Aroma Nepotisme Mantan Presiden dalam Kisruh Bahan Bakar di Kazakhstan

Mantan presiden pertama Kazakhstan beserta keluarga memonopoli bisnis minyak dan gas

AP/Alexander Astafyev/Pool Sputnik Government
Perdana Menteri Rusia Mikhail Mishustin, kiri, dan mantan presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev berfoto sebelum pembicaraan mereka di Nur-Sultan, Kazakhstan, Kamis, 19 Agustus 2021. Mantan presiden pertama Kazakhstan beserta keluarga memonopoli bisnis minyak dan gas.
Rep: Kamran Dikarma Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, NUR-SULTAN -- Kazakhstan bergejolak. Memasuki 2022, alih-alih menikmati masa liburan bersama keluarga seperti yang lazimnya terjadi, warga di sana lebih memilih turun ke jalan dan berdemonstrasi. Mereka satu suara menentang keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar gas cair atau liquefied petroleum gas (LPG).

LPG banyak digunakan warga Kazakhstan untuk bahan bakar mobil. Kenaikan harga terjadi saat pemerintah mengakhiri transisi bertahap ke perdagangan elektronik untuk LPG. Tujuannya menghentikan subsidi negara dan membiarkan pasar mendikte harga bahan bakar tersebut.

Demonstrasi dimulai di kota barat Zhanaozen pada 2 Januari 2022 sebelum akhirnya meluas ke kota-kota dan desa-desa lain di seluruh Kazakhstan. Seperti bola saju, tak ada yang dapat membendung gerakan penolakan itu.

Melihat bara semakin menjalar, Pemerintah Kazakhstan pada Selasa (4/1/2022) mengumumkan akan menurunkan harga LPG ke harga terendah sebelum kenaikan. Namun hal itu tak menghentikan aksi massa. Pada Rabu (5/1/2022), Presiden Kassym-Jomart Tokayev memecat kabinetnya. Kendati demikian, protes tetap berlanjut.

"Tokayev dan pemerintah mungkin membahas situasi sosial-ekonomi negara tersebut. Mereka mungkin memutuskan menaikkan gaji dan pembayaran sosial dengan harapan hal itu akan meredakan ketegangan. Namun pada akhirnya, semua orang paham bahwa reformasi tidak akan nyata," kata aktivis politik Kazakhstan yang berbasis di Kiev, Daniyar Khassenov, dikutip Aljazirah.

Menyisihkan Nazarbayev

Massa yang terlibat dalam demonstrasi menentang kenaikan harga LPG menggelorakan nyanyian "Shal ket! (Orang tua harus pergi!)". Ada satu tokoh yang disinggung oleh mereka yakni presiden pertama Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev.

Nazarbayev mengundurkan diri sebagai presiden pada 2019 lalu. Posisinya kemudian digantikan Tokayev. Meski mundur, Nazarbayev tetap mengisi jabatan strategis, yakni sebagai kepala Dewan Keamanan. Hal itu dinilai menunjukkan Nazarbayev enggan melepaskan kekuasaannya.

"Semua orang di Kazakhstan memahami Tokayev hanyalah seorang calon dan tidak memiliki kekuatan serta pengaruh politik di dalam negeri. Nyanyian (Shal ket!) merujuk pada seluruh sistem yang dibangun Nazarbayev; rezimnya," kata advokat hak asasi manusia dan aktivis politik Kazakhstan Bota Jardemalie.

Baca Juga

Dia mengungkapkan Nazarbayev dan keluarganya menguasai berbagai sektor ekonomi di Kazakhstan. Menantunya, misalnya, menguasai bisnis minyak dan gas di negara tersebut. "Semua orang mengerti, monopolilah yang berada di balik kenaikan (LPG)," ujar Jardemalie.

Selama dekade 90-an, jargon utama pemerintahan Nazarbayev adalah "economy first". Dia membiarkan perusahaan swasta berkembang sambil memperkuat kontrol politiknya guna mendominasi parlemen. "Kemudian dia mulai mengambil alih ekonomi sektor per sektor," ungkap Jardemalie.

Dia menyebut keluarga Nazarbayev selalu menguasai industri minyak dan gas serta sumber daya alam lainnya. Akan tetapi seiring waktu, mereka turut mengambil alih industri lain seperti konstruksi, perbankan, telekomunikasi, dan ritel. "Sekarang kami memiliki keduanya; monopoli politik dan ekonomi Nazarbayev serta klannya," ucapnya.

Berbeda dengan demonstrasi yang pernah dihadapi pemerintah Kazakhstan pada 2016 dan 2019, kali ini massa pengunjuk rasa tampaknya bergerak tanpa pemimpin. Mereka bertekad menenggelamkan rezim Nazarbayev.

Tokayev telah mengumumkan Nazarbayev akan mundur dari jabatannya sebagai kepala Dewan Keamanan. Namun hanya sedikit yang percaya hal itu dapat memuaskan pengunjuk rasa.

Saat ini, keadaan darurat telah diberlakukan di beberapa tempat, termasuk kota terbesar di Kazakhstan, Almaty. Koneksi internet diblokir di seluruh kota di negara tersebut. "Saya percaya Kazakhstan bukanlah negara gagal. Kami dapat mengubah sistem dan jatuhnya rezim adalah masalah waktu. Rezim saat ini tidak akan mampu menyelesaikan krisis, ia hanya dapat memperpanjang keberadaannya sendiri," ujar Jardemalie.

 
Berita Terpopuler