Kiai Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh, dan Pancasila

Prof Yudian menggunakan ushul fiqih untuk pembacaan lahirnya Pancasila

Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Pancasila dan Agama. Prof Yudian menggunakan ushul fiqih untuk pembacaan lahirnya Pancasila
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Syaiful Arif. Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

REPUBLIKA.CO.ID, —Di setiap era, kita memiliki para pemikir Pancasila yang kebetulan menjabat sebagai kepala lembaga negara penguatan Pancasila. Saat ini, kita memiliki sosok tersebut dalam diri Prof KH Yudian Wahyudi, PhD yang merupakan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).  

Baca Juga

Berbeda dengan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Yudi Latif, PhD yang belakangan sering menulis tentang Pancasila. Kiai Yudian justru banyak menulis dan berbicara tentang Pancasila, ketika masih muda. 

Salah satu tulisan yang monumental ialah “Mengenalkan Pancasila sebagai kalimatun sawa” yang ia presentasikan di Harvard University pada 16 April 2003. Melalui presentasi tersebut, Yudian muda mengenalkan Pancasila perspektif maqashid al-syari’ah.

Hasilnya mirip dengan Nurcholish Madjid: Pancasila merupakan sebutan bersama (kalimatun sawa’) di antara keragaman agama. Hanya saja, jika Cak Nur menggunakan pendekatn teologis. Maka Yudian muda menggunakan ushul fiqh atau filsafat hukum Islam.  

Kajian Pancasila perspektif ushul fiqh juga dilakukan Kiai Yudian pada tahun 2006, melalui orasi ilmiah berjudul “Islam dan Nasionalisme: Sebuah Pendekatan Maqashid Syari’ah”. Orasi yang disampaikan pada 23 September 2006 dalam rangka dies natalis ke-55 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini sangat penting bagi khasanah Islam dan Pancasila.   

Dalam orasinya, Kiai Yudian melakukan analisa fiqhiyah atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila. Ia mengambil objek kajian penghapusan sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rumusan Piagam Jakarta, yang lalu diganti dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  

Seperti diketahui, momen tersebut terjadi pada 18 Agustus 1945 pagi hari, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai. Momen tersebut merupakan upaya Mohammad Hatta untuk melobi para tokoh Islam, yakni Kiai Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr  Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hassan. Alhasil, lobi Bung Hatta berhasil, dan para tokoh Islam rela mengganti sila “ketuhanan bersyariah” dengan “ketuhanan yang bertauhid” tersebut.  

 

Atas keberhasilan lobi tersebut, Kiai Yudian memberikan penghormatan kepada Bung Hatta. Menurutnya, “Dengan menghadirkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Hatta menghantam komunisme sejak dini, tetapi sekaligus mengibarkan bendera Tauhid. Di sinilah letak strategis konstitusional Hatta. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kata Hatta, adalah Tauhid bagi umat Islam…Tujuh kata (Piagam Jakarta) itu, bagi Hatta, adalah gincu, tampak tetapi tidak berpengaruh. Sebaliknya, Yang Maha Esa adalah garam, karena tidak memamerkan identitas Islam tetapi sangat berpengaruh. Substansi, bagi Hatta, lebih penting daripada kulit.” (Wahyudi, 2007: 35).  

Penggantian “ketuhanan bersyariah” dengan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan Bung Hatta, menurut Kiai Yudian, berpijak pada usulan awal Bung Karno pada pidato Pancasila di 1 Juni 1945 yang mengusulkan Ketuhanan Yang Maha-Esa.

Sebagaimana kita ketahui bersama, pada 1 Juni, Bung Karno memang menyatakan bahwa, “Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan!” Bung Karno melanjutkan, “Hatiku akan berpesta rasa, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” (Soekarno, 1947: 51). 

Berdasarkan kemauan para tokoh Islam menghapus “tujuh kata” dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka menurut Kiai Yudian, para tokoh tersebut telah menerapkan kaidah fikih dalam menciptakan solusi kehidupan berbangsa. Terdapat beberapa kaidah fikih yang digunakan di sini. 

Pertama, dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih. Artinya, menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengejar kebaikan. Menghindari pecahnya Indonesia karena ancaman warga Indonesia Timur yang akan memisahkan diri dari Indonesia jika “tujuh kata” masih diberlakukan.

Penghindaran terhadap perpecahan bangsa ini lebih didahulukan oleh para tokoh Islam, daripada mengejar kebaikan, yakni penegasan kewajiban menjalankan syariah Islam di dalam dasar negara. Apalagi, Belanda masih mengintai kemerdekaan RI, sehingga perpecahan bangsa akan berakibat pada gagalnya kemerdekaan.  

Kedua, ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Artinya, apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggal semuanya. Keinginan mendirikan Negara Islam dari Sabang sampai Merauke tidak berhasil, karena para tokoh Islam lebih memilih menghindari kerusakan daripada mengejar kebaikan.

Namun kegagalan mendirikan Negara Islam tersebut tidak lantas membuat tokoh Islam sama sekali menghilangkan nilai Islam dalam dasar negara. Keberadaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang diyakini sebagai cerminan Tauhid, menunjukkan hal tersebut (Wahyudi, 2007: 36). Dengan demikian, meskipun Indonesia bukan negara agama, namun ia merupakan negara ketuhanan. Bukan negara sekular. 

Perbedaan sebab hukum 

Dalam kaitan ini, Kiai Yudian menilai bahwa para tokoh Islam tersebut telah menegakkan maqashid al-syari’ah dalam berbangsa. Menariknya mereka lebih mementingkan kesatuan wilayah (maal) dan kesatuan jiwa (nafs) atas agama demi membangun pride dan generasi penerus (nasl).

 

Namun pada saat bersamaan, para tokoh Islam dan para pendiri bangsa pada umumnya juga menempatkan ketuhanan (din) pada posisi niscaya (dlaruriyat) dalam negara, melalui penempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai, baik dasar negara maupun Undang-Undang Dasar.  

Pada titik inilah Kiai Yudian menegaskan pentingnya ushul fiqh dan maqashid al-syariah dalam kehidupan berbangsa. Sebab ushul fiqh merupakan metodologi mendialektikakan nash (yang bersifat Ilahi tetapi terbatas dari segi jumlah teksnya), dengan ‘urf (peradaban atau sejarah) yang bersifat wadl’i (duniawi) tetapi tidak terbatas dari segi jumlah, karena selalu berkembang. Dalam kondisi ini, berbagai hal bisa diulang-alik bergantung dengan sebab (causa) hukumnya. 

Misalnya seperti yang dilakukan para pendiri bangsa tersebut. Pada awalnya para tokoh Islam memperjuangkan syariat Islam dalam Pancasila versi Piagam Jakarta, karena syariat merupakan hal niscaya (dlaruriyat) dalam Islam. Untuk itu, penyematan syariat dalam Pancasila Piagam Jakarta menjadi kebutuhan (hajiyat) untuk menopang hal dlaruriyat tersebut. Akan tetapi ketika sebab hukumnya berubah, yakni terjadi kemungkinan perpecahan bangsa akibat penyematan syariah; para tokoh Islam lalu mengganti metode perumusan hukum.  

Hal tersebut dilakukan dengan menjadikan persatuan sebagai hal yang dlaruriyat, sehingga penghapusan “tujuh kata” menjadi hal hajiyat untuk mendukung persatuan tersebut. Perubahan logika ini didukung oleh keberadaan frasa baru yang lebih dlaruriyat dibandingkan syariat, yakni Ketuhanan Yang Maha-Esa yang merupakan cerminan tauhid. Seperti diketahui, tauhid lebih fundamental dari syariat, karena syariat merupakan turunan dari tauhid. 

Ini pula yang menjadi alasan Kiai Wahid Hasyim dan Ki Bagus Hadikusumo dalam mengganti “tujuh kata” syariat, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemahaman Kiai Wahid dan Ki Bagus tentang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai cerminan dari tauhid inilah yang dijadikan landasan Muktamar ke-27 NU di Situbondo (1984) dan Muktamar ke-41 Muhammadiyah di Surakarta (1985) untuk menerima Asas Tunggal Pancasila di era Orde Baru.   

 

Berdasarkan penggunaan ushul fiqh dan maqashid al-syari’ah oleh Kepala BPIP, Prof KH Yudian Wahyudi dalam diskursus Pancasila ini, maka tidak perlu lagi dasar negara dibenturkan dengan agama. Sebab agama bukan doktrin beku yang dipaksakan tanpa ilmu. Sebaliknya, ia merupakan “metodologi yang hidup” yang lentur dan kontekstual, demi menegakkan Rahmat Allah SWT, demi memuliakan martabat kemanusiaan.   

 
Berita Terpopuler