Pengungsi Pindah ke Skotlandia Tanpa Akses ke Masjid

Pengungsi Afgansitan disebut telah dipindahkan ke akomodasi yang tidak layak

AP/Petros Giannakouris
Gadis-gadis bermain di luar rumah bata lumpur di sebuah kamp untuk pengungsi internal, di Kabul, Afghanistan, Senin, 15 November 2021.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Esthi Maharani

IHRAM.CO.ID, EDINBURGH -- Beberapa pengungsi dari Afghanistan yang baru tiba, menyesal telah melarikan diri dari Taliban dan kematian. Hal ini mereka rasakan karena kurangnya dukungan dari otoritas Inggris.

Orang-orang ini melarikan diri dari Afghanistan, di tengah pengambilalihan oleh kelompok militan ekstremis Taliban. Dalam pelariannya, mereka merasa khawatir akan nasib orang-orang terkasih yang harus mereka tinggalkan, sembari memulai hidup baru di Inggris.

Dilansir di iNews, Senin (6/12), beberapa pengungsi Afghanistan yang bekerja untuk pemerintah dan militer Inggris disebut telah dipindahkan ke akomodasi yang tidak layak, atau dibiarkan mendekam di hotel penghubung.

Sepasang suami istri, yang kini sedang mengandung, dalam waktu singkat dipindahkan ke kota terpencil Wick di Dataran Tinggi Skotlandia. Lokasi ini tidak memiliki akses ke masjid ataupun toko makanan halal.

Hamid Hakimi merupakan mantan juru bahasa untuk angkatan bersenjata Inggris. Ia mengatakan harus naik bus dengan harga mahal selama dua setengah jam ke Inverness, untuk membeli makanan halal sebulan sekali.

Tetapi, perhatian utamanya adalah untuk sang istri, Maryam Orfani, yang sedang hamil 12 minggu. Istrinya disebut menderita depresi akut karena merasa terisolasi dari teman dan keluarga yang juga dievakuasi ke Inggris, dengan jarak di antara mereka delapan jam perjalanan.

“Suatu waktu, saya membawa istri saya ke Departemen A&E di rumah sakit, tiga malam berturut-turut. Dia jatuh, tidak makan atau minum dan mengalami dehidrasi. Pihak RS memberinya cairan,” katanya.

Setelah dirawat di rumah sakit dan berada di rumah, ia berusaha keras untuk memasukkan asupan makanan ke dalam tubuhnya. Sang istri disebut kehilangan berat badan 9,5 kilogram sejak tiba di Inggris, meskipun dalam kondisi sedang mengandung.

Orfani merasa khawatir dan ketakutan dengan kehidupannya di masa depan, terlebih setelah anaknya lahir nanti. Ia merasa sangat membutuhkan dukungan teman sebaya.

“Tidak ada seorang pun di sekitar saya (selain suami saya) yang bisa diajak bicara atau berbagi kekhawatiran. Ini memberikan saya waktu yang sulit dan membuat saya depresi," ujar dia.

Yang memperburuk kesehatan mentalnya adalah kenyataan bahwa sang ayah, yang bekerja untuk pasukan koalisi dan anggota keluarga lainnya terjebak di Afghanistan. Mereka sering pindah rumah untuk menghindari pembalasan dari Taliban.

Mereka juga telah berusaha untuk menghubungi Highland Council, berkaitan dengan pemindahan mereka dari rumah saat ini. Rumah tersebut dikatakan sangat lembab, sehingga wallpaper yang mereka pasang sering kali jatuh.

Terlepas dari upaya mereka, termasuk dukungan surat dari bidan yang menyatakan kepindahan mereka ke tempat lain yang memiliki dukungan sebaya akan mengurangi “kerentanan” dia dan janin, dewan setempat menolak untuk mendukung langkah tersebut.

Sebaliknya, mereka disarankan untuk pindah ke tempat lain menggunakan uang pribadi. Namun, Hakimi menyebutkan kurangnya prospek di kota tersebut. Dia telah mencoba melamar beberapa pekerjaan yang tersedia, termasuk sebagai pekerja Natal sementara di Tesco, tetapi sejauh ini terus mengalami penolakan.

Terlepas dari kemungkinan dia akan dibunuh oleh Taliban karena pekerjaannya dengan militer Inggris, Hakimi mengatakan pasangan pernah memohon untuk dikirim kembali ke Kabul.

“Di Afghanistan, kita mungkin mati dalam satu tahun atau dalam sebulan, tetapi di Wick kita mati setiap hari,” katanya.


Menanggapi klaim tentang situasi perumahan mereka, Highland Council mengatakan tidak mengomentari kasus individu.

Mantan penerjemah lainnya, yang juga dibawa ke Inggris di bawah Kebijakan Relokasi dan Bantuan Afghanistan (ARAP), mengatakan dia telah diberitahu akan dipindahkan dari perumahan sementara yang terjangkau di London ke akomodasi sewaan pribadi.

Dia khawatir, hal ini akan menelan sebagian besar uang sakunya sampai dia dapat menemukan pekerjaa. Dalam sebulan, ia dan keluarganya dikenai biaya 240 poundsterling atau Rp 4,5 juta untuk tagihan listrik, karena mereka dikenakan tarif yang tidak tetap.

Ia telah mencoba menghubungi petugas pekerja sosial, yang ditugaskan oleh dewan untuk mendampingi para pengungsi, untuk mengungkapkan keprihatinannya. Namun, respon yang diberikan tidak sesuai harapannya.

“Jika saya tahu akan berakhir dalam situasi sekarang, saya tidak akan datang ke sini. Saya lebih suka tinggal di sana bersama keluarga saya, meskipun Taliban akan membunuh kami, karena berada di sini sulit setiap menitnya,” katanya.

Sebagai tanggapan, otoritas lokal mengatakan para pengungsi diprioritaskan untuk berada rumah dewan, bersamaan dengan kelompok lain. Tetapi, kurangnya unit berarti beberapa pengungsi akan ditempatkan di akomodasi sementara, sebelum dapat mengakses perumahan sosial.

Dewan Pengungsi mengatakan, kecepatan upaya evakuasi yang terjadi sebelum dan setelah pengambilalihan Kabul oleh Taliban, serta banyaknya pengungsi, memungkinkan ketidak seimbangan antara jumlah orang dan unit akomodasi yang tersedia.

“Saat ini, petugas menempatkan ribuan orang di hotel dan mencoba memindahkan mereka ke otoritas lokal secepat mungkin. Pertimbangan utama adalah mencocokkan ukuran unit keluarga dengan ukuran akomodasi yang tersedia,” kata kepala advokasi, Andy Hewitt.

 
Berita Terpopuler