Menteri Keseteraan Prancis Kecam Larangan Hijab Pesepakbola Muslimah

Menteri Kesetaraan Prancis Elisabeth Moreno kecam larangan jilbab pesepakbola.

alarabiya.net
Pesepakbola Muslimah
Rep: Ratna Ajeng Tedjomukti Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Menteri Kesetaraan Prancis Elisabeth Moreno mengecam larangan jilbab untuk pesepakbola muslimah dan memberikan dukungannya di belakang sekelompok pesepakbola wanita yang berusaha untuk membatalkan larangan tersebut, Kamis (10/2).

Baca Juga

Melansir laman dailysabah.com, Jumat (11/2/2022), aturan yang ditetapkan oleh Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) saat ini melarang pemain yang ambil bagian dalam pertandingan untuk mengenakan simbol agama yang mencolok seperti jilbab untuk atau kippa untuk Yahudi.

Sebuah kelompok perempuan yang dikenal sebagai "les Hijabeuses" melakukan banding terhadap aturan pada November tahun lalu, mengklaim bahwa aturan itu diskriminatif dan melanggar hak mereka untuk menjalankan agama mereka.

"Undang-undang mengatakan bahwa perempuan muda ini boleh mengenakan jilbab dan bermain sepak bola. Di lapangan sepak bola hari ini, jilbab tidak dilarang. Saya ingin hukum dihormati," kata Menteri Kesetaraan Elisabeth Moreno kepada televisi LCI.

Dua bulan menjelang pemilihan presiden Prancis, isu tersebut menjadi perbincangan di negara yang menganut paham sekularisme ketat untuk memisahkan negara dan agama.

 

 

Senat Prancis, yang didominasi oleh partai Republik sayap kanan, mengusulkan undang-undang pelarangan pemakaian simbol agama yang jelas di semua pertandingan olahraga, Januari lalu.

Pelarangan ini ditolak di parlemen,  Rabu(9/2/2022) di mana partai Republik yang bergerak di tengah Presiden Emmanuel Macron dan sekutunya memegang mayoritas. Undang-undang Prancis tentang sekularisme menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara dan tidak memuat ketentuan tentang pelarangan penggunaan simbol-simbol agama di ruang publik, dengan pengecualian penutup wajah penuh, yang dilarang pada tahun 2010.

Pegawai lembaga negara juga dilarang menampilkan agamanya, begitu juga dengan anak sekolah. Banyak politisi sayap kanan di Prancis ingin memperluas pembatasan jilbab, melihatnya sebagai pernyataan politik yang mendukung nilai-nilai Islam dan penghinaan terhadap nilai-nilai Prancis.

Dalam beberapa tahun terakhir, mereka telah mengusulkan untuk melarang ibu yang menemani anak-anak dalam perjalanan sekolah mengenakan jilbab dan berusaha untuk melarang pakaian renang seluruh tubuh yang dikenal sebagai burkini.

Eric Ciotti, seorang anggota parlemen sayap kanan dari partai Republik konservatif, mengatakan bahwa penolakan partai Macron untuk mendukung larangan simbol-simbol agama dalam olahraga meninggalkan rasa penyerahan yang mengerikan.

 

 

"Jilbab adalah penjara bagi perempuan, objek penyerahan dan negasi individu," kata calon presiden dari Partai Republik Valerie Pecresse di parlemen untuk ejekan dari partai yang berkuasa.

Moreno mengatakan bahwa di ruang publik, wanita dapat berpakaian sesuka mereka. "Perjuangan saya adalah untuk melindungi mereka yang dipaksa mengenakan kerudung. Namun Demonstrasi yang direncanakan oleh kelompok "les Hijabeuses" di depan parlemen Prancis  dilarang oleh otoritas kota dengan alasan keamanan,"ujar Moreno. 

"Kami merasa semua ini adalah ketidakadilan yang besar. Kami hanya ingin bermain sepak bola. Kami bukan aktivis pro-Hijab, hanya penggemar sepak bola,"Foune Diawara, salah satu pendiri, mengatakan kepada Agence France-Presse (AFP) dalam sebuah wawancara pada bulan Januari.

Pada tahun 2014, Dewan Asosiasi Sepak Bola Internasional (IFAB) mengizinkan wanita untuk mengenakan jilbab dalam permainan setelah memutuskan bahwa jilbab adalah simbol budaya daripada simbol agama.

 

Federasi Sepak Bola Prancis berpendapat bahwa itu hanya mengikuti hukum Prancis, dengan pengadilan konstitusional tertinggi negara itu akan memutuskan masalah tersebut setelah banding yang dilakukan les Hijabeuses.n Ratna Ajeng Tejomukti

 
Berita Terpopuler