HRW: Penanganan Pandemi Menggeser Persoalan HAM di Indonesia

Laporan HRW menyebut respons pemerintah pada pandemi menggeser isu HAM

Rahmad/Antara
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Fakultas Hukum (Ormawa FH ) Universitas Malikussaleh menggelar aksi pawai obor memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10 Desember di pusat Kota Lhokseumawe, Aceh, Senin (9/12). Pada aksi unjuk rasa tersebut, mereka mendesak Presiden Joko Widodo dan Komnas HAM menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di tanah air.
Rep: Lintar Satria Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam laporan World Report 2022, organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) mengatakan respons pemerintah Indonesia pada pandemi Covid-19 di 2021 menggantikan persoalan hak asasi manusia. Setelah angka kasus infeksi melonjak, pihak berwenang mengunci Jawa, Bali, dan banyak daerah lain di nusantara.

“Pandemi Covid-19 terbukti menjadi ancaman yang jauh lebih besar bagi agenda ekonomi pemerintah Indonesia daripada undang-undang yang membahayakan hak-hak pekerja dan lingkungan,” kata Direktur regional Asia HRW Brad Adams seperti dikutip di situs resmi organisasi itu, Kamis (13/1/2022).

“Hanya pukulan keras varian Delta, bukan masalah hak asasi, yang dapat menggagalkan agenda ekonomi pemerintah,” tambahnya.

Dalam laporan setebal 752 halaman itu, Human Rights Watch mengulas berbagai praktik hak asasi manusia di hampir 100 negara. Direktur Eksekutif Kenneth Roth meragukan kebijaksanaan konvensional yang menganggap otokrasilah yang berkuasa.

Baru-baru ini terjadi gelombang unjuk rasa besar di sejumlah negara walaupun demonstran berisiko ditangkap atau ditembak. Roth menerangkan hal ini menunjukkan daya tarik demokrasi tetap kuat. Sementara itu, para otokrat semakin kesulitan untuk memanipulasi pemilu yang menguntungkan mereka.

Namun menurut Kenneth Roth, para pemimpin negara demokratis harus menyelesaikan pekerjaan mereka dengan lebih baik dalam menghadapi tantangan nasional dan global. Selain itu, pemimpin negara harus memastikan demokrasi memberikan hasil seperti yang dijanjikan.

Dari Maret 2020 hingga Desember 2021, Covid-19 telah menginfeksi 4,2 juta orang di Indonesia dan menyebabkan 141.709 kematian. Kelompok yang fokus pada kesehatan masyarakat memperkirakan angka sesungguhnya bisa setidaknya dua kali lebih tinggi dari data statistik pemerintah. Sebab banyak orang, sebagian besar melakukan isolasi diri, tidak melaporkan penyakit mereka atau mendapatkan perawatan kesehatan dari pemerintah.

Selama tahun 2021 hak-hak dasar kelompok minoritas agama, perempuan dan anak perempuan, dan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender terus diserang dan respons pemerintah atas hal ini sangat minim. Kelompok-kelompok Islamis menargetkan kelompok minoritas dengan ancaman dan intimidasi.

Pada Februari, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengizinkan siswi dan guru perempuan di sekolah negeri memilih mengenakan jilbab  yang dipadukan dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang atau tidak. Ribuan sekolah negeri, khususnya di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim di Indonesia, mewajibkan perempuan Muslim mengenakan jilbab sejak dari sekolah dasar.

Baca Juga

Pada Mei, Mahkamah Agung membatalkan peraturan itu. Menurut HRW hal itu berarti perundungan pada anak perempuan dan perempuan dewasa untuk memakai jilbab yang dapat menyebabkan tekanan psikologis mendalam akan terus berlanjut. Anak perempuan yang tidak patuh dipaksa keluar dari sekolah, sedangkan Pegawai Negeri Sipil perempuan, termasuk guru dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri.

Di beberapa daerah, para pelajar dan guru beragama Kristen, Hindu, Buddha, dan non-Muslim lainnya juga dipaksa mengenakan jilbab. Selain itu baku tembak sporadis antara pasukan keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat di Provinsi Papua berlanjut.

Konflik memaksa ribuan penduduk asli Papua mengungsi, di mana sedikitnya 2.000 orang melintasi perbatasan nasional menuju Papua Nugini. Indonesia melarang para pemantau hak asasi manusia internasional dan jurnalis asing untuk mengunjungi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan dalih pandemi.

Presiden Joko Widodo resmi mengambil alih Presidensi G20 di Roma pada Oktober untuk persiapan KTT G20 berikutnya di Bali pada Oktober 2022. Indonesia akan jadi negara berkembang pertama yang berperan sebagai tuan rumah KTT G20.

“Presiden Jokowi seyogianya menginvestasikan lebih banyak modal politik untuk mengakhiri diskriminasi terhadap agama minoritas dan perempuan dan anak perempuan di Indonesia,” kata Adams.

“Pemulihan dari pandemi perlu mencakup penghapusan berbagai peraturan diskriminatif terhadap minoritas Indonesia,” tambahnya.

 
Berita Terpopuler