Staf Save the Children Dipastikan Tewas Dibunuh dan Dibakar di Myanmar

Sekurangnya 30 warga sipil termasuk wanita dan anak tewas serta dibakar di Myanmar.

KNDF via AP
Dalam foto ini disediakan oleh Karenni Nationalities Defense Force (KNDF), asap dan api mengepul dari kendaraan di kotapraja Hpruso, negara bagian Kayah, Myanmar, Jumat, 24 Desember 2021. Pasukan pemerintah Myanmar menangkap penduduk desa, beberapa diyakini wanita dan anak-anak, menembak mati lebih dari 30 orang dan membakar mayat-mayat itu, kata seorang saksi mata dan laporan lainnya, Sabtu.
Rep: Fergi Nadira Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Dua staf Save the Children yang hilang setelah serangan militer di negara bagian timur Myanmar dipastikan telah tewas. Organisasi mengkonfirmasi dua stafnya termasuk orang-orang yang dibakar hidup-hidup oleh militer Myanmar.

"Dengan kesedihan yang mendalam, kami mengonfirmasi bahwa dua staf kami termasuk di antara mayat-mayat yang terbakar yang ditemukan di Myanmar setelah serangan oleh militer pada Malam Natal. Keduanya adalah ayah baru yang bekerja di bidang pendidikan untuk anak-anak," kata organisasi itu dalam sebuah pernyataan yang diposting di media sosial, dikutip laman CNN, Rabu (29/12).

"Dewan Keamanan PBB harus bersidang dan mengambil tindakan untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab," katanya menambahkan.

Pada Jumat (24/12) pekan lalu, kelompok hak asasi manusia setempat melaporkan sekurangnya 30 warga sipil termasuk wanita dan anak-anak telah tewas dan dibakar ketika ditemukan di dekat Kotapraja Hpruso di negara bagian Kayah yang juga dikenal sebagai daerah Karenn. Militer yang berkuasa di Myanmar belum mengomentari insiden ini dan juru bicara bicara junta Zaw Min Tun tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar.

Media pemerintah melaporkan tentara telah menembak dan membunuh sejumlah teroris dengan senjata yang tidak ditentukan dari pasukan yang memerangi pemerintah militer. Media pemerintah tidak mengatakan apa-apa tentang korban sipil.

Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk urusan kemanusiaan dan koordinator bantuan darurat, Martin Griffiths mengatakan laporan pembunuhan warga sipil dapat dipercaya. "Saya mengutuk insiden menyedihkan ini dan semua serangan terhadap warga sipil di seluruh negeri, yang dilarang berdasarkan hukum humaniter internasional," katanya dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Dia menyerukan penyelidikan menyeluruh dan transparan atas insiden ini. Sementara itu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken juga mengutuk serangan itu dalam sebuah pernyataan Selasa (28/12).

Blinken mendesak masyarakat internasional untuk mengakhiri penjualan senjata dan teknologi kepada militer Myanmar. "Penargetan orang-orang tak bersalah dan aktor kemanusiaan tidak dapat diterima, dan kekejaman militer yang meluas terhadap rakyat Burma menggarisbawahi urgensi meminta pertanggungjawaban anggotanya," kata Blinken, merujuk pada Myanmar dengan nama lamanya.

AS, lanjutnya, akan terus menekan pemulihan jalan Burma menuju perdamaian dan demokrasi. Myanmar diketahui berada dalam krisis politik sejak militer mengkudeta pemerintah Aung San Suu Kyi.

Sejak kudeta, militer telah mencoba untuk menegaskan kekuasaannya atas rakyat melalui kekuatan berdarah yang berlebihan. Badan-badan PBB, kelompok hak asasi dan wartawan lokal telah mendokumentasikan pembantaian, penangkapan massal, penyiksaan, pemindahan paksa, laki-laki, perempuan dan anak-anak dibunuh dengan impunitas, persenjataan berat yang digunakan oleh pasukan junta untuk menyerang desa dan membasmi kelompok perlawanan bersenjata, dan pemblokiran bantuan kemanusiaan.


 
Berita Terpopuler