Kepercayaan Masyarakat Terhadap KPK Era Firli Terus Menurun

Ragam survei mendapati kepercayaan masyarakat terhadap KPK merosot.

Republika/Putra M. Akbar
Ketua KPK - Firli Bahuri.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Amri Amrullah

Survei terbaru Charta Politika mengungkap hasil tingkat kepercayaan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurun. Hasil survei Charta Politika ini seperti meneruskan tren survei lembaga-lembaga lain sebelumnya.

Survei mendapati bahwa 64,3 persen publik masih percaya pada kinerja lembaga antirasuah tersebut dengan 18,4 persen tidak percaya dengan KPK. Tingkat kepercayaan lembaga antikorupsi tersebut berada di bawah presiden, TNI dan Polri.

"Sebelum revisi UU KPK, biasanya KPK ini selalu nomor 2 atau nomor 3 bersaing dengan TNI," kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya seperti dikutip, Selasa (21/12).

Berdasaran hasil survei, Presiden Joko Widodo memiliki tingkat kepercayaan tertinggi dengan 77,8 persen. Disusul dengan TNI di tingkat kedua dengan 76,3 persen dan Polri di peringkat ketiga dengan tingkat kepercayaan sebesar 66,8 persen.

Yuniarto melanjutkan, beberapa lembaga survei lain juga mendapati bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun dan disalip oleh Polri. Kendati, Yunarto tidak bisa memastikan penyebab pasti turunnya kepercayaan responden kepada KPK adalah karena revisi UU KPK atau bukan.

Baca Juga

Sebagian masyarakat juga menilai buruk kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia. Survei mendapat bahwa 44 persen publik menilai buruk pemberantasan korupsi dan 4,9 persen menyebut sangat buruk.

Penilaian tersebut relatif menurun jika dibandingkan dengan hasil survei pada Juli lalu. Survei saat itu mendapat bahwa 45,3 persen publik menilai kondisi pemberantasan korupsi buruk dan 7,7 persen berpendapat sangat buruk.

Survei Charta Politika dilakukan selama 29 November-6 Desember 2021 dengan responden sebanyak 1.200 usia 17 tahun ke atas. Survei dilakukan metode wawancara tatap muka dan margin of error sekitar 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

hasil survei Charta Politika Indonesia kembali mendapati tingkat kepercayaan publik yang menurun terhadap KPK. Survei mendapati bahwa 64,3 persen publik masih percaya pada kinerja lembaga antirasuah tersebut dengan 18,4 persen tidak percaya dengan KPK.

Tingkat kepercayaan lembaga antikorupsi tersebut berada di bawah presiden, TNI dan Polri. Dalam survei, Presiden Joko Widodo memiliki tingkat kepercayaan tertinggi dengan 77,8 persen, TNI 76,3 persen dan Polri 66,8 persen.

KPK sudah merespons hasil survei terbaru Charta Politika. KPK meminta setiap lembaga survei untuk memberikan penjelasan lebih lanjut terkait alasan menurunnya tingkat kepercayaan tersebut.

"Ukuran tersebut akan menjadi salah satu pertimbangan saran dan perbaikan terhadap fokus kerja KPK ke depannya," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri di Jakarta, Selasa (21/12).

Menurut Ali, setiap lembaga survei dapat menyampaikan secara detail poin-poin rekomendasi atau yang publik harapkan terhadap kinerja suatu institusi yang diukur. Dia melanjutkan, hal itu agar pengukuran tersebut lebih memberikan daya dorong terhadap upaya perbaikan suatu institusi.

KPK mengaku menyadari bahwa persepsi publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi merupakan suatu hal yang penting. Ali mengatakan, hal ini mengingat publik tidak hanya sebagai objek pemberantasan korupsi namun sekaligus berperan sebagai subjek.

"Hal tersebut relevan dengan strategi pemberantasan korupsi yang diterapkan KPK melalui pendekatan pendidikan, pencegahan dan penindakan," katanya.

KPK mengaku mengapresiasi lembaga-lembaga survei yang secara konsisten dan berkelanjutan melakukan pengukuran terhadap tingkat ataupun trend kepercayaan publik terhadap institusi negara. Ali mengatakan, persepsi masyarakat juga menjadi potret optimisme publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Pengukuran persepsi publik akan dijadikan KPK sebagai salah satu baseline untuk terus meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi yang manfaatnya bisa betul-betul dirasakan oleh masyarakat luas," katanya.

In Picture: Presiden Joko Widodo Hadiri Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di KPK

Presiden Joko Widodo bersama Ketua KPK Firli Bahuri usai menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/12). Hakordia 2021 tersebut bertajuk Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Sebelum Charta Politika, lembaga Indikator Politik Indonesia juga merilis hasil survei kepercayaan publik terhadap lembaga tinggi negara pada awal November lalu. Hasilnya sama, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK merosot.

Tingkat kepercayaan KPK juga berada di bawah kepolisian, padahal biasanya KPK selalu berada di atas Polri dalam sejumlah hasil survei. Mengacu pada hasil survei Indikator, TNI menjadi institusi yang paling diyakini dengan tingkat kepercayaan 94,3 persen. Dilanjutkan dengan Presiden (86,4 persen) Polri (80,2 persen) dan Kejaksaan (75,3 persen).

Tingkat kepercayaan KPK di mata publik sebesar 71,1 persen. Lembaga antikorupsi itu berada di atas DPD (66,4 persen) DPR (61,1 persen) dan partai politik (52,5 persen).

Berdasarkan survei Indikator, keyakinan terhadap KPK tampak mulai terus menurun sejak Februari 2019 dengan tingkat kepercayaan 80,5 persen. Angka itu terus menurun pada September 2020 menjadi 73,5 persen.

"Jika dilihat, kepercayaan masyarakat terhadap KPK menurun jika dibandingkan September tahun lalu," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, saat memaparkan hasil survei, Ahad (5/11).

Burhanuddin menegaskan, ada penurunan tingkat kepercayaan terhadap lembaga yang dipimpin Ketua KPK Firli Bahuri tersebut. Dia mengatakan, biasanya KPK berada di urutan pertama atau kedua sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat.

Survei Indikator dilaksanakan pada 2 hingga 6 November 2021 dengan melibatkan 2.020 responden, meliputi sample basis 1.220 dan oversample 800 yang telah memiliki hak pilih. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error sekitar 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

 

Pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) pada 9 Desember 2021, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (PUKAT UGM) menilai, pemberantasan korupsi pada era kepemimpinan Firli Bahuri di KPK, suram.

"Upaya pemberantasan korupsi semakin suram dan mundur, apalagi selama setahun kebelakang ini. Bisa dilihat misalnya dari rendahnya indeks persepsi korupsi, tidak hanya rendah tetapi juga indeks persepsi korupsi turun 2 poin dari 2019 yaitu di angka 40 kemudian turun menjadi 38 di 2020," ujar Peneliti Pukat UGM Zainur Rahman kepada wartawan, Kamis (9/12).

Menurut dia, angka indeks persepsi korupsi itu bisa menjadi gambaran betapa memang justru Indonesia bukan menjadi semakin bersih dari korupsi, tetapi Indonesia semakin bermasalah dengan korupsi. Kemudian, lanjut Zeinur, kedua ia melihat selama setahun terakhir tidak ada komitmen kuat dari pemerintah di dalam pemberantasan korupsi.

Ketiadaan komitmen itu misalnya dilihat dari tidak adanya dukungan legislasi dari pemerintah yang diajukan kepada DPR. Misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Hasil Kejahatan tidak ada kemajuan, padahal RUU itu dapat menjadi pengubah permainan dalam pemberantasan korupsi.

"Karena RUU itu dapat menjadi instrumen untuk merampas harta kekayaan penyelenggara negara yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya, dengan menggunakan metode pembuktian terbalik," ungkapnya.

Kemudian, Zeinur juga tidak melihat adanya komitmen pemberantasan korupsi dari Presiden. Misalnya dalam konteks Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Alih-alih presiden mendukung independensi KPK, justru presiden tidak berbuat apa-apa ketika TWK itu dilakukan, untuk menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang berintegritas tinggi.

Padahal, dalam proses TWK, ditemukan penuh dengan maladministrasi, sesuai dengan rekomendasi Ombudsman. Dan banyak pelanggaran HAM sesuai dengan temuan Komnas HAM. Sedangkan presiden sebagai kepala tertinggi pemerintahan, hanya diam dalam hal ini.

"Itu juga menunjukkan lemahnya dukungan presiden dan pemerintah secara umum terhadap pemberantasan korupsi," tegasnya.

Dari sisi penindakan, PUKAT UGM melihat juga sangat buruknya kinerjanya, apalagi penindakan yang dilakukan oleh KPK. Tidak ada satupun kasus korupsi strategis yang diungkap dan diselesaikan di setahun terakhir ini. Bahkan KPK mengeluarkan SP3 untuk kasus korupsi BLBI, KPK tidak ada satupun kasus strategis yang merugikan keuangan negara besar atau pelaku dengan jabatan yang sangat tinggi atau yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

"Tapi saya harus fair, KPK memang sangat buruk prestasi penindakannya di setahun terakhir. Tetapi koleganya, Kejaksaan itu justru menunjukkan prestasi yang lebih baik," sebutnya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari juga menilai, pemberantasan korupsi pada era kepemimpinan KPK Firli Bahuri dkk, tidak sebaik sebelumnya. Keberhasilan yang disampaikan Ketua KPK pada peringatan Hakordia, hanya sebatas klaim yang menjadi gimmick dan seremonial semata.

"Kalau kita lihat lebih dalam dan telusuri banyak sekali bukti bahwa apa yang disampaikan KPK itu hanya gimmick kamuflase terhadap kian melemahnya upaya pemberantasan korupsi. Misalnya IPK kita yang anjlok 3 poin itu sebuah penurunan yang luar biasa. Bukan 1-2 poin ya, ini 3 poin dan itu sudah menjadi pertanda bahwa memang ada masalah serius di KPK," papar Feri dalam pernyataannya kepada wartawan, Kamis (9/12).

Menurut dia, seharusnya KPK sebagai pemangku kepentingan utama pemberantasan korupsi, memahami persoalan dasar ini. Mengapa justru indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia justru anjlok di tengah klaim kesuksesan yang disampaikan Ketua KPK tersebut.

Pemberantasan korupsi juga seringkali sebatas seremonial. Feri mencontohkan kehadiran Presiden Jokowi pada peringatan Hakordia tahun ini di Gedung KPK.

"Padahal ketika dahulu banyak publik memberi kepercayaan ke KPK, Jokowi tidak pernah ingin hadir," ungkapnya.

Sehingga, menurut Feri, pemberantasan korupsi saat ini memang terasa hanya simbolis, seremonial dan gimmick. Dan, ia menambahkan semua seremonial itu sengaja dibuat sedemikian rupa hanya untuk pencitraan bahwa upaya pemberantasan korupsi itu ada.

"Sama persis dengan di masa orde baru kesannya upaya penegakan hukum itu ada tapi faktanya kita tahu pelanggaran hukum utamanya itu siapa," ujar Feri.

 

Kinerja KPK menjadi sorotan publik. - (Republika/Berbagai sumber diolah)

 

 
Berita Terpopuler