Disudutkan Setelah Ada Kasus Omicron, Afsel Melawan

Afsel menilai larangan perjalanan bagi negara-negara selatan Afrika tidak adil.

AP/Denis Farrell
Usap tenggorokan diambil dari seorang pasien untuk tes COVID-19 di sebuah fasilitas di Soweto, Afrika Selatan, Rabu 2 Desember 2021. Afrika Selatan telah mempercepat kampanye vaksinasinya dengan memberikan suntikan di situs pop-up di pusat perbelanjaan dan transportasi pusat untuk memerangi kasus baru COVID-19 yang meningkat pesat.
Rep: Kamran Dikarma/Fergi Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, CAPE TOWN –- Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa menyesalkan keputusan puluhan negara yang menerapkan larangan perjalanan terhadap negara-negara Afrika bagian selatan menyusul penemuan Covid-19 varian omicron. Selain tidak adil dan tak ilmiah, dia menilai langkah itu merupakan bentuk “apartheid kesehatan”.

“Sebagai Afsel, kami berdiri teguh melawan segala bentuk apartheid kesehatan dalam perang melawan pandemi,” kata Ramaphosa saat berkunjung ke Pantai Gading pada Kamis (2/12).

Dia kembali mengingatkan, para ilmuwan di negaranya adalah yang pertama kali mendeteksi atau mengidentifikasi omicron. Oleh sebab itu, penerapan larangan perjalanan terhadap Afsel merupakan tamparan bagi keunggulan dan keahlian Afrika.

“Larangan (perjalanan) ini akan menyebabkan kerusakan tak terhitung, khususnya pada industri perjalanan dan pariwisata yang menopang bisnis serta mata pencaharian di Afsel dan kawasan Afrika (bagian) selatan,” ujar Ramaphosa.

Ramaphosa adalah pemimpin serikat pekerja pertambangan yang kuat selama era apartheid. Saat kekuasaan minoritas kulit putih berakhir, ia berhasil menjadi pengusaha sukses. Sebelum presiden, Ramaphosa sudah pernah mengisi posisi wakil presiden. Dia adalah kepala negara kelima Afsel sejak munculnya demokrasi pada 1994.

Baca Juga

Terkait omicron, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengategorikan varian itu sebagai variant of concern. Artinya, omicron lebih berbahaya dibandingkan Covid-19 versi awal. Hal itu bisa karena ia lebih menular atau resistan terhadap vaksin. Menurut WHO, omicron membawa risiko wabah global yang sangat tinggi. Kendati demikian, hingga kini, WHO belum menemukan bukti valid bahwa omicron lebih menular dibandingkan varian lainnya, seperti delta.

WHO telah meminta negara-negara dunia mengkaji ulang penerapan larangan perjalanan dari negara-negara Afrika bagian selatan. WHO mengimbau agar keputusan terkait dengan penanganan pandemi didasarkan pada sains dan peraturan kesehatan internasional.

“Karena semakin banyak negara memberlakukan larangan penerbangan terhadap negara-negara Afrika Selatan karena kekhawatiran atas varian baru (Covid-19) omicron, WHO mendesak negara-negara untuk mengikuti sains dan peraturan kesehatan internasional guna menghindari penggunaan pembatasan perjalanan,” kata WHO dalam sebuah pernyataan pada Ahad (28/11).

Tak berefek parah

Sementara itu, India memperkirakan varian omicron tidak menyebabkan efek yang parah bagi orang terpapar, Jumat (3/12). Hal ini karena vaksinasi dan paparan yang tinggi dari varian sebelumnya, yakni delta yang menginfeksi hampir 70 persen populasinya.

"Mengingat kecepatan vaksinasi yang cepat di India dan paparan yang tinggi terhadap varian delta, tingkat keparahan penyakit ini diperkirakan akan rendah," kata Kementerian Kesehatan India dalam sebuah pernyataan. "Namun, bukti ilmiah masih berkembang."

Sebanyak 84 persen penduduk India telah menerima setidaknya satu dosis. Sedangkan, lebih dari 125 juta orang juga telah menerima suntikan kedua vaksin Covid-19 pada akhir November. Pemerintah berupaya mendorong lebih banyak penduduk yang divaksin dalam menghadapi omicron ini.

India melaporkan dua kasus pertama dari varian omicron pada Kamis (2/12). Kedua pasien pertama omicron India menunjukkan gejala ringan. Namun, kekhawatiran tentang potensi gelombang ketiga infeksi telah berkembang setelah varian itu ditemukan di negara bagian Karnataka Selatan. Kasus omicron teridentifikasi pada satu orang tanpa riwayat perjalanan ke manapun baru-baru ini.

 
Berita Terpopuler