Spekulasi Kas BPJS Ketenagakerjaan Sedang Cekak di Balik Aturan Pencairan JHT 56 Tahun

Buruh menduga dana di BPJS Ketenagakerjaan tidak cukup dan berpotensi gagal bayar.

ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Nasabah melakukan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sudirman, Jakarta, Senin (14/2/2022). Nasabah masih dapat mencairkan dana JHT meski belum menginjak usia 56 tahun sebelum aturan baru diberlakukan setelah adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan. A, Haura Hafizhah

Baca Juga

Terbitnya Permenaker 2/2022 yang mengatur pencairan dana jaminan hari tua (JHT) hanya bisa diambil saat pekerja sudah mencapai usia 56 tahun memicu spekulasi BPJS Ketenagakerjaan sedang tak memiliki dana. BPJS Ketenagakerjaan diketahui mengelola ratusan triliun rupiah dana JHT. 

Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menegaskan, dana JHT adalah murni berasal dari gaji buruh dan uang pengusaha, tak ada sama sekali uang pemerintah. Tetapi, kata dia, Menaker Ida Fauziyah justru ngotot membuat aturan ini.

"Makanya spekulasi beredar hampir di semua internal buruh. Jangan-jangan uang JHT itu tidak ada, walau selalu dibilang ada. Kalau memang selalu ada, kenapa ditunda pembayaran sampai usia 56 tahun," kata Said dalam konferensi pers daring, Selasa (15/2).

Said pun bertanya, jika memang uang JHT itu sudah tak ada, lantas dipakai buat apa? "Ke mana ini uang?" katanya.

"Spekulasinya, jangan-jangan JHT ini dipakai untuk peruntukan lain di luar undang-undang sehingga tidak cukup dana untuk bayar tabungan buruh," imbuhnya.

Said menjelaskan, dari semua dana jaminan sosial yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, memang dana JHT-lah yang berupa fresh money. Sebab, dana JHT terus bertambah setiap bulan dan setiap ada anggota baru, sedangkan klaimnya sangat kecil.

Dugaan BPJS Ketenagakerjaan tak punya cukup dana juga disampaikan Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia berapa hari lalu. Aspek menduga BPJS Ketenagakerjaan tidak profesional dalam mengelola dana nasabahnya dan mengakibatkan tidak cukupnya dana tersedia.

"Sehingga berpotensi gagal bayar terhadap hak-hak pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan," ujar Sekretaris Jenderal Aspek Indonesia, Sabda Pranawa Djati.

Aspek menyebut BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana JHT milik para pekerja sebesar RP 550 triliun. Sedangkan, menurut Laporan Keuangan BPJS Ketenagakerjaan 2020, lembaga tersebut mengelola aset JHT Rp 346,923 triliun.

 

Menurut Sabda, hingga Desember 2021, jumlah kasus dan pembayaran klaim JHT didominasi peserta kategori mengundurkan diri (55 persen) dan PHK (36 persen). Sedangkan, peserta yang mencairkan JHT ketika memasuki usia pensiun hanya 3 persen.

"Ada kemungkinan BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki dana yang cukup dari pengembangan dana peserta. Sehingga berpotensi gagal bayar terhadap hak-hak pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan," ujar Sabda.

Karena kondisi itu lah, lanjut dia, BPJS Ketenagakerjaan berlindung kepada pemerintah dengan memaksakan terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022. Dalam Permenaker tersebut dinyatakan bahwa JHT baru dapat dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun.

"Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan terkesan panik, sehingga memaksakan perubahan regulasi terkait dengan syarat usia 56 tahun untuk klaim JHT," ujarnya.

 

 

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan membantah spekulasi yang menyebut bahwa mereka tak punya dana untuk membayar klaim dana JHT para peserta.

"Jelas BPJS Ketenagakerjaan membantah tudingan itu," kata Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Dian Agung Senoaji, kepada Republika, Senin (14/2).

Dian mengklaim, pihaknya memiliki dana yang cukup untuk membayar klaim dana JHT para peserta. "Betul (kami punya dananya)," kata Dian.

Dian pun menegaskan bahwa penundaan pencairan JHT hingga peserta berusia 56 tahun itu mengacu pada Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Permenaker itu sesuai dengan amanah UU Nomor 40 tahun 2004 yang menyatakan bahwa program JHT bertujuan untuk menjamin peserta menerima uang tunai pada saat memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

"Sehingga pekerja memiliki tabungan ketika memasuki masa pensiun," ujarnya.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah juga telah menjamin bahwa dana JHT para pekerja itu tak akan hilang ataupun berkurang. "Iuran yang telah diberikan pekerja dan pemberi kerja untuk program ini tidak akan hilang dan dapat diklaim seluruhnya setelah peserta memasuki usia 56 tahun, atau mengalami cacat total, atau meninggal dunia sebelum usia pensiun," kata Ida Fauziyah seperti dikutip dari video rilisnya, Selasa.

Polemik dana JHT ini bermula pada 2 Februari 2022 ketika Ida Fauziyah meneken Permenaker 2/2022. Aturan yang mulai berlaku 4 Mei 2022 ini menyatakan bahwa manfaat JHT akan dibayarkan ketika pekerja mencapai usia 56 tahun, atau mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.

Masih dalam ketentuan tersebut, pekerja yang menjadi korban PHK, ataupun mengundurkan diri dari pekerjaannya, juga akan menerima JHT saat usia 56 tahun.

Sedangkan dalam aturan lama, Permenaker 19/2015, dinyatakan bahwa dana JHT bisa dicairkan secara tunai setelah pekerja melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan terkait.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah mengkaji ulang bahkan mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Hal ini dikarenakan peraturan tersebut mengabaikan kondisi pekerja di situasi pandemi Covid-19.

"Muatan Permenaker tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa.

Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini, ada beberapa pasal dalam permenaker yang muatannya menunjukkan ketidakpekaan pemerintah pada situasi pandemi yang membuat  pekerja ter PHK Misalnya, aturan mengenai penerimaan manfaat JHT yang baru diberikan kepada peserta setelah berusia 56 tahun. 

"Bayangkan, seorang peserta harus menunggu 15 tahun untuk mencairkan JHT nya jika ia berhenti di usia 41 tahun. Ini tidak masuk akal," kata dia.

Menurut Netty, aturan tersebut berlaku pada peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena PHK atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Dan berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan per Desember 2021, total klaim peserta yang berhenti bekerja karena pensiun hanya tiga persen, sedangkan pengunduran diri 55 persen dan alasan terkena PHK mencapai 35 persen.

“Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman. Jadi, mengapa JHT yang sebagiannya merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya? Bukankah dana yang tidak seberapa tersebut justru dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup di masa sulit ini. Jika harus menunggu sampai usia 56 tahun, bagaimana keberlangsungan pendapatan pekerja?, kata dia.

 

 

Bantuan gaji pekerja - (Tim infografis Republika)

 

 

 
Berita Terpopuler