Melirik Keadilan di Tuntutan Mati Terdakwa ASABRI

Dalam kasus megakorupsi ASABRI hanya terdakwa dari swasta yang dikenai tuntutan mati.

ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa kasus korupsi ASABRI Heru Hidayat (kanan) berjalan meninggalkan ruangan saat jeda sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan hukuman mati bagi Heru.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Amri Amrullah

Kejaksaan Agung (Kejagung) optimistis majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) mengabulkan tuntutan tim jaksa penuntut umum (JPU) terhadap para terdakwa korupsi, dan pencucian uang (TPPU) PT ASABRI. Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Sudarwidadi mengatakan keyakinanya itu, termasuk soal vonis hukuman mati.  

Sudarwidadi mengatakan, vonis dan hukuman adalah kewenangan para pengadil di akhir sidang. Tetapi fakta-fakta persidangan yang sudah berjalan menguatkan tuduhan jaksa terkait mega korupsi yang merugikan negara Rp 22,78 triliun itu.

“Kalau soal vonis, itu kan domainnya hakim. Tetapi, kalau kita (jaksa) sudah menuntut hukuman mati, ya tentunya kita harus yakin itu yang diputuskan oleh hakim nantinya,” ujar dia saat ditemui di Kejagung, Jakarta, pada Kamis (23/12).

Tim JPU, kata Sudarwidadi, sudah maksimal dalam menyidangkan kasus korupsi dan TPPU ASABRI tersebut. Menurut dia, jaksa tak boleh berspekulasi, apalagi melakukan intervensi atas putusan hakim nantinya. Namun menurut dia, segala upaya untuk memberikan yang adil bagi masyarakat terkait perkara tersebut, sudah dilakukan.

“Kita lihat saja nanti. Kita yakin dengan tuntutan. Soal putusan itu kewenangan hakim nantinya,” sambung dia.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Dian Adriawan melihat tuntutan jaksa dari Kejagung terhadap para terdakwa kasus ASABRI tidak adil. Pasalnya, terdakwa Heru Hidayat dituntut dengan pidana mati, sementara mantan dirut dan direksi PT ASABRI dituntut dengan pidana penjara 10-15 tahun.

“Kalau mengenai ancaman pidana tergantung dari peran-peran yang dilakukan. Tetapi kalau misalnya ada yang dituntut dengan pidana mati sedangkan yang lain tidak dituntut dengan pidana mati, itu sesuatu yang menurut saya tidak adil. Dalam kasus ini, pasal yang diterapkan pasal yang sama dan di-junto-kan dengan Pasal 55 KUHP kan. Nah, kalau dijunto dengan pasal 55 dan terbukti berarti di sini tidak mungkin ada yang dipidana mati karena pasal yang didakwakan itu Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor,” tutur Dian.

Dian mengaku aneh karena aktor penting dalam perkara korupsi adalah pejabat atau penyelenggara negara. Keterlibatan pihak swasta, umumnya, kata Dian, dikaitkan dengan Pasal 55 KUHP, yakni turut serta melakukan perbuatan pidana.

“Karena begini, dituntut dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jucnto Pasal 55 KUHP, Pasal 55 itulah yang mengkaitkan keberadaan pihak swasta di dalam kasus ini. Kok malah swasta yang diperberat ancaman pidananya, tuntutan pidananya,” jelas Dian.

Dian mengibaratkan kasus korupsi ini dengan permainan bulutangkis ganda. Jika satu pemain salah, maka yang lain juga salah dan hukumannya juga berdampak untuk semua dan sama.

“Kalau kasus ASABRI ini, justru yang utama dilihat itu pihak penyelenggara negara, baru pihak swasta Pasal 55 KUHP. Tetapi kemudian kenapa yang Pasal 55 (swasta) justru lebih tinggi ancaman hukumannya. Itu kan nggak logis, justru penyelenggara negaranya yang harus lebih tinggi karena ketentuan korupsi kan untuk penyelenggara negara sebenarnya. Aneh ini,” pungkas Dian.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menanggapi pula perbedaan tuntutan dari jaksa. Ia menilai penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil seharusnya dituntut dan diancam dengan pidana hukum yang lebih berat dibandingkan pihak swasta dalam kasus-kasus korupsi. Pasalnya, korupsi terjadi karena adanya keterlibatan penyelenggara negara atau PNS.

“Kalau secara umumnya, mestinya yang penyelenggara negara atau pegawai negeri ancaman hukumannya harus lebih berat dari pihak swasta. Karena pada umumnya korupsi itu terjadi karena ada keterlibatan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara,” ujar Nur kepada wartawan.

Nur menegaskan hampir mustahil kejahatan korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara atau PNS. Karena, kata dia, penyelenggara negaralah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang mengatur kebijakan dan mengelola anggaran negara.

“Korupsi itu mestinya melibatkan aparatur negara karena aparatur negara itulah yang mempunyai kekuasaan, mempunyai kewenangan untuk itu,” terang dia.

Dia juga menegaskan ancaman hukuman terhadap terdakwa korupsi tidak tergantung pada besar atau kecilnya kerugian negara yang diakibatkan dari tindak pidana terdakwa. Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), kata Nur, tidak mengatur sama sekali besaran kerugian negara akan mempengaruhi ancaman hukuman terhadap terdakwa.

“Dalam UU Tipikor, besarnya kerugian keuangan negara itu, itu tidak linear dengan berat ringannya pidana. Khususnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 (UU Tipikor), tidak mencantumkan berapa kerugian keuangan negara. Yang penting di situ, ada kerugian keuangan negara yang disebabkan perbuatan melanggar hukum atau penyalahgunaan wewenang, itu merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana maksud Pasal 2 dan Pasal 3,” jelas Nur.

Nur enggan menyebutkan tuntutan jaksa tersebut tidak adil karena menurut dia makna kata ‘adil’ tersebut sangat tergantung sudut pandang masing-masing pihak. Hanya saja, kata dia, jika ditempatkan dalam porsi yang sesuai dan tepat, maka hukuman terhadap penyelenggara negara dalam kasus korupsi harus lebih berat dibandingkan pihak swasta.

“Saya nggak ngomong adil atau tidak adil, karena susah untuk mengukurnya, adil itu dari sisi yang mana, memang susah memberikan definisi adil, tergantung dari sisi mana. Jadi, kita kembali ke porsinya masing-masing,” jelas Nur.



Baca Juga

Dalam kasus dugaan korupsi ASABRI, Presiden Direktur PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dituntut jaksa dengan pidana hukuman mati karena jaksa meyakini Heru bersama-sama sejumlah pihak lainnya telah melakukan korupsi dalam pengelolaan dana PT ASABRI yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 22,78 triliun. Selain itu, Heru Hidayat dituntut hukuman uang pengganti Rp 12,434 triliun.
Berbeda dengan Heru Hidayat, sejumlah pihak lain yang diyakini jaksa bersama-sama melakukan korupsi dalam kasus Asabri khususnya dari jajaran direksi PT Asabri mendapat ancaman hukuman yang lebih ringan.

Sejumlah pihak lain ini adalah Dirut PT ASABRI periode 2012-Maret 2016 Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri dituntut jaksa dengan hukuman penjara 10 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 17,9 miliar. Lalu, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2012-Juni 2014 Bachtiar Effendi dituntut dengan hukuman penjara 12 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 453,7 juta.

Kemudian, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode Juli 2014-Agustus 2019 Hari Setianto dituntut dengan hukuman penjara 14 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara Dirut PT Asabri periode Maret 2016-Juli 2020 Letjen Purn Sonny Widjaya dituntut dengan hukuman penjara 10 tahun ditambah denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 64,5 miliar.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) masih melihat hukuman mati tidak akan memberikan efek jera terutama dalam sanksi tindak pidana korupsi. Apalagi saat ini pemerintah sedang didesak melakukan moratorium hukuman mati. "Perkara-perkara korupsi cukup banyak, apakah dasar JPU (menuntut hukuman mati) adalah untuk memberikan efek jera," ujar Wakil Koordinator Kontras Arif Nur Fikri, Kamis (23/12).

Menurut Arif, seharusnya JPU belajar dari perkara-perkara lain seperti narkoba dan pembunuhan berencana. Menurut dia, pidana hukuman mati dalam dua perkara tersebut sama sekali tidak memberikan efek jera.

"Kalau memang dasarnya memberikan efek jera, seharusnya JPU bisa berkaca dari perkara-perkara lain seperti Narkotika dan pembunuhan berencana, di mana hal tersebut jelas bahwa tuntutan hukuman mati tidak memberikan efek jera sama sekali," ujar dia.

Selain itu, kata Arif, seharusnya JPU mendukung langkah pemerintahan Joko Widodo yang secara tidak langsung sedang melakukan moratorium hukuman mati. Menurut dia, meskipun hukum positif di Indonesia masih membolehkan hukuman mati termasuk untuk kasus korupsi, namun hukuman mati tersebut sebaiknya tidak diterapkan karena belum terbukti memberikan efek jera.

KontraS menilai pemerintah saat ini secara tidak langsung sedang berusaha melakukan moratorium terkait dengan eksekusi mati. Seharusnya upaya-upaya tersebut didukung oleh aparat penegak hukum, tidak menambah deretan hukuman mati.

"Saya rasa solusinya akan lebih bijak jika aparat penegak hukum mencari solusi penghukuman lain selain hukuman mati, jika tujuannya untuk memberikan efek jera ketimbang hukuman mati," imbuh dia menambahkan.

Sementara Divisi Hukum Kontras Auliya Rayyan menilai hukuman mati pada dasarnya hanya melemahkan proses hukum. Pasalnya hukuman mati tidak dapat memberi pelajaran pada pelaku kejahatan termasuk tidak memberikan efek jera.

"Hukuman mati tidak akan membuat koruptor jera selama sistem peradilan masih memiliki orang-orang yang sama, yang terus memotong hukuman koruptor, masih ada," tegasnya.

Ia memberi contoh, sudah ada banyak kasus korupsi yang hukumannya dipotong dengan alasan-alasan remeh berlaku baik, sangat menyesal, dan lain-lain. "Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kasus ini (kasus Asabri) hukuman mati cuma hanya jadi basa-basi belaka dan bisa saja berubah," jelas Auliya.

Selain itu, kata Auliya, hal lain yang membuat hukuman mati tidak memberikan efek jera pada koruptor adalah kelonggaran yang membuat pejabat publik dapat melakukan korupsi. Selama korupsi masih terus bisa dijalankan dengan mudah dan berbanding terbalik dengan semangat menghukum koruptor yang kecil, tutur dia, maka korupsi akan terus langgeng.

"Oleh karena itu, yang mesti diubah tidak cuma sistem penghukuman untuk koruptor, tapi juga kebijakan-kebijakan lain yang dapat mempersempit pergerakan pejabat publik untuk melakukan korupsi," jelasnya.

Sembilan Tersangka Kasus Korupsi Asabrir - (Infografis Republika.co.id)




 
Berita Terpopuler