Masih Ada yang Salah Memahami Wisata Halal

Wisata halal atau halal tourism tidak berarti mengubah suatu destinasi menjadi halal.

Iggoy el Fitra/ANTARA
Foto udara pembangunan masjid terapung di Pantai Carocok, Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Selasa (22/12/2020). Pemkab Pesisir Selatan membangun masjid terapung di objek wisata Pantai Carocok dengan biaya Rp27,5 miliar sebagai upaya mewujudkan pariwisata halal dan ikon baru di kabupaten itu.
Rep: Novita Intan, Zahrotul Oktaviani Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Oleh: Novita Intan, Zahrotul Oktaviani

Baca Juga

JAKARTA -- Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center, Sapta Nirwandar mengungkap masih ada yang salah memahami wisata halal. Kesalahan pemahaman ini dinilai wajar mengingat sosialisasi dan literasi yang masih rendah.

Menurutnya, wisata halal atau halal tourism tidak berarti mengubah suatu destinasi menjadi halal. Lokasi tersebut akan tetap dengan ciri khasnya, namun ditambah layanan yang membantu Muslim menunaikan kewajibannya.

"Wisata halal itu tidak pernah membuat konsepsi yang berarti menghalalkan suatu destinasi. Contoh Bali, itu tidak akan diubah jadi destinasi halal. Bali tetap Bali, dengan budaya dan pantainya," kata dia saat dihubungi Republika, Jumat (19/11).

Pulau Bali akan tetap berjalan dan hidup sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakatnya. Namun, di sisi lain ditambahkan layanan yang mampu menampung kebutuhan bagi pelancong Muslim, seperti tempat untuk shalat dan tempat makan halal.

Strategi Akselerasi Pengembangan Kawasan Industri Halal - (ANTARA/Republika.co.id)

Sapta pun menyebut Bali dan Bangkok memiliki kemiripan, dimana mayoritas bukan Muslim. Namun, di Bangkok sudah tersedia beragam hotel halal yang ditujukan bagi orang-orang yang membutuhkan layanan halal.

"Jadi, ini dasarnya adalah pilihan. Halal tourism ini adalah layanan untuk pelancong Muslim, juga bagi industri wajar menyediakan karena ada kebutuhan," ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyebut layanan halal ini disebut tidak hanya tersedia di Indonesia atau Malaysia, tapi negara-negara sekuler atau dengan mayoritas non-Muslim. Beberapa di antaranya adalah Taiwan, Jepang, London, Prancis dan Korea Selatan.

 

Sapta pun menceritakan pengalamannya saat bertolak ke Taiwan, dimana hotelnya tidak menggunakan sebutan halal, namun tetap menghargai tamunya yang beragama Islam. Di sana, ia disediakan Alquran, sajadah dan makanan halal dan minuman non-alkohol. 

Tren wisata halal ini disebut semakin mengglobal dan meningkat. Hal ini disebabkan ada kebutuhan atau konsumen, sehingga industri berusaha untuk memenuhi hal tersebut. 

"Sejak disadari wisata itu tidak lagi jadi basic thing namun lifestyle, kira-kira 10 tahun lalu, wisata halal ini menjadi meningkat," lanjutnya. 

Pelancong Muslim, lanjut Sapto, semakin disadari menjadi bagian penting dari industri parisiwata. Banyak Muslim dari Timur Tengah maupun Asia, yang jumlah dan pendapatan perkapita negara asal semakin meningkat, bertolak ke negara-negara lain untuk berlibur.  

Ketua Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF), Priyadi Abadi, menegaskan wisata halal bukan berarti Islamisasi wisata atau menabrak kearifan lokal. Halal tourism merupakan bagian dari layanan kepada konsumen Muslim.

"Yang namanya wisata halal itu sebetulnya servis tambahan atau value dari sebuah destinasi. Kata lainnya, ini adalah extended services yang melengkapi suatu destinasi," ujarnya saat dihubungi Republika, Jumat (19/11).

Terkait pernyataan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid, yang menyebut wisata halal bukanlah Islamisasi wisata, ia pun menyetujui hal tersebut. Di sisi lain, ia merasa perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang pemahaman wisata halal.

 

 

Dalam menjalankan wisata halal, Priyadi menilai tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, utamanya yang berhubungan dengan kearifan lokal atau daerah. Hal ini mengingat prinsip wisata halal, yaitu mengakomodasi kebutuhan pelancong Muslim.

"Kebutuhan Muslim itu apa? Makanan yang halal, shalat atau beribadah. Maka itu, hal ini harus difasilitasi. Ini tidak ada menabrak kearifan lokal," lanjutnya.

Ia pun mencontohkan Bali, dimana mayoritas masyarakat yang tinggal di sana beragama Hindu. Meski demikian, setiap umat beragama saling menghormati dan berupaya memenuhi kebutuhan sesuai agamanya. 

Dalam suatu paket wisata halal yang disediakan oleh pelaku perjalanan ke wilayah manapun, hal ini berarti sudah tersedia makanan halal, serta mengarahkan lokasi masjid terdekat.

Priyadi juga menyebut prospek wisata halal, sebagai bagian dari perjalanan wisata, akan selalu bagus. Namun, di tengah pandemi Covid-19, hal ini terkendala oleh kebijakan dan pembatasan yang ada.

"Saya setuju peningkatan Covid-19 perlu diwaspadai, namun di sisi lain tolong dipikirkan juga pelaku wisata yang sudah dua tahun terpuruk. Ini saling kontradiksi," ucap dia.

 

 

Fokus 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pengembangan industri halal menjadi fokus Indonesia, karena bukan hanya dapat menopang perekonomian tetapi juga mendorong terciptanya keadilan sosial.

"Sangat penting untuk melanjutkan peluang ini dan membuat peran yang berarti dalam konteks permintaan yang terus tumbuh," ujarnya saat acara AICIF 2021 secara virtual, Rabu (17/11).

Berdasarkan Global Islamic Finance Report, total pengeluaran masyarakat dunia terhadap makanan, kosmetik, pariwisata, dan gaya hidup halal pada 2020–2021 sebesar 2,02 triliun dolar AS. Adapun nilai tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Dari sisi konsumsi, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami peningkatan. Pada 2019, kontribusi ekonomi syariah terhadap PDB Indonesia sebesar 24,3 persen dan meningkat pada 2020 menjadi 24,8 persen.

Menurutnya pengembangan ekonomi syariah berjalan melalui sejumlah strategi, seperti akselerasi ekonomi digital, penguatan rantai pasok halal (halal supply chain), hingga penguatan investasi pangan halal.

Selain itu, pemerintah pun menetapkan tiga kawasan industri sebagai pusat manufaktur produk-produk halal. Ketiga kawasan industri tersebut berada di Cikande (Banten), Sidoarjo (Jawa Timur), dan Bintan (Kepulauan Riau).

Sri Mulyani menilai pengembangan ekonomi syariah bukan hanya dapat mengoptimalkan konsumsi dalam negeri yang besar sehingga menopang perekonomian. Namun, ekosistem industri halal dapat membuat Indonesia berdaya saing di pasar global juga dapat mendorong kesejahteraan masyarakat.

 

"Pengembangan ekonomi syariah sejalan dengan nilai Islam, fokus dalam mencapai keadilan sosial dan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," ucapnya. 

 
Berita Terpopuler