KPU-Bawaslu: Antara Integritas dan Lobi Politik?

Generasi milienal akan mencatat mampukan KPU dan Bawaslu kali ini berintegritas

Antara/Gusti Tanati
Petugas membawa kotak suara ketika melakukan pendistribusian logistik Pemilu 2019 di Kampung Kayu Pulo, Jayapura, Papua, Selasa (16/4/2019).
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP UI;Dosen FISIP UHAMKA & Analis Komunikasi Politik

Ketika dalil “integritas” dijadikan alat afirmasi dan legitimasi kepentingan politik di mata publik, di situlah sejatinya kemenangan ditentukan oleh proses komunikasi dan negosiasi. Alur prosedural berjalan mengikuti gerak normatif, tapi persetujuan di balik layar tunduk pada kesepakatan-kesepakatan politik. 

Apakah itu keliru? Ini bukan persoalan benar atau salah. Ini realitas. Tak perlu jaim. Ranah etik seringkali menarik menjadi perbincangan, tapi tak menarik dalam dialektika kepentingan. Dalam konteks itu, KPU dan Bawaslu bukan hanya menjadi penyelenggara teknis kepemiluan, tapi diproyeksikan lebih daripada itu sebagai salah satu “nyawa” demokrasi elektoral. 

Lantas, saat tarik menarik kepentingan mengemuka, apakah faktor integritas masih punya tempat? Bagaimana melobikan orang-orang yang berintegritas diterima oleh para elite politik? Bagaimana memengaruhi elite politik agar mengarusutamakan integritas? Mengingat di saat yang sama, semua sedang punya agenda dan kepentingan untuk 2024.

Eliminasi Kepentingan 

Colin Hay, seorang profesor analisis politik di Departemen Ilmu Politik Universitas Sheffield pernah menulis Why We Hate Politics yang menarasikan konotasi negatif politik. Tulisan itu pernah memenangkan W.J.M Mackenzie Book Prize for Political Science tahun 2008. Dalam uraiannya, Hay menyebut bahwa makna politik yang diartikan pengawasan publik, musyawarah dan akuntabilitas, bergeser ke makna bermuka dua, korupsi, inefisiensi dan campur tangan yang tak semestinya di ruang publik.

Berangkat dari pemikiran Hay itu, saya ingin memberikan kontekstualisasi menyoal pertarungan kepentingan dalam perebutan jabatan publik. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di satu sisi memegang mandat aspirasi rakyat, di sisi lain sebagai perpanjangan tangan partai politik. Berkaitan dengan hal itu, tentu parlemen menjadi arena yang strategis dalam pengambilan keputusan termasuk menentukan siapa yang layak menjadi komisioner KPU dan Bawaslu.

Di ruang parlemen, semua kepentingan bertemu, tapi tak semuanya bersatu. Ada pertimbangan-pertimbangan yang merujuk pada ketetapan regulasi, ada juga pertimbangan soal kalkulasi. Di situlah politik berjalan mencari irisan-irisan kesepakatan dan mengeliminasi kepentingan yang tak tersepakati. Sebab politik adalah soal pilihan, memilih dan menetapkan tujuh anggota KPU dan lima anggota Bawaslu untuk selanjutnya diusulkan ke Presiden.  

 

 

Pertaruhan Integritas

Integritas menjadi komitmen dan tanggung jawab moral yang penting bagi setiap individu khususnya yang mempunyai proyeksi berkiprah di ranah publik. Dimensi integritas tak hanya soal personal, tapi menempatkan diri di tengah lalu lintas kepentingan menjadi ujian publik sesungguhnya. Kini integritas itu dipertaruhkan. 

Bagi DPR, integritas itu menjadi pertanggungjawaban untuk memilih figur penyelenggara pemilu yang tepat. Komisi II sebagai penentu keputusan, sudah semestinya mengedepankan nilai-nilai kebangsaan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sementara bagi calon anggota KPU dan Bawaslu, integritas diarahkan untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadilan, bukan politik transaksional. 

Untuk mengelola negara termasuk suara rakyat diperlukan orang yang berintegritas, namun orang-orang yang mempunyai integritas seringkali tak terkehendaki secara politik. Oleh karena itu, melobikan orang-orang yang berintegritas masuk ke dalam sistem adalah pekerjaan rumah tersendiri. Terlepas harapan kita bersama ke depan sistem itu akan ramah terhadap siapa saja yang punya kualifikasi dan dedikasi membangun negeri.   

Komunikasi Politik, Kemenangan Lobi dan Refleksi Generasi

Sejumlah penulis terkait komunikasi politik seperti Bob Franklin, Nicholas Jones dan John Lloyd pernah mengingatkan bahwa dalam realitas kontemporer, bahaya komunikasi politik yang berpotensi merusak demokrasi itu sendiri. Artinya ketika mekanisme lobi lebih menentukan daripada proses yang substansi, upaya mengarusutamakan nilai tercancam terpinggirkan.

Integritas hanya dijadikan alat legitimasi kepentingan politik agar tak berseberangan dengan publik. Jika itu yang terjadi, maka independensi tereduksi ketika kepentingan saling menyandera dan mengunci. Harapan besar menciptakan atmosfer demokrasi sehat terganjal faktor politis 2024.

Tapi, semua itu tak akan terjadi jika seluruh pihak yang berkepentingan mempunyai komitmen kebangsaan yang sama. Praktik lobi atau negosiasi tak lebih ditempatkan sebagai komunikasi politik untuk mencari titik keseimbangan. Sementara nilai-nilai etis dijunjung tinggi, integritas tetap menjadi pertimbangan kunci.  

Saya hanya berharap ketika para generasi muda menyaksikan kontestasi politik saat ini dan ke depan, mereka tak takut. Sebab di situ orang-orang yang berintegritas masih mendapat tempat. Di situlah kita memahami bahwa kita ada karena integritas dan besar karena kualitas.

 
Berita Terpopuler