Pembangunan Bendungan Bener dan Konsekuensinya Menurut Hukum Islam

Pembangunan Bendungan Bener dinilai sudah sesuai dengan hukum Islam

Wihdan Hidayat / Republika
Pembangunan Bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah, Senin (14/2/2022). Bendungan Bener, Purworejo ini masuk dalam proyek strategis nasional. Biaya membangun bendungan berasal dari APBN-APBD senilai Rp2,06 triliun. Bendungan ini akan memiliki kapasitas sebesar 100.94 meter kubik, diharapkan dapat mengairi lahan seluas 15.069 ha, mengurangi debit banjir sebesar 210 M kubik per detik, menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 M kubik per detik, dan menghasilkan listrik sebesar 6 MW.
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Gus Muhammad Faqih Jauhari, pengurus Lembaga Bahtsul Masail Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Bener

REPUBLIKA.CO.ID, — Persoalan yang menimpa Desa Wadas soal pembebasan lahan untuk penambangan batu andesit belum menemukan titik temu.

Baca Juga

Material batu andesit dari Desa Wadas ini akan digunakan pemerintah untuk membangun Bendungan Bener yang akan menjadi bendungan tertinggi di Asia Tenggara. Dari sisi hukum positif, pembebasan lahan diatur dalam UU dan peraturan lainnya.  

Lalu bagaimana dari sisi hukum Islam? Ternyata pembebasan lahan dan bangunan pernah terjadi di zaman Khalifah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Pemerintah dalam membuat kebijakan haruslah sesuai dengan kaidah kemaslahatan: 

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة  "Kebijakan pemerintah kepada rakyat haruslah sesuai kemaslahatan". 

Dari sisi kemaslahatan, pembangunan bendungan memang ditujukan untuk itu, untuk mensejahterakan masyarakat secara luas. Air yang dibendung digunakan untuk irigasi pertanian, PDAM, PLTA dan kegunaan lainnya. 

Di sisi lain, pembangunan bendungan mengorbankan sebagian kepentingan warga termasuk lahan milik warga Wadas yang akan ditambang batu andesitnya sebagai fondasi Bendungan Bener Purworejo. Jika kondisinya seperti ini lalu bagaimana, apakah langkah Pemerintah tersebut sudah tepat? Dalam kitab al-Muwaffaqot fi Ushul al-Ahkam, termaktub: 

 انَّ الْمَصَالِحَ الْعَامَّةَ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْمَصَالِحِ الْخَاصَّةِ “Kemaslahatan yang luas harus didahulukan dari maslahat yang dirasakan sebagaian."  

Mengutip dalil tersebut apa yang dilakukan pemerintah dalam membangun Bendungan Bener, dirasa sudah tepat.

Baca juga: Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas

 

Memang harus diakui adanya buah simalakama, harus mengorbankan kemanfaatan yang dirasakan sebagian warga Wadas akibat sebagaian lahan milik mereka dijadikan areal pertambangan. 

Penolakan yang terjadi di Desa Wadas kerap terjadi di berbagai proyek pembangunan strategis untuk kepentingan publik lainnya.

Bahkan masalah pembebesan lahan pernah terjadi pada kepemimpinan Khulafaur Rasyidin sahabat Umar bin Khattab RA, dan sahabat Utsman bin Affan RA. 

 

Ketika itu mereka harus melebarkan Masjid Nabawi. Hal ini tertera dalam kitab  Ahkam al-Sulthaniyah karya Syekh Abu Hasan Al Mawardi: 

فَلَمَّا اسْتُخْلِفَ عُمَرُ. وَكَثُرَ النَّاسُ وَسَّعَ الْمَسْجِدَ وَاشْتَرَى دَوْرًا هَدَمَهَا وَزَادَهَا فِيْهِ وَهَدَمَ عَلَى قَوْمٍ مِنْ جِيْرَانِ الْمَسْجِدِ أَبَوْا أَنْ يَبِيْعُوْا وَوَضَعَ لَهُمْ اْلأَثْمَانَ حَتَّى أَخَذُوْهَا بَعْدَ ذَلِكَ وَاتَّخَذَ لِلْمَسْجِدِ جِدَارًا قَصِيْرًا دُوْنَ الْقَامَةِ وَكَانَتْ الْمَصَابِيْحُ تُوْضَعُ عَلَيْهِ

وَكَانَ عُمَرُ أَوَّلَ مَنْ يَتَّخِذُ جِدَارًا لِلْمَسْجِدِ. فَلَمَّا اُسْتُخْلِفَ عُثْمَانُ. اِبْتَاعَ مَنَازِلَ فَوَسَّعَ بِهَا الْمَسْجِدَ وَأَخَذَ مَنَازِلَ أَقْوَامٍ وَوَضَعَ لَهُمْ أَثْمَانَهَا فَضَجُّوْا مِنْهُ عِنْدَ الْبَيْتِ فَقَالَ :  إِنَّمَا جَرَأَكُمْ عَلَيَّ حِلْمِيْ عَنْكُمْ فَقَدْ فَعَلَ بِكُمْ عُمَرُ. هَذَا فَأَقْرَرْتُمْ وَرَضِيْتُمْ ثُمَّ أَمَرَ بِهِمْ إِلَى الْحَبْسِ حَتَّى كَلَّمَهُ فِيْهِمْ عَبْدُ اللهِ بْنِ خَالِدِ بْنِ أَسَدٍ فَخَلَّى سَبِيْلَهُمْ

Ketika sahabat Umar bin Khattab RA diangkat sebagai Khalifah dan jumlah penduduk semakin banyak, dia memperluas Masjid Nabawi dengan membeli rumah warga sekitar dan merobohkannya. 

Lalu dia menambah perluasannya dengan merobohkan (bangunan) penduduk sekitar masjid yang enggan menjualnya. Beliau lalu memberi harga tertentu sehingga mereka mau menerimanya. 

Ketika sahabat Utsman RA diangkat sebagai khalifah, dia lalu membeli rumah-rumah (untuk perluasan mesjid Nabawi). Beliau mengambil rumah-rumah penduduk dan menetapkan harganya. Mereka lalu berdemo di kediamannya. 

Beliau lalu berkata: “Sungguh kesabarankulah yang membuat kalian berani terhadapku, sungguh hal ini pernah dilakukan Umar terhadap kalian, dan kalian menyetujuinya.” 

Lalu beliau memerintahkan memenjarakan mereka, sampai Abdullah bin Khalid bin Asad berbicara kepadanya, dan dia melepas mereka kembali. 

Dari kisah tersebut, bisa kita simpulkan juga, pemerintah legal untuk mengakuisi tanah dalam rangka pembangunan meskipun pemilik tanah menolak, asalkan demi kemaslahatan, apalagi dalam setiap pembebasan lahan pemerintah selalu menghargai tanah warga dengan tinggi diatas harga keumumannya, sesuai apa yang termaktub dalam kitab Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir:

وَأَمَّا لَوْ أُجْبِرَ عَلَى الْبَيْعِ جَبْرًا حَلاَلاً كَانَ الْبَيْعُ لاَزِمًا كَجَبْرِهِ عَلَى بَيْعِ الدَّارِ لِتَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ أَوِ الطَّرِيْقِ أَوِ الْمَقْبَرَةِ

“Adapun jika dipaksa untuk menjual dengan pemaksaan yang halal, maka penjualannya sah sebagaimana pemaksaan menjual tanah untuk perluasan masjid, jalan umum atau kuburan.” 

Baca juga: Kisah Puji dan Agus, Suami Istri yang Bersama-sama Masuk Islam

Kendati demikian, yang penting ditekankan di sini adalah, hendaknya Pemerintah menghindari cara-cara represif. Langkah musyawarah dan pendekatan jauh lebih utama dan tepat untuk berkomunikasi dengan warga.

 

Di sisi lain pula, hendaknya penting menhindari provokasi oknum tak bertanggungjawab yang justru bisa memperkeruh suasana. Semoga persoalan Desa Wadas cepat selesai dan muncul mufakat.     

 
Berita Terpopuler