggunakan sebuah rumah untuk shalat berjamaah selama tujuh tahun. Pada akhir 2020, setelah merobohkan rumah, mereka mulai membangun masjid, menggunakan bangunan di sebelahnya sebagai rumah ibadah sementara selama konstruksi. Saat itulah penduduk dan aktivis Korea bergabung untuk menjadikan lingkungan itu sebagai pusat kampanye anti-imigran.

Pada bulan Januari, para tetangga menggantung spanduk hitam-putih besar di seberang lokasi masjid yang diusulkan: “Orang Korea didahulukan!”Kami tidak menentang agama mereka,” kata Kim Jeong-suk, seorang warga Korea berusia 67 tahun yang menentang masjid. 

 

 

“Kami tidak bisa memiliki fasilitas keagamaan baru di lingkungan kami yang padat, apakah itu Islam, Buddha atau Kristen.” 

Lingkungan itu sudah memiliki 15 gereja Kristen, termasuk satu sekitar 30 meter dari lokasi masjid. Banyak dari tanda-tanda ofensif telah dihapus setelah Komnas HAM pemerintah turun tangan Oktober lalu. Konstruksi tetap ditangguhkan karena kedua belah pihak membawa kasus mereka ke pengadilan, tetapi pengacara hak asasi manusia mengatakan diskriminasi terhadap imigran juga dapat ditemukan dalam hukum Korea Selatan.

Yi termasuk di antara politisi liberal, profesor dan aktivis yang menggelar aksi unjuk rasa mendukung masjid. Tetapi warga tampaknya bersatu dalam oposisi mereka. Lebih dari 175 ribu orang menandatangani petisi yang ditujukan kepada Moon Jae-in, presiden Korea Selatan, memperingatkan bahwa “Jika kita kehilangan Daehyeon-dong, kita akan kehilangan Daegu.”

“Saya belum pernah melihat orang seperti mereka sebelumnya, dan saya tidak melihat wanita, hanya pria, berkerumun di sana,” kata Park Jeong-suk, seorang warga berusia (60 tahun) yang tinggal di sebelah lokasi masjid yang diusulkan. 

 

Tetangga Park, Namgung Myeon, (59 tahun), mengatakan dia menentang masuknya orang asing karena populasi Korea Selatan sendiri menurun. “Ini akan meresahkan fondasi nasional kita,” kata dia.n Ratna Ajeng Tejomukti

 
Berita Terpopuler