Mengapa Booster Vaksin Belum Etis Dilakukan Saat Ini

Vaksinasi Covid-19 menganut azas keadilan dan non-diskriminatif.

Wihdan Hidayat / Republika
Ampul vaksin Moderna yang digunakan untuk vaksinasi massal Covid-19 dosis tiga di Graha Wana Bhakti Yasa, Yogyakarta, Selasa (30/11). Vaksinasi Covid-19 dosis tiga atau vaksin booster diperlukan terutama bagi kelompok berisiko.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Antara

Sepanjang tahun ini Indonesia baru memberikan secara resmi vaksin dosis ketiga atau booster bagi tenaga kesehatan. Rencananya vaksin dosis ketiga baru akan diberikan ke masyarakat umum pada tahun 2022.

Epidemiolog Masdalina Pane menekankan penggunaan vaksin booster Covid-19 atau vaksin penguat dosis ketiga sangat berguna. Namun, untuk saat ini menurutnya masih belum etis untuk diberikan.

"Booster tetap ada gunanya, tetapi secara etis belum bisa diberikan, karena masih cukup banyak yamg belum akses terhadap vaksin," terang Masdalina kepada Republika, Selasa (30/11). Alasannya, prinsip dasar dari vaksin adalah equity, equality dan non-diskriminatif. "Kalau karena ada uang menghalangi orang lain akses terhadap vaksin ya itu tidak etis," tegasnya.

Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan booster memiliki banyak manfaat. Pemberian booster menunggu kekebalan kelompok tercapai yaitu populasi yang sudah divaksinasi penuh mencapai 70 persen menurutnya tidak harus begitu.

"Data yang ada baik dari Israel atau Amerika, booster bermanfaat bagi individu dan kelompok rawan. Itu terlihat di dunia nyata," tegas Dicky

Dicky menjelaskan, booster dirancang untuk membantu orang mempertahankan tingkat kekebalan yang lebih lama. Sejauh ini FDA dan juga negara maju lain, telah mengesahkan tiga penguat (booster) vaksin, yaitu Pfizer-BioNTech, Moderna dan Janssen/Johnson & Johnson, yang sudah terbukti aman juga efektif bagi individu yang sebelumnya menerima vaksin Covid-19 yang mereknya berbeda.

"Studi di Israel booster untuk Pfizer hasilnya luar biasa, dengan efikasi 95 persen menghadapi Delta varian di semua kelompok risiko tinggi dan kelompok umum dan tambahan satu lagi, booster penting ketika di satu daerah meningkat tajam kasusnya," terang Dicky.

Namun, pemberian booster juga harus sesuai dengan prinsip vaksin dalam masa pandemi yakni menjamin kesetaraan dan akses yang merata untuk semua penduduk tanpa diskriminasi.Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pemerintah perlu memikirkan solusi untuk menangani pandemi. Termasuk dalam hal penyediaan vaksin untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Dikonfirmasi terpisah, vaksinolog dan dokter spesialis penyakit dalam Dirga Sakti Rambe mengatakan, booster sangat berguna. "Booster diperlukan khususnya untuk orang-orang berisiko tinggi seperti lansia dan orang dengan komorbid," kata Dirga.

Dirga mengatakan, masyarakat namun tidak perlu tergesa-gesa mengejar vaksin booster alias dosis penguat. Sebab, memperluas dan memperbanyak cakupan vaksin Covid-19 lebih penting daripada kekebalan yang terpusat pada satu orang. "Yang mengendalikan pandemi adalah kekebalan komunitas, bukan individu," ungkap dokter yang aktif mengedukasi masyarakat soal vaksin Covid-19.

Berdasarkan hasil riset, vaksin dapat mencegah orang dari gejala berat Covid-19. Vaksin juga dapat menghindari risiko kematian hingga 95 persen ketika orang terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit wabah tersebut.

Baca Juga

Sebelumnya, Ketua Bidang Data dan IT Satgas Penanganan Covid-19 Dr Dewi Nur Aisyah menegaskan bahwa penggunaan vaksin booster atau vaksin penguat dosis ketiga akan percuma apabila kekebalan kelompok belum terbentuk dan tidak bisa menghentikan penularan virus di masyarakat. Dewi dalam konferensi pers daring tentang Analisis Gelombang ke-3 Covid-19 di Indonesia yang dipantau di Jakarta, Senin (29/11), menegaskanmanfaat vaksinasi selain untuk diri sendiri juga guna membentuk kekebalan kelompok di masyarakat agar tidak lagi terjadi penularan Covid-19 di komunitas.

Oleh karena itu menurutnya vaksin penguat dosis ketiga akan percuma diberikan pada orang yang sudah menerima dosis kedua vaksinasi apabila cakupan imunisasi dosis kedua belum mencapai 80 persen dari populasi sebagai syarat kekebalan kelompok. Dewi mengatakan pemerintah saat ini baru memprioritaskan vaksin booster bagi orang berisiko tinggi seperti tenaga kesehatan.

"Kebijakan booster masih mereka yang berisiko tinggi tenaga kesehatan. PR kita yang dua dosis masih banyak ini harus dikejar dulu," katanya.

Dia menerangkan sejauh ini vaksin yang ada sekarang masih memiliki efektivitas untuk mencegah penularan dari varian baru seperti Delta. Namun untuk varian Omicron masih menunggu hasil studi dari para peneliti.

Dewi menyebutkan saat ini cakupan vaksinasi di Indonesia sudah mencapai 66,52 persen dari target, dan vaksin kedua mencapai 45,30 persen secara nasional. Namun ketika dilihat dari setiap provinsi yang ada, baru lima provinsi yang cakupan vaksinasinya di atas 50 persen yaitu DKI Jakarta, Bali, Yogyakarta, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.

"Artinya masih ada 29 provinsi yang masih rawan kalau terkena virus, masih bisa menyebar karena cakupan vaksinasinya masih di bawah 50 persen," katanya.

Sedangkan berdasarkan kelompok yang divaksinasi, kelompok tenaga kesehatan dan petugas publik sudah lebih dari 100 persen yang divaksinasi. Namun yang perlu ditingkatkan lagi cakupannya adalah vaksinasi remaja yang mencapai 53 persen dosis kedua, dan lansia yang baru 33 persen vaksinasi dosis kedua.

Program vaksinasi Covid-19 di Indonesia dipastikan aman. Ketua Komnas KIPI Prof Dr dr Hinky Hindra Irawan Satari, Sp.A(K) menegaskan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) akibat vaksin Covid-19 paling banyak yang memiliki efek nonserius, yang seluruhnya bisa sembuh dengan sendirinya tanpa perlu dirawat.

"Data KIPI Covid-19 di Indonesia sejauh ini aman dari KIPI non-serius, tidak dirawat sembuh sendiri dengan atau tanpa pengobatan," katanya, Selasa. Ia menyebutkan KIPI paling banyak nonserius seperti mual muntah, mengantuk, nyeri di tempat suntikan, sakit kepala, lemas, dan lain-lain.

Laporan KIPI paling banyak berasal dari vaksin Sinovac dikarenakan vaksin jenis tersebut yang dominan digunakan oleh Indonesia yakni 150 juta dosis lebih. Sementara untuk jenis KIPI yang dilaporkan dari vaksin Sinovac, Astrazeneca, Pfizer, Moderna, Sinopharm juga memiliki kesamaan yaitu mual muntah, sakit kepala, lemas, nyeri pada suntikan, dan sebagainya.

"Untuk Pfizer sama mual muntah, pusing, lemas, sakit kepala. Karena memang vaksin itu disuntikan nyeri di tempat suntikan. Demam, mual karena ada benda asing masuk ke seseorang tubuh bereaksi gejalanya hampir serupa," katanya.

Ia juga menyebut KIPI vaksin Moderna yang mencapai 7.904 kejadian, namun angka tersebut dari 3,5 juta dosis yang disuntikan pada masyarakat. "Memang banyak, tapi lebih banyak lagi yang tidak lapor atau memang tidak ada gejala. Gejalanya itu sakit kepala, nyeri otot, bengkak, mual muntah," ujar Hinky.

Infografis Efek Samping Booster Covid-19 - (republika.co.id)

 
Berita Terpopuler