Palestina di Ambang Normalisasi Israel-Arab Saudi

Normalisasi yang sebenarnya akan mustahil selama wilayah Palestina diduduki.

AP/Hatem Moussa
Palestina di Ambang Normalisasi Israel-Arab Saudi. Warga Palestina menikmati matahari terbenam di pantai, di Kota Gaza, Sabtu, 4 Desember 2021. Pantai ini merupakan salah satu dari sedikit ruang publik terbuka di kota padat penduduk ini.
Rep: Umar Mukhtar/Dea Alvi Soraya Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Israel tidak henti-hentinya menginginkan normalisasi penuh di kawasan Arab. Israel terus menyampaikan gagasan bahwa masalah Palestina bukan lagi menyangkut dunia Arab.

Baca Juga

Namun, secara paradoks, normalisasi yang sebenarnya akan mustahil selama wilayah Palestina diduduki. Selama bertahun-tahun, konflik Israel-Palestina adalah kunci untuk membuka proses normalisasi diplomatik di seluruh wilayah.

Selama beberapa dekade, bagaimanapun, pemerintah Arab berturut-turut telah berkomitmen menormalisasi hubungan dengan Israel, selama Israel menarik diri dari wilayah pendudukan dan memfasilitasi solusi yang adil bagi pengungsi Palestina. Di beberapa ibu kota Arab, pertanyaan Palestina bahkan bergema lebih luas sekarang dan sebagian besar pemimpin Arab secara konsisten menekankan perlunya solusi dua negara berdasarkan Inisiatif Perdamaian Arab dan keputusan mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Wakil tetap Arab Saudi untuk PBB Abdallah Al-Mouallimi menyampaikan dalam agenda Komite Keempat Sidang ke-76 Majelis Umum PBB (UNGA), bahwa hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri dan untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang sah.

"Termasuk hak yang sah untuk mendirikan negara merdeka mereka dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya berdasarkan resolusi Dewan Keamanan yang relevan, dan Prakarsa Perdamaian Arab yang menetapkan peta ke solusi akhir dalam kerangka solusi dua negara dan pembentukan negara Palestina di perbatasan 1967," kata dia, dilansir dari laman Daily Sabah, Selasa (21/12).

 

 

Al-Mouallimi menekankan perlunya komunitas internasional menjalankan tanggung jawabnya untuk memaksa Israel menghormati keputusan komunitas internasional supaya mengakhiri pendudukannya atas tanah Arab di Palestina, Dataran Tinggi Golan, dan Lebanon. Dia juga mengatakan, kebijakan pembangunan pemukiman dan ekspansi kolonial yang dilakukan otoritas pendudukan Israel di tanah Palestina sudah cukup untuk menghancurkan kemungkinan hidup berdampingan secara damai.

Dia menegaskan, posisi Arab Saudi tetap tidak berubah dalam mendukung perjuangan Palestina dan rakyat Palestina. "Posisi resmi dan terbaru Saudi adalah  kami siap menormalisasi hubungan dengan Israel segera setelah Israel menerapkan elemen inisiatif perdamaian Saudi yang dipresentasikan pada 2002," ujarnya.

Normalisasi tidak hanya pembentukan hubungan diplomatik resmi dan pertukaran pejabat tingkat atas antar negara, tetapi juga keterlibatan orang ke orang secara luas. Di masa lalu, Israel menormalkan hubungan dengan beberapa negara Arab seperti Maroko, Oman, Qatar dan Tunisia, yang semuanya memiliki kantor komersial di negara tersebut.

Namun, jika dilihat realisasinya, tidak satupun dari mereka bertahan dan tidak ada normalisasi orang-ke-orang yang terjadi. Misalnya, sudah 42 tahun sejak perjanjian damai Mesir-Israel ditandatangani, namun normalisasi orang-ke-orang tidak pernah ada dan hubungan antara Mesir dan Israel tetap cukup dingin.

Situasi yang sama berlaku untuk perjanjian damai Israel-Yordania 1994, di mana hubungan antarwarga dijanjikan tetapi tidak pernah ada dalam kenyataan. Sebagian besar penduduk Yordania, termasuk generasi baru yang lahir di era perdamaian, terus menentang normalisasi dengan Israel.

Dalam kondisi demikian, normalisasi dengan Israel di kawasan itu hanya bisa datang melalui penerimaan di lapangan oleh masyarakat Arab pada umumnya, utamanya ketika keadilan ditujukan kepada orang-orang Palestina, berakar pada perdamaian, dan jaminan hak asasi manusia mereka terjamin. Jika tidak, normalisasi tidak akan pernah bisa menjadi normalisasi.

Ketegangan Israel dan Unesco - (Republika.co.id)

Sementara itu, Mufti Agung Al-Aqsa mengecam proposal penghancuran Masjid Al-Aqsa yang diserukan Paul Gosar, anggota kongres Amerika Serikat perwakilan Arizonia, baru-baru ini. Sheikh Mohammad Hussein, mufti al-Quds dalam pernyataannya meminta masyarakat internasional menghidupkan kembali hak-hak bangsa Palestina dan mengecam Paul Gosar atas proposal untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsa.

"Pernyataan rasial ini mirip dengan komentar radikal Rabi Yaakov Heimann yang telah membuat proposal serupa,” kata Mufti yang dikutip di Abna, Rabu (15/12). 

Mufti menyebut pernyataan seperti itu berbahaya dan manifestasi dari pandangan "rasial" yang bertentangan dengan pandangan global terhadap al-Quds dan Masjid al-Aqsha. Dia juga menekankan bahwa Masjid al-Aqsha hanya milik umat Islam, oleh karenanya, non-Muslim tidak berhak ikut campur dalam keputusan terkait situs suci itu. 

"Setiap keputusan untuk menyerang masjid suci sebenarnya merupakan serangan terhadap Muslim di seluruh dunia,” ujarnya. 

"Kami menyerukan negara-negara dunia untuk menerapkan resolusi di Palestina dan mengutuk sikap diskriminatif rezim ilegal Israel dan mencegah pelanggaran mereka terhadap hak-hak bangsa Palestina, tanah dan kesucian Palestina,” seru Sheikh Mohammad Hussein. 

Mufti Al-Quds mendesak negara-negara Arab dan Islam untuk melakukan yang terbaik untuk melindungi Masjid al-Aqsha dan Yerusalem al-Quds dan mencegah perjuangan untuk Yudaisasi tempat-tempat suci Islam.

 
Berita Terpopuler