Mengapa Setan Bisa Dibelenggu? Ini Penjelasan Pakar Hadits

Banyak riwayat menyebutkan setan dibelenggu selama puasa Ramadhan

Pixabay
Banyak riwayat menyebutkan setan dibelenggu selama puasa Ramadhan. Ilustrasi setan.
Rep: Imas Damayanti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Banyak umat Islam yang cukup familier mengenai hadits Ramadhan, salah satunya yang berisi tentang penjabaran ‘ketika setan dibelenggu’.

Baca Juga

Sebagian umat Islam menganggap bahwa manfaat dalam Ramadhan lebih mudah didapat karena selama bulan suci tersebut tidak terdapat gangguan dan bisikan setan. Sebab setan telah dibelenggu Allah ﷻ. Anggapan ini berdasarkan hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:  

  إِذَاجائء رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النار ، وَصفدتِ الشَّيَاطِينُ

“Idza ja-a Ramadhanu futihat abwaabul-jannati wa ghuliqat abwaabu an-naari wa shuffidati as-syayathinu.”  

Yang artinya, “Ketika tiba bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu,”.

KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Cara Cermat Mengamalkan Hadits menjelaskan, hadits tersebut menjelaskan mengenai perkara ghaib. 

Di mana manusia memiliki keterbatasan dalam mencernanya. Surga, neraka, dan setan termasuk dalam wilayah sam’iyyat yang hanya dapat dipahami melalui informasi Alquran dan hadits. 

Sedangkan manusia tidak memiliki kemampuan untuk membuktikannya secara empiris.

Terdapat dua metode yang dapat digunakan dalam memahami hadis ini. Yaitu metode pemahaman tekstual atau makna hakiki dan metode kontekstual yang di antaranya dengan menggunakan makna majazi. 

Makna majazi dalam bahasa Arab tidak terlalu berbeda jauh dengan majas dalam bahasa Indonesia, yaitu yang berarti konotatif atau kiasan.

Ulama saling berbeda pendapat mengenai hadis dibelenggunya setan ini apakah dipahami secara hakiki atau dengan majazi. 

Baca juga: Sempat Kembali Ateis, Mualaf Adam Takjub Pembuktian Alquran

 

Sebagian dari mereka cenderung memahaminya sesuai dengan makna lafadz hadis tanpa mengubahnya, sedangkan sebagian yang lain memahami secara kontekstual sekaligus memperbolehkan memahaminya secara tekstual.

Namun pada umumnya, hadis harus dipahami dengan makna tekstual, akan tetapi jika hadis ini dipahami hanya dengan tekstualis saja maka akan menimbulkan pertanyaan perihal maksud dibelenggunya setan. 

Apakah setan-setan diberlenggu rantai sebagaimana rantai yang kita bayangkan? Ataukah itu hanya ungkapan yang sebenarnya menunjukkan berkurangnya kemaksiatan pada waktu Ramadhan? Untuk itu, sebagian ulama mengartikannya dengan makna kontekstual atau majaz.

Dalam Alquran disebutkan bahwa setan terdiri dari golongan manusia dan jin. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Surat Al Anam ayat 112, Allah ﷻ berfirman:  

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُ

“Wa kadzalika ja’alna likulli nabiyyin aduwwan syayathinal-insi wal-jinni.” Yang artinya, “Dan demikianlah untuk setiap Nabi, kami jadikan musuh setan-setan yang terdiri dari manusia dan jin.” 

Dijelaskan bahwa apabila setan dibelenggu dengan rantai, sebagaimana yang biasa manusia lihat, maka tidak ada jenis setan dari bangsa manusia yang dirantai selama Ramadhan. Sebab orang-orang yang melakukan kemaksiatan bebas berlalu-lalang tanpa ada yang merantai mereka.

Begitu juga setan dari bangsa jin, manusia tidak dapat melihatnya karena fisik mereka inmaterial. 

Tidak dapat tertangkap panca indera, sedangkan rantai adalah benda yang bersifat materi. Lantas apakah setan dari jin bersifat materi? 

Pertanyaan inilah yang akhirnya memunculkan pendapat ulama bahwa hadits ini dapat dipahami dengan makna majazi.

Pemahaman secara tekstual yang berarti dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu neraka serta dibelenggunya setan merupakan suatu tanda bahwa bulan Ramadhan telah tiba. Tiga hal tersebut merupakan bukti keagungan dan kemuliaan Ramadhan. 

Tujuan setab-setan dibelenggu adalah untuk mencegah upaya mereka menyakiti dan menggoda orang yang beriman yang ingin memaksimalkan ibadah.

Adapun pemahaman kontekstual dapat dijelaskan dengan mengartikan ‘futihat abwabul-jannah” bukan pada makna sebenarnya, melainkan hanya simbol berlimpahnya pahala dan ampunan. 

Al-Qadhi Iyadh mengatakan, “Mungkin dibukannya pintu surga sebagai ungkapan dari ibadah-ibadah yang dibukakan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya pada Ramadhan, namun tidak dibuka pada bulan lain. Sepeti puasa, qiyam al-lail (shalat tarawih), berbuat kebaikan-kebaikan, dan lebih menahan diri dari hal-hal yang menyalahi aturan Allah ﷻ. Semua ini dapat menjadi penyebab seseorang masuk ke surga dan sekaligus penyebab terbukanya pintu-pintu surga.” 

Dan dalam redaksi selanjutnya dapat dipahami bahwa dengan terbatasnya upaya setan-sean menggoda dan menyakiti orang mukmin, maka terbatas itu bukan berarti mencegah seluruh godaan setan. Sebab sebagian mereka masih bisa menggoda manusia. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini: 

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ من شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ

Idza kaana awwalu lailatin min syahri Ramadhana shufidat as-syayathinu wa maradatul-jinn.” 

Yang artinya, “Ketika tiba malam pertama dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang durhaka dibelenggu.”

Baca juga: Tiga Perangai Buruk dan Tiga Sifat Penangkalnya  

Maka dapat dipahami bahwa tidak semua setan dibelenggu, melainkan hanya setan yang durhaka saja. Sedangkan menurut Al-Qadhi Iyadh, tertutupnya pintu neraka dan dibelenggunya setan dapat dipahami sebagai ungkapan menahan diri dari melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama.   

 
Berita Terpopuler