Parlemen AS Pertimbangkan RUU Cegah Kerja Paksa Uighur

Jika RUU menjadi UU, semua produk Xinjiang bisa diduga hasil kerja paksa etnis Uighur

ANTARA/M. Irfan Ilmie
Seorang pekerja mengisi bibit kapas pada mesin penebar bibit di areal perkebunan kapas di Prefektur Changji, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Rabu (21/4/2021). Xinjiang diguncang isu kerja paksa terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di perkebunan kapas, namun dibantah karena semua proses dikerjakan dengan mesin.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Parlemen Amerika Serikat (AS) atau House of Representative pada Kamis (2/12) mempertimbangkan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang impor dari wilayah Xinjiang, China. Usulan RUU tersebut didasarkan atas kekhawatiran tentang kerja paksa terhadap etnis Uighur di Xinjiang.

"Kami pikir penting untuk membuat beberapa undang-undang China, yang sebagian besar berfokus pada hak asasi manusia. Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur," ujar Perwakilan House of Representative Jim McGovern.

Partai Republik dan Demokrat telah berdebat panjang tentang undang-undang Uighur selama beberapa bulan terakhir. Belum lama ini, Senator Republik Marco Rubio telah meminta RUU pencegahan kerja paksa Uighur dimasukkan sebagai amandemen Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional atau NDAA.

Jika RUU pencegahan kerja paksa Uighur menjadi undang-undang (UU), maka akan menjadikan praduga yang dapat dibantah bahwa semua barang dari Xinjiang diproduksi dengan kerja paksa. Sementara, pemerintah China menyangkal telah melakukan pelanggaran kerja paksa di Xinjiang yang memasok sebagian besar bahan dunia untuk panel surya.

Partai Republik menuduh Presiden AS Joe Biden, yang merupakan seorang Demokrat, sengaja memperlambat terbitnya undang-undang kerja paksa Uighur karena akan memperumit agenda energi terbarukan presiden. Namun Demokrat menyangkal hal itu.

“Saya hanya ingin melihat pendekatan yang jauh lebih kuat dalam hal kerja paksa di Xinjiang,” ujar Perwakilan Demokrat, Dan Kildee.

Baca Juga

Oktober lalu, tiga bipartisan senator AS meminta jawaban dari perusahaan elektronik Amerika, Universal Electronics Inc., atas keterlibatan dalam tindakan genosida terhadap etnis Uighur dan kelompok etnis lain di Xinjiang. Ketua Hubungan Luar Negeri Senat dari Demokrat Bob Menendez bersama dengan anggota komite dari Demokrat Jeff Merkley dan Marco Rubio dari Republik mengirim surat kepada Chief Executive Officer Paul Arling.

Para senator tersebut mengirim surat menyusul laporan Reuters yang menyatakan Universal Electronics mencapai kesepakatan dengan Beijing untuk mengangkut buruh Uighur dari Xinjiang ke Qinzhou.

“Pengaturan ini menunjukkan tanda-tanda kerja paksa dan meningkatkan kekhawatiran bahwa perusahaan Anda mungkin secara langsung terlibat dalam genosida yang dilakukan pemerintah China di Xinjiang,” ujar para senator dalam suratnya seperti dilansir Anadolu Agency.

Dalam suratnya, para senator meminta seluruh perusahaan Amerika untuk berhati-hati dengan agen tenaga kerja pihak ketiga. Para senator tidak ingin perusahaan Amerika terlibat secara sistematis dengan menggunakan tenaga kerja paksa dari Uighur.

“Mengingat pelanggaran yang sedang berlangsung dan terdokumentasi dengan baik ini, perusahaan-perusahaan Amerika harus dengan hati-hati menghindari tenaga kerja paksa Uighur, termasuk dengan hati-hati memeriksa pengaturan dengan agen tenaga kerja pihak ketiga. Laporan baru menunjukkan Universal Electronics mungkin gagal dalam tugas ini,” kata para senator.

Laporan tersebut menyatakan warga Uighur dipindahkan ke fasilitas di Qinzhou, China selatan dan tinggal di asrama terpisah. Mereka berada dalam pengawasan polisi dan tunduk pada kegiatan pendidikan oleh pemerintah China.

"Kami percaya kondisi ini menunjukkan tanda-tanda kerja paksa yang jelas. Kami sangat prihatin Universal Electronics tampaknya tidak berbuat banyak untuk menyelidiki atau memperbaiki situasi," tulis para senator.

Menurut data PBB, setidaknya satu juta orang Uighur ditahan di luar kehendak mereka di tempat-tempat yang disebut Beijing sebagai pusat pelatihan kejuruan. Masyarakat internasional kemudian mendefinisikan pusat pelatihan kejuruan sebagai kamp pendidikan ulang.

Sejauh ini China tidak memberikan informasi tentang berapa banyak kamp yang ada di Xinjiang. China juga tidak mengungkapkan jumlah orang yang ditahan atau berapa banyak yang telah kembali ke kehidupan sosial.

PBB dan organisasi internasional lainnya menegaskan kembali tuntutan agar kamp dibuka untuk inspeksi. China telah mengizinkan beberapa pusat yang ditunjuk untuk dikunjungi oleh sejumlah diplomat dan jurnalis asing.

 
Berita Terpopuler