Alih Fungsi Lahan, Salah Satu Penyebab Banjir Bandang Garut

Tanaman sayuran tidak mampu mengikat air sehingga saat hujan banjir mudah terjadi.

Antara/Adeng Bustomi
Lahan pertanian milik warga rusak diterjang banjir bandang di Kampung Cileles, Desa Cintamanik, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Ahad (28/11/2021). Ratusan hektare lahan pertanian di Kecamatan Sukawening dan Karangtengah rusak diterjang banjir bandang dan longsor yang diduga disebabkan alih fungsi lahan.
Rep: Bayu Adji P Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Tim dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) masih melakukan analisis mencari tahu penyebab bencana banjir bandang di Kecamatan Sukawening dan Karangtengah, Kabupaten Garut, yang terjadi pada akhir pekan lalu. Saat ini, tim masih melakukan penyelidikan di lapangan. 

Baca Juga

Pejabat fungsional PVMBG, Edi Mulyadi, mengatakan, terdapat beberapa faktor yang diselidiki di lapangan, seperti susunan bebatuan, bentang alam, aliran air, tata guna lahan, mekanisme terjadinya banjir bandang, dan penyebabnya. Setelah itu, hasil analisis dari lapangan ada dipadukan dengan data tambahan lainnya. Dari hasil analisis final, PVMBG akan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut.

Ia menjelaskan, berdasarkan hasil penyelidikan, kondisi geologi di wilayah itu terdiri dari berbagai jenis bebatuan. "Batuan yang paling atas itu merupakan batuan gembur dan rapuh. Bebatuan itu merupakan produk dari gunung api purba di wilayah itu, seperti Talaga Bodas dan Karaha Bodas," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (2/12).

Sementara dari kondisi bentang alam, wilayah itu merupakan daerah pegunungan dengan kemiringan yang terjal. Sedangkan di bagian tengah relatif lebih landai. 

Edi menambahkan, dari faktor bentang alam, vegetasi di wilayah itu relatif kurang pepohonan berakar kuat dan dalam. Lebih banyak sawah dan kebun sayur di wilayah itu.

Sementara aliran air yang melintasi wilayah itu cukup deras. "Ada beberapa anak sungai yang bermuara di sungai yang besar," ujar dia.

Ia menjelaskan, ketika terjadi hujan ekstrem, air akan celah yang ada di bebatuan. Selainjutnya air membuat erosi di beberapa celah perbukitan yang terjal, membawa material yang rapuh. Alhasil, material itu menjadi lumpur, sehingga bermuara di sungai yang di bawahnya. 

Menurut Edi, secara kasatmata, terdapat sekitar lima longsoran yang bermuara di sungai. "Kalau dilihat di drone mungkin akan lebih banyak lagi," kata dia.

Ia menilai, longsoran itu terjadi akibat kegemburan tanah dan vegetasinya yang kurang padat, sehingga air yang turun dari hujan menggiris tanah lunak itu. Longsoran itu kemudian membendung aliran sungai. 

"Suatu saat dia jebol, jadilah akumulasi air yang besar. Sementara kemampuan sungai untuk menampung debit air itu tidak mampu. Jadinya melebar ke mana-mana, sehingga memyapu permukiman warga di sekitar aliran sungai," kata dia.

Edi menjelaskan, salah satu penyebab banjir bandang itu adalah tata guna lahan yang tidak mendukung aliran air. Di sisi lain, kondisi bebatuan di bagian atas gembur. Ditambah lagi faktor eksternal, yaitu curah hujan ekstrem, ikut memicu terjadinya longsor dan banjir bandang. 

Ia mengakui, ada pendapat yang menyebut tak ada alih fungsi lahan di wilayah itu. Menurut dia, alih fungsi lahan mungkin tak terjadi dalam kurun 10 tahun terakhir. Namun, kenyataannya di wilayan itu banyak ditanami sayuran dan sawah. 

"Tanaman tinggi relatif sedikit. Tanaman sayuran dan pesawahan kan tak mampu untuk menyerap air. Jadi suatu saat pasti akan terjadi longsor. Mengenai waktu alih fungsi lahan terjadi, saya belum sampai ke sana," kata dia.

Sementara itu, Ketua Badan Pembina (BP) Forum Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat (Jabar), Dedi Kurniawan, mengatakan, pihaknya telah membentuk tim untuk mencari penyebab banjir bandang yang menerjang Kecamatan Sukawening dan Karangtengah. Berdasarkan hasil pemetaan sementara, banjir bandang itu terjadi akibat adanya longsoran. Setidaknya terdapat sembilan titik longsoran, di mana empat titik di antaranya merupakan longsoran besar. 

"Di empat titik itu, kami cek ke bagian atasnya terdapat alih fungsi lahan. Kita melakukan pengecekan melalui citra satelit. Belum kami cek secara manual karena keterbatasan SDM dan perlengkapan," kata dia.

Dedi, yang juga merupakan Ketua Dewan Daerah Walhi Jabar, menyebut, be rdasarkan informasi dan pengecekan di lapangan, alih fungsi lahan terjadi di beberapa titik. Pertama itu di lahan carik desa, yang seharusnya dikelola tidak untuk pertanian. Kedua, ada juga tanah milik. Ketiga, ada di tanah negara.

"Kami masih cek tanah negara atau pemda. Tapi di sana ada pembangunan perkebunan milik perusahaan dan masyarakat," ujar dia.

Menurut dia, terjadinya banjir bandang itu merupakan dampak dari pembiaran dari pemerintah terkait alih fungsi lahan. Pemerintah disebut juga melegalkan perusahaan melakuksan pertanian di lahan yang semestinya ditanami tanaman tinggi. Bahkan, ia menduga, ada pejabat setempat dalam perusahaan itu.

Karena itu, ia mendorong dan mengajak warga terdampak banjir bandang untuk menggugat pemerintah. "Karena pemerintah yang melakukan perusakan dan pembiaran," ujar dia.

Ia juga meminta aparat penegak hukum memeriksa sejauh mana alih fungsi lahan bisa terjadi tanpa ada pemantauan dari pemerintah pusat. Ia berharap, pemerintah provinsi atau pusat dapat melakukan penyelidikan untuk memeriksa penyebab banjir bandang itu. 

"Karena ada indikasi pemerintah setempat yang bermain," kata Dedi.

Sebelumnya, Wakil Gubernur (Wagub) Jabar, Uu Ruzhanul Ulum, mengatakan, berdasarkan keterangan warga setempat, tak pernah terjadi banjir bandang di wilayah itu. Ia mengakui, saay ini curah hujan ekstrem. Namun, apabila jalur dan resapan air tidak terganggu, banjir bandang tak akan terjadi. 

"Kami akan rapat untuk menentukan sikap agar bencana seperti ini tak terulang kembali," kata dia saat meninjau wilayah terdampak banjir bandang di Garut, Ahad (28/11).

Menurut dia, ada alih fungsi lahan di wilayah itu. Namun, manurut dia, tak semua alih fungsi lahan itu merupakan sesuatu yang ilegal. 

Kendati demikian, pihaknya akan melakukan evaluasi. Sebab, banyak kejadian bencana di Jabar akibat alih fungsi lahan. Apalagi, saat ini banyak terjadi alih fungsi untuk objek wisata.

"Beberapa daerah terjadi banjir karena di hulu dijadikan tempat wisata, dengan dibentuk kafe, rumah makan, dan sebagainya. Ini akan kami evaluasi untuk disampaikan kepada pemerintah pusat. Karena itu adalah keputusan pemerintah pusat," kata dia.

Sementara itu, Bupati Garut, Rudy Gunawan, membantah alih fungsi lahan menjadi penyebab banjir bandang di Kecamatan Sukawening dan Karangtengah. Menurut dia, bencana itu terjadi karena hujan yang terlalu deras.

"Tidak ada alih fungsi lahan. Di mana itu alih fungsi lahan?" tegas Rudy, Ahad.

Ihwal banyaknya perkebunan, menurut dia, sejak dahulu masyarakat di wilayah itu memang menanam sayuran. Namun, karena hujan yang cukup deras, terjadi banjir bandang. 

Edi mengatakan, PVMBG masih akan melanjutkan penyelidikan di lapangan. Tim di lapangan masih akan menganisis jumlah longsoran, anak sungai yang berpengaruh, dan debit air.

Setelah analisis selesai, PVMBG secepatnya akan memberikan rekomendasi yang harus dilakukan pemerintah daerah. "Ke depan, mungkin permukiman harus diberi jarak dari bibir sungai, sehingga tidak terdampak lintasan air sungai yang sedemikian besar," kata dia.

Sebelumnya, banjir bandang menerjang Kecamatan Sukawening dan Karangtengah, Kabupaten Garut, pada Sabtu (27/11). Tak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Namun, ratusan rumah warga terdampak, sebagian bahkan terbawa hanyut aliran air. Tak hanya rumah, fasilitas umum, sawah, dan sejumlah kendaraan juga mengalami kerusakan.

 
Berita Terpopuler