Israel-Inggris Kolaborasi Cegah Iran Peroleh Senjata Nuklir

PM Israel menyatakan kesiapannya untuk meningkatkan konfrontasi dengan Iran.

ap/Planet Labs Inc.
Foto satelit dari Planet Labs Inc. menunjukkan fasilitas nuklir Natanz Iran pada hari Rabu, 14 April 2021.
Rep: Kamran Dikarma Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris dan Israel akan bekerja sama penuh untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir. Baru-baru ini, Tel Aviv mengisyaratkan siap meningkatkan konfrontasi dengan Teheran.

“Jam terus berdetak, yang meningkatkan perlunya kerja sama erat dengan mitra dan teman kami untuk menggagalkan ambisi Teheran,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Inggris Liz Truss dan Menlu Israel Yair Lapid dalam sebuah artikel bersama di surat kabar Telegraph pada Ahad (28/11).

Menurut Telegraph, kedua menlu tersebut dijadwalkan menandatangani perjanjian kerja sama lintas bidang pada Senin (29/11). Keamanan siber, teknologi, termasuk pertahanan merupakan beberapa bidang yang masuk dalam kesepakatan.

Pekan lalu, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengisyaratkan kesiapan negaranya meningkatkan konfrontasi dengan Iran. Dia menegaskan, Israel tidak akan terikat dengan kesepakatan nuklir baru yang kini tengah dinegosiasikan Iran dan Amerika Serikat (AS).

Bennett mengungkapkan, saat ini Iran sudah berada pada tahap paling maju dalam program nuklirnya. Meski sebelumnya pernah mengatakan akan terbuka pada kesepakatan nuklir baru dengan pembatasan lebih ketat terhadap Iran, Bennett menekankan kembali otonomi Israel untuk mengambil tindakan terhadap musuh bebuyutannya tersebut.

Israel sebelumnya sudah menyuarakan penolakan saat pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan niatnya membawa kembali AS ke kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

Baca Juga

“Kami menghadapi masa-masa yang rumit. Ada kemungkinan bahwa akan ada perselisihan dengan teman-teman terbaik kami,” kata Bennett pada Selasa (23/11).

Mengenai potensi keberhasilan Iran dan AS memulihkan JCPOA, Bennett menekankan Israel bukan pihak dalam perjanjian tersebut. “Israel tidak diwajibkan oleh kesepakatan itu,” ujarnya.

JCPOA disepakati pada 2015 antara Iran dan negara kekuatan dunia, yakni AS, Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, serta Cina. Kesepakatan itu mengatur tentang pembatasan aktivitas atau program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, sanksi asing, termasuk embargo terhadap Teheran, dicabut.

Namun, JCPOA retak dan terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Sejak saat itu, Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.
 

 

Beri kompensasi

Wakil menteri luar negeri Iran dan kepala negosiator nuklir Ali Bagheri Kani menyatakan kekuatan Barat harus memberikan kompensasi kepada Iran, Ahad (28/11). Kompensasi ini atas kerusakan finansial yang dilakukan oleh penarikan Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan nuklir 2015 untuk menghidupkan kembali pakta itu.

"Harus memprioritaskan kompensasi atas pelanggaran kesepakatan, yang mencakup penghapusan semua sanksi pasca-JCPOA," ujar Kani merujuk pada Rencana Aksi Komprehensif Bersama.

"Barat perlu membayar harga karena gagal menegakkan bagiannya dari tawar-menawar. Seperti dalam bisnis apa pun, kesepakatan adalah kesepakatan, dan melanggarnya memiliki konsekuensi," kata Kani menulis dalam sebuah opini untuk Financial Times.

AS menarik diri dari kesepakatan di bawah mantan Presiden Donald Trump pada 2018. Kemudian negara itu menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran.

Pembicaraan tidak langsung antara AS dan Iran akan dilanjutkan di Wina setelah jeda lima bulan pada Senin  (29/11). Pembicaraan ini bertujuan untuk membawa Washington dan Teheran kembali mematuhi kesepakatan 2015, dengan Teheran membatasi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi.

Tujuan utama Iran dalam pembicaraan itu, menurut Kani, untuk mendapatkan penghapusan sanksi yang telah dijatuhkan kepada rakyat Iran secara penuh, terjamin, dan dapat diverifikasi. "Tanpa ini, prosesnya akan berlanjut tanpa batas," katanya.

 
Berita Terpopuler