Ath-Thabari Hafal Alquran di Usia Tujuh Tahun

Semasa hidupnya, ath-Thabari dikenal sebagai seorang yang haus akan ilmu pengetahuan.

Iqna.ir
Penduduk Desa di Irak Simpan Alquran Berusia 700 Tahun
Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, Semasa hidupnya, ath-Thabari dikenal sebagai seorang yang haus akan ilmu pengetahuan. Ia memang memilih membujang hingga akhir hayatnya.

Baca Juga

Karena itu, ia memiliki kesempatan yang sangat luas untuk mencari ilmu. Ia berkeliling negerinegeri Islam untuk mencari ilmu. Sendirian tanpa seorang pun teman-hidup menyertainya. Wajar kiranya apabila dirinya sanggup menguasai berbagai disiplin ilmu. Tidak hanya tafsir Alquran, tetapi juga fikih, sejarah, hadis, bahasa, dan sastra.

Mengenai kecintaannya terhadap ilmu pengeta huan, ath-Thabari berkata, "Dahulu ayahku dalam tidurnya melihat Rasulullah SAW dan diriku membawa sekeranjang batu sedang bersama beliau. Dalam tidurnya, ayahku seolah-olah melihat ku sedang melempar batu di hadapan Rasulullah SAW."

Lantas, bapaknya mendatangi seorang ahli takwil mimpi. Penafsir mimpi itu berkata kepada sang ayah, Sesungguhnya anak ini (ath-Thabari) kelak jika dewasa akan memelihara syariatnya. Dari mimpi itulah akhirnya ath-Thabari sejak muda disokong untuk mencari ilmu. Padahal, waktu itu dirinya baru menginjak usia kanak-kanak.

 

 

Semangatnya untuk terus belajar menjadikannya tidak kenal kata lelah. Dalam arti, jarak dan kekurangan bekal bukanlah penghalang. Terlebih lagi, Allah SWT menganugerahkan kepada nya kemampuan kognitif di atas rata-rata.

Berkata ath-Thabari mengenai masa kecilnya, "Aku sudah hafal Alquran ketika umurku tujuh tahun, dan shalat memimpin (menjadi imam bagi) orang banyak ketika berumur delapan tahun, dan kemudian mulai mencatat hadis ketika usiaku sembilan tahun."

Hal lain yang menunjukkan kepandaiannya adalah cerita tentang bagaimana tokoh tersebut dapat menguasai ilmu syair Arab ('arudh) hanya dalam tempo satu malam.

Ath-Thabari menuturkan, Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku un tuk mengujikan apa yang telah dikuasainya. Pada suatu hari, datang kepadaku seorang lelaki bertanya tentang sebagian tertentu dari ilmu 'arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang ilmu itu.

"Akhirnya, aku katakan kepadanya, 'Aku tidak bisa bicara karena hari ini tidak akan membica ra kan masalah 'arudh sedikit pun. Maka datanglah be sok dan temui saja aku.' Kemudian, aku memin jam sebuah kitab 'arudh karya Khalil Ahmad dari seseorang. Malam itu, aku pelajari kitab tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahli 'arudh."

 

Mengenai kecerdasan yang dimiliki Imam ath- Thabari itu Ibnu Atsir berkata, "Abu Ja'far orang yang paling tsiqat (terpercaya) dalam mengungkap sejarah. Di dalam tafsirnya sarat dengan ilmu dan legalitasnya. Sementara Imam adz-Dzahabi berkata, Dia orang yang hafiz, jujur, imamnya para mufasir, fuqaha, baik ketika mufakat maupun ikhtilaf, pakar sejarah dan mengetahui qira'at serta ilmu tata bahasa."

Maka begitu menapaki usia akil baligh, tidak ada fokus yang diambil ath-Thabari kecuali untuk menempuh perjalanan intelektual. Muhammad az-Zuhaili dalam sebuah biografi tentangnya berkata, "Berdasarkan riwayat-riwayat yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu Abu Ja'far ath-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencari ilmu. Ia bersusah payah menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu sampai masa mudanya dihabiskan untuk ber pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia tidak tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun."

Karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, seluruh harta benda miliknya ia habiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba ilmu, menyalin dan membeli kitab. Untuk membiayai semua perjalanannya, pada awalnya ath-Thabari bertumpu pada harta milik ayahnya. Sesudah bapaknya itu berpulang ke rahmatullah, dirinya sempat mengalami kesulitan finansial. Beberapa waktu lamanya mengandalkan harta warisan dari almarhum, hingga akhirnya karya-karyanya bisa menjadi sumber penghasilan baginya. 

Tatkala sudah kenyang menjalani hidup dengan melakukan perjalanan mencari ilmu, ath-Thabari memutuskan untuk tinggal menetap di Baghdad. Ia menghabiskan sisa usianya untuk menulis dan mengajarkan ilmu kepada kaum Muslimin. Sebagai seorang alim yang penulis, dirinya sangat pro lifik. Abdullah bin Hamad al-Farghani, dalam buku As-Shilat menuturkan kisah berikut.

Beberapa waktu setelah ath-Thabari wafat, sejumlah muridnya ber upaya mengumpulkan naskah-naskah karyanya. Lan tas, mereka ingin membagi jumlah halaman naskah-naskah itu berdasarkan hari semasa hayatnya sang guru. Dari upaya itu, muncul fakta yang mencengangkan. Ath-Thabari diketahui menulis setiap hari sedikitnya 14 halaman. Apabila dihitung-hitung, sang mufasir lahir pada tahun 224 H. Dirinya meninggal dunia pada 310 H.

 

Artinya, ath-Thabari hidup selama 86 tahun. Katakanlah, masa-masa sebelum akil baligh yakni 14 tahun tidak dihitung. Sisa hidupnya di usia produktif adalah 72 tahun. Lantas, total hari selama 72 tahun disandingkan dengan 14 lembar per hari. Maka, ath- Thabari dapat dipastikan menulis sebanyak 358.000 lembar di sepanjang hayatnya! 

Betapa tinggi semangat literasi yang ditunjukkan ath-Thabari. Salah seorang ulama besar di era keemasan Islam itu menampilkan keteladanan, berusaha maksimal untuk menghasilkan karya terbaik. Karya yang adalah hasil pemikiran sendiri, bukan menjiplak tulisan orang lain.

Di antara karya-karyanya adalah Jami al-Bayan fi Tafsir Alquran. Itu disebut pula sebagai Tafsir ath- Thabari. Selanjutnya, ada Adabul Qadha', Adabul Ma nasik, Adab an-Nufuus, Syarai'al Islam, dan Al- Basith--yang disebut-sebut memiliki tebal 1.500 halaman. Yang tak kalah monumental, karyanya dalam bidang ilmu sejarah, yakni Tarikh al-Rusul wa al- Muluk atau yang juga populer dengan nama Tarikh ath-Thabari.

 

Inilah sebuah kitab sejarah yang pembahasannya panjang, tetapi begitu sistematis, kronologis, dan terperinci. Secara metodologis, informasi yang disajikannya dalam Tarikh sangat akurat. Sebab, dirinya selalu bersandar pada riwayat-riwayat dengan menyebutkan sanad hingga tangan pertama. Riwayatriwayat itu menggambarkan rentetan peristiwa yang diurutkan berdasar pada tahun kejadiannya, yakni sejak hijrahnya Nabi SAW dari Makkah ke Madinah hingga tahun 302 H atau delapan tahun sebelum wafatnya ath-Thabari.

 
Berita Terpopuler