Perdana Setelah Wuhan, China Lockdown Ketat Kota Xi'an

Dari tambahan kasus baru Covid-19 di Xi'an belum ditemukan varian Omicron.

AP Photo/Mark Schiefelbein
Warga Beijing, China, mengenakan masker sebagai upaya pencegahan Covid-19. Sejak Kamis (23/12), Pemerintah China melakukan lockdown terhadap Kota Xian yang berpenduduk 13 juta jiwa setelah kasus baru muncul dalam jumlah signifikan.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikarma, Lintar Satria Zulfikar, Fergi Nadira, Antara

China tidak pernah main-main ketika berhadapan dengan virus corona jenis baru. Mulai hari ini, China melakukan karantina wilayah atau lockdown di Kota Xi’an setelah muncul 127 kasus Covid-19 di sana.

Semua penduduk di Xi’an yang berjumlah 13 juta orang dilarang meninggalkan rumah mereka, kecuali untuk membeli bahan pokok atau keadaan darurat. Semua perjalanan dari dan ke kota tersebut ditangguhkan. Jika ada kebutuhan mendesak untuk bepergian ke sana dan sebaliknya, diperlukan izin resmi.

Lockdown di Xi'an merupakan karantina terketat yang pernah diterapkan China sejak virus corona pertama kali muncul di Wuhan pada awal 2020. Infeksi Covid-19 di Xi’an dilaporkan telah menyebar ke 14 distrik di sana. Namun pemerintah belum melaporkan adakah varian Omicron yang ditemukan.

Lockdown di Xi’an yang sangat ketat itu memicu kekhawatiran masyarakat yang memiliki sanak saudara di wilayah itu. “Saya sudah lama tidak takut dengan epidemi, tapi kali ini berbeda karena anak saya masih di Xi’an,” kata seorang warga China di media sosial Weibo, dikutip laman The Guardian, Kamis (23/12).

Hotel di Xi'an juga menutup pintunya bagi tamu. "Kami tidak menerima tamu apa pun dan tidak ada tamu yang diizinkan meninggalkan hotel," kata seorang resepsionis Hanting Hotel di Xi'an yang hanya memberikan nama depannya, Li.

"Kami juga mewajibkan para tamu untuk melakukan tes setiap dua hari sekali. Ini akan berdampak pada bisnis kami dan kami tidak tahu sampai kapan ini akan berlangsung," tambahnya, dikutip dari AP.

Seorang pemilik toko buku setempat mengatakan ia sudah tutup selama 10 hari. "Takut situasi pandemi semakin memburuk," kata pemilik toko yang nama depannya Xiao. "Sekarang saya diam di rumah menonton televisi," ujarnya.

Penduduk di Ibu Kota China era Dinasti Qin itu memang tidak diizinkan meninggalkan wilayahnya mulai Kamis dini hari. Otoritas Ibu Kota Provinsi Shaanxi itu juga menutup 3.574 unit sekolahan dan mewajibkan para murid mengikuti kelas daring. Objek wisata, termasuk Museum Prajurit Terakota yang sangat populer hingga mancanegara itu juga ditutup, sementara para pekerja disarankan bekerja dari rumah.

Belum diumumkan berapa lama lockdown di Xi’an bakal diberlakukan. Dalam tes PCR massal pada Ahad (19/12) terjaring 42 kasus, lalu pada Senin (20/12) didapati 52 kasus. Kemudian tes massal putaran kedua ditemukan 127 kasus pada warga lokal.

Kode kesehatan digital sempat tidak berfungsi pada Senin (20/12) sehingga menyulitkan beberapa orang yang baru datang di salah satu kantung etnis minoritas Muslim Huimin di wilayah barat China itu. Sebelumnya otoritas Xi'an menyebutkan kasus positif Covid-19 varian Delta tersebut berasal dari penerbangan nomor PK854 dari Islamabad, Pakistan, tujuan Xi'an pada 4 Desember. Kluster Xian telah menyebar ke dua kota di Provinsi Shaanxi, Provinsi Guangdong, dan Beijing.

Dikutip dari Reuters, warga Xi'an yang ingin keluar dari kota harus menunjukkan hasil PCR negatif Covid-19 sebelum keberangkatan. Mereka juga harus mendapatkan izin dari atasan atau pejabat tingkat komunitas.

Layanan bus jarak jauh sudah tidak ada sejak aturan lockdown diberlakukan. Pemerintah juga melarang taksi dan kendaraan platform online untuk beroperasi. Petugas kepolisian berjaga dan akan meminta warga yang keluar rumah untuk kembali ke kediamannya.

Dalam video livestreaming dari petugas polisi lalu lintas yang dilihat Reuters, tampak jalan utama di Xi'an tampak jalanan hampir kosong. Mulai hari ini, hanya satu orang dari setiap rumah di Xi'an yang boleh keluar untuk melakukan kegiatan yang sifatnya mendesak, misalnya berbelanja bahan makanan. Kegiatan tersebut diizinkan dilakukan satu kali dalam tiap dua hari. Anggota keluarga lainnya tidak dibolehkan keluar rumah, kecuali bekerja di sektor yang masuk kategori esensial  

China diketahui sudah menemukan kasus Omicron di tiga provinsi. Hal itu mendorong mereka untuk mengejar pendekatan “nol-Covid” dengan gigih. Pada Februari tahun depan, China bakal menghelat Olimpiade Musim Dingin Beijing.

China menerapkan beberapa tindakan paling ketat di dunia dalam rangka melenyapkan infeksi Covid-19. Langkah yang diambil termasuk pembatasan perjalanan ketat, pengujian wajib massal, dan karantina wajib untuk kontak dekat. Peraturan itu telah menempatkan puluhan ribu orang ke dalam karantina wajib dalam beberapa bulan terakhir.

Negeri Tirai Bambu memang terbilang berhasil mengendalikan pandemi. Meski Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan pada akhir 2019, sejauh ini negara tersebut hanya mencatatkan 101 ribu kasus dengan korban meninggal sebanyak 4.636 jiwa.







Baca Juga

Tidak disebutkan apakah lonjakan kasus infeksi di Xi'an disebabkan varian Omicron atau Delta. China hanya mencatat tujuh kasus varian Omicron, empat di selatan pusat wilayah industri Guangzhou, dua di selatan Kota Changsha dan satu di pelabuhan Tianjin.

China juga menghadapi beberapa wabah besar di beberapa kota di timur Provinsi Zhejiang, dekat Shanghai. Walaupun sudah menerapkan kebijakan isolasi. Pihak berwenang China mengadopsi kebijakan-kebijakan pengendalian pandemi yang ketat.

Langkat ketat China mungkin merupakan salah upaya antisipasi penyebaran Omicron lebih luas. Saat ini masih terlalu dini untuk tidak mewaspadai varian Omicron.

Studi Public Health Scotland namun menemukan orang yang terinfeksi varian Omicron pada November dan Desember sekitar dua pertiga lebih kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah sakit, dibandingkan dengan varian Delta. Hasil penelitian juga muncul karena varian Omicron semakin dikaitkan dengan gejala yang lebih ringan, setidaknya bagi mereka yang sudah divaksinasi.

Meski belum dipublikasikan, penelitian ini memberikan angin segar oleh masyarakat di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang didorong oleh Omicron. Selama pengarahan media pada Rabu (22/12) waktu setempat, Direktur Kesehatan Masyarakat Skotlandia Dr Jim McMenamin menyebut penelitian ini adalah kabar baik yang memenuhi syarat.

Namun dia mengatakan, bahwa penting agar tidak mendahului diri sendiri. Menurutnya potensi dampak serius dari Omicron pada populasi tidak bisa diremehkan.

"Terlebih lagi, sebagian besar kasus Omicron tampaknya terjadi di antara orang-orang yang sebelumnya memiliki Covid-19. Proporsi kasus Omicron dalam penelitian yang merupakan kemungkinan infeksi ulang, lebih dari 10 kali jumlah kasus Delta," tulis para peneliti seperti dilansir dari laman NBC News, Kamis (23/12).

Penelitian, yang melibatkan 5,4 juta orang, disertai dengan peringatan, termasuk fakta bahwa varian Omicron belum dilaporkan di sebagian besar populasi lansia Skotlandia. Seorang profesor asosiasi epidemiologi di Harvard TH Sekolah Kesehatan Masyarakat Chan. Bill Hanage mengatakan, meskipun menjanjikan penelitian itu tidak berarti kita dapat mengabaikan angin dan mengadakan pesta liburan besar di mana kita mengumpulkan semua kerabat lanjut usia dan mulai batuk-batuk pada mereka.

Studi lain, dari Institut Nasional untuk Penyakit Menular Afrika Selatan memiliki temuan serupa yang menunjukkan bahwa orang dengan varian Omicron lebih dari tiga perempat lebih kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah sakit. Laporan ketiga yang dirilis Rabu, dari Imperial College London Inggris, juga menunjukkan pengurangan rawat inap terkait Omicron dibandingkan dengan Delta. Tapi penurunan itu tidak sekuat studi Skotlandia.

Studi di London, yang mencakup 56.000 kasus Omicron dan 269.000 kasus Delta, menemukan bahwa orang dengan Omicron sekitar 40 persen lebih kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah sakit setidaknya selama satu malam. Pada Rabu, Menteri Kesehatan muda Inggris, Gillian Keegan mengatakan, saat ini tercatat 129 pasien yang teridentifikasi Omicron, Rabu (22/12) waktu setempat. Sementara 14 orang telah meninggal karena kasus Omicron dalam sehari.

Dia juga mengatakan, bahwa pemerintah Inggris tidak akan ragu untuk memberlakukan pembatasan Covid-19 lebih ketat jika data menunjukkan bahwa itu diperlukan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan sebelumnya, dia tidak akan memberlakukan pembatasan baru di negaranya sebelum Natal, namun situasi Omicron saat ini semakin mengkhawatirkan sehingga dimungkinkan perlu bertindak.
 

 


 
Berita Terpopuler