Nikmat Juga Berupa Kehangatan Keluarga, Ini Cara Mensyukurinya 

Keluarga yang harmonis merupakan nikmat Allah SWT yang agung

Yogi Ardhi/Republika
Keluarga yang harmonis Ilustrasi. Keluarga yang harmonis merupakan nikmat Allah SWT yang agung
Rep: Rossi Handayani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA –  Setelah karunia iman, nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah SWT kepada kita adalah nikmat keluarga. Ayah, ibu, suami, istri dan anak merupakan orang-orang terdekat nan istimewa, teman bercengkerama, serta tempat berbagi suka dan duka.   

Baca Juga

"Namun sayang beribu sayang, realita berkata bahwa banyak orang yang mengabaikan karunia istimewa tadi, dengan berbagai alasan. Kesibukan pekerjaan. Keasyikan menjalani hobi atau pertemanan di dunia nyata maupun maya. Hingga alasan yang paling parah, yaitu menerlantarkan keluarga akibat sibuk bermaksiat," kata Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi'i Jember, Ustadz Abdullah Zaen Lc,MA mengatakan dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Ahad (23/1/2022).  

"Padahal jika mau merenung sedikit, niscaya akan disadari betapa berharganya karunia ilahi tadi. Bukankah tidak sedikit orang yang merindukan kehadiran anak selama puluhan tahun, namun Allah belum mengaruniakannya? Apakah kita baru akan menyadari mahalnya nikmat keberadaan keluarga, hanya saat kehilangan mereka? Na’udzubillah min dzalik..," lanjut Ustadz.  

Ustadz mengatakan, ada berbagai poin penting untuk menjaga kehangatan suasana dengan keluarga. Bukan hanya di dunia saja, namun seseorang juga berharap bisa berkumpul bersama mereka di surga Allah Ta’ala. 

Pertama, pioritas. Muslim sejati tentu akan menomorsatukan hak Allah SWT dalam kehidupannya. Setelah itu, hak keluarga yang harus diprioritaskan. Karena memang begitu yang diajarkan oleh agama. Ditambah lagi keluargalah yang bakal peduli pada kita, saat datang masa tua, bahkan ketika kita telah tiada," kata Ustadz Abdullah.  

Ustadz Abdullah melanjutkan, Yakinlah bahwa orang yang bakal setia menemani di masa tua, bukan teman arisan, rekan bisnis, apalagi anggota puluhan grup WA yang diikuti. Namun suami atau istri atau putra-putri, mereka pula yang akan rutin mendoakan, saat tubuh telah terbujur kaku berkalang tanah. 

Kedua, konsistensi. membangun keharmonisan rumah tangga bukan pekerjaan sehari-dua hari, atau hanya saat bulan madu saja. Namun aktivitas seumur hidup.

Selama hayat masih dikandung badan dan selama masih terikat hubungan pernikahan yang sah,  maka hak dan kewajiban suami-istri masih berlaku terhadap pasangan tersebut," kata Ustadz.  

Baca juga: Mualaf Syavina, Ajakan Murtad Saat Berislam dan Ekonomi Jatuh  

Suami berkewajiban untuk membimbing istrinya secara rutin. Istri berkewajiban melayani suaminya secara baik. Orang tua berkewajiban mendidik anak-anaknya dengan panduan agama.

“Ini semua tidak bersifat insidentil. Bukan sekali dalam setahun hanya dalam momen tertentu, lalu setelahnya vakum hingga momen itu datang kembali,” ujar dia.   

 

 

 

Ketiga, proporsionalitas. Masing-masing kita tentu memiliki kesibukan di luar rumah.

Entah itu terkait langsung dengan roda kehidupan rumah tangga kita, seperti aktivitas mencari nafkah.

Atau yang tidak berhubungan secara langsung, semisal beragam kegiatan menyalurkan hobi. “Selama berbagai kesibukan itu dijalankan secara proporsional, insyaAllah tidak mengapa," kata Ustadz. 

Ustadz mengungkapkan, Namun yang kerap memicu masalah, adalah saat beragam kesibukan di luar rumah itu mengakibatkan keluarga terlantar.

Barangkali bukan terlantar secara materi, sebab kebutuhan fisik mereka terpenuhi. Namun terlantar secara psikologis. Sebab anak jarang mendapatkan belaian dan dekapan kasih sayang ayah-bundanya.  

Untuk itu, status dia hanyalah anak biologis dari orang tuanya, bukan anak ideologis dari keduanya. Tragisnya yang dipercaya untuk membentuk karakter anak adalah pembantu rumah tangga, yang seringkali tingkat pendidikannya rendah. Bahkan mungkin bukan orang yang mengerti dan patuh beragama. 

Baca juga: Mualaf Erik Riyanto, Kalimat Tahlil yang Getarkan Hati Sang Pemurtad

 

"Kita harus pandai dan bijak dalam membagi waktu. Ada waktu untuk bekerja. Ada waktu untuk keluarga. Ada waktu untuk menyalurkan hobi. Jika terpaksa durasi yang tersedia untuk keluarga hanya sedikit, maka jangan sampai waktu mahal itu tidak berkualitas. Singkirkan gadget saat kita sedang makan bersama keluarga, atau di momen kita menemani anak sebelum tidurnya," kata Ustadz Abdullah. 

 
Berita Terpopuler