Israel Khawatir AS Cabut Sanksi Terhadap Iran

Israel sudah menyampaikan pesan kekhawatiran itu ke AS.

EPA-EFE/MOTI MILROD
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett,
Rep: Kamran Dikarma Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Naftali Bennett menyampaikan kekhawatirannya perihal kemungkinan Amerika Serikat (AS) mencabut sanksinya terhadap Iran. Washington dan Teheran dijadwalkan melanjutkan pembicaraan pemulihan kesepakatan nuklir atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) di Wina, Austria, Senin (29/11).

“Israel sangat prihatin dengan kesediaan untuk mencabut sanksi dan mengizinkan aliran miliaran dolar ke Iran sebagai imbalan atas pembatasan yang tak memadai pada program nuklir,” kata Bennett pada Ahad (28/11), dikutip laman Al Arabiya.

Israel, kata dia, sudah menyampaikan hal itu kepada para pihak yang terlibat dalam pembicaraan pemulihan JCPOA. “Ini adalah pesan yang kami sampaikan dengan segala cara, baik kepada Amerika maupun negara-negara lain yang sedang bernegosiasi dengan Iran,” ujar Bennett.

Setelah terhenti selama lima bulan, AS dan Iran akhirnya akan melanjutkan negosiasi pemulihan JCPOA di Wina. Seperti enam putaran pembicaraan sebelumnya yang dimulai sejak April, AS berpartisipasi secara tidak langsung. Iran akan mengadakan pembicaraan langsung dengan sisa penandatangan JCPOA, yakni Inggris, China, Prancis, Rusia, dan Jerman.

Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan, penghapusan sanksi AS dalam pembicaraan pemulihan JCPOA sangat penting bagi negaranya. “Yang penting bagi kami adalah bagaimana mencapai kesepakatan yang baik di Wina. Dari titik mana pembicaraan akan dimulai di Wina, kurang penting,” kata Khatibzadeh dalam sebuah konferensi pers pada 15 November lalu.

Baca Juga

Dia mengakui niat AS untuk bergabung kembali dalam JCPOA. “Tapi bagi kami penting untuk memastikan bahwa sanksi dicabut dan untuk memverifikasinya,” ujarnya.

JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta China. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.

Namun JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan.

Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.

Saat Joe Biden terpilih sebagai presiden AS, dia menyampaikan niatnya untuk membawa Washington kembali ke JCPOA. Namun Iran menuntut agar sanksi terhadapnya dicabut terlebih dulu.

 
Berita Terpopuler