Peneliti Akui Ada Peningkatan Diskriminasi terhadap Muslim India

Muslim sebagai komunitas merasa di bawah ancaman dan pengawasan.

EPA-EFE/RAJAT GUPTA
Aktivis mahasiswa India dari Muslim Students Federation (MSF) memegang plakat selama protes terhadap pembatasan jilbab, di New Delhi, India, 08 Februari 2022. Enam siswa di Government Women First Grade College di distrik Udupi, Karnataka, sekitar 400 km dari Bangalore, telah dilarang menghadiri kelas karena mengenakan jilbab dan siswa Hindu mulai mengenakan selendang safron sebagai tanda protes. Pengadilan Tinggi Karnataka akan melanjutkan sidang petisi yang diajukan oleh lima gadis yang mempertanyakan pembatasan jilbab pada 09 Februari.
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti asal Mumbai, Sameera Khan menyebut, harus diakui bahwa India saat ini ada pengerasan sikap yang nyata terhadap umat Islam secara umum dan peningkatan perasaan negatif dan tindakan jahat terhadap mereka.  Sementara tiga dekade terakhir telah melihat peningkatan kekerasan dan kebencian terhadap Muslim, sejak 2014 kekerasan ini tidak hanya dinormalisasi tetapi bahkan dimaafkan oleh negara.

Baca Juga

Setiap insiden pemanggilan nama, kerusuhan, hukuman mati tanpa pengadilan, dan lainnya telah mendorong polarisasi spasial dan sosial yang berkembang antara umat Hindu dan Muslim yang menyebabkan ketidakpercayaan dan prasangka di antara komunitas.  Hal ini terutama berdampak pada kelompok yang paling tidak berdaya dalam komunitas ini, yaitu perempuan.

"Penelitian saya menunjukkan bahwa Muslim sebagai komunitas merasa di bawah ancaman dan pengawasan dan ini memperumit masalah seputar akses perempuan Muslim ke fasilitas publik dan keamanan," katanya dilansir the scrool in, Rabu (23/2/2022). 

Terlebih akses muslimah ke pendidikan, baik di tingkat pendidikan menengah, menengah atas dan lanjutan akan sangat terdampak. Sebuah  organisasi non-pemerintah yang bekerja di bidang pendidikan dan kesetaraan gender India memperingatkan adanya peningkatan angka putus sekolah di kalangan anak perempuan saat pandemi Covid-19, telah memperburuk ketidakadilan pendidikan.

Data ini menunjukkan bahwa anak perempuan sering secara sistematis dikeluarkan dari lembaga pendidikan dalam banyak hal termasuk kasta dan agama. Hal ini menjadi sebuah fakta yang jarang diakui atau didiskusikan.

Dalam sebuah laporan, seorang gadis Karnataka, Aliya Asadi (17 tahun) merupakan peraih medali emas karate negara bagian Karnataka, bahkan bisa merasakan kompetisi tingkat nasional lima tahun yang lalu. Dia merupakan satu-satunya kontestan muslimah dengan hijab. Tapi saat ini, Aliya sekarang susah tidur dan sering menangis. 

Jilbab memiliki peran yang lebih rumit dalam kehidupan wanita muslimah dari sekedar sebagai penanda agama.  Wawancara dengan wanita dan gadis Muslim di berbagai tempat mengungkapkan bahwa alasan mereka mengenakan jilbab sangat berbeda.  Kadang-kadang ini adalah hasil dari pengkondisian sosial-budaya-agama tradisional yang dipaksakan oleh keluarga dan komunitas lokal. 

Tetapi seringkali juga melibatkan banyak alasan lain: misalnya, pemakaian jilbab terbukti meningkat setelah banyaknya kasus kekerasan komunal.  Jilbab dianggap baik sebagai alat pelindung dan seperti yang disebutkan beberapa remaja putri, suatu bentuk perlawanan yang dalam menghadapi permusuhan menjadi cara untuk menegaskan dan memperlihatkan identitas komunitas mereka.

Perlu dipahami bahwa banyak perempuan muda melihat hijab sebagai sesuatu yang memungkinkan dan secara sadar menggunakannya secara strategis sebagai alat untuk memudahkan akses mereka ke publik. Seperti untuk belajar, bekerja, bepergian dan bahkan mencari kesenangan.

 

Bahkan secara historis,  jilbab telah digunakan atau dibuang tergantung pada kondisi yang ada. Kadang-kadang digunakan sebagai simbol perlawanan anti-kolonial, di lain waktu tidak digunakan lagi. Ada juga yang bertujuan upaya untuk menegaskan modernitas, seperti yang dicatat Margot Badran dalam Feminists, Islam and Nation: Gender and the Making of Modern Egypt.

Demikian pula perempuan dari komunitas agama lain sering menggunakan perangkat lain untuk memaksimalkan akses mereka ke dunia di luar rumah mereka – baik itu bindi, mangalsutra, dupatta, atau sari.

"Jadi, bagaimana jika larangan ini tetap ada?  Ada kemungkinan bahwa beberapa wanita Muslim yang mengenakan jilbab mungkin memilih untuk diam-diam melipatnya ke dalam tas mereka ketika mereka memasuki sekolah dan perguruan tinggi.  Di sisi lain, orang lain mungkin terpaksa keluar dari sistem pendidikan atau melanjutkan pendidikan tinggi di lembaga-lembaga yang dikelola Muslim, "ujar Khan. 

 

"Ini berarti bahwa mereka tidak hanya akan kehilangan kesempatan untuk berteman lintas agama (dan siswa non-Muslim akan kehilangan kesempatan yang sama untuk berteman dengan mereka), mereka juga akan kehilangan kesempatan untuk belajar berinteraksi dengan arus utama masyarakat dan institusi, "tambahnya. 

 
Berita Terpopuler