Satu Tungku Tiga Batu, Hidup Damai Umat Beragama Papua Barat

Kerukunan umat beragama di Papua Barat sudah terjalin lama

Rahmat Fajar/Republika
Kerukunan umat beragama di Papua Barat sudah terjalin lama. Ilustrasi sholat di Fakfak Papua Barat
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Provinsi Papua Barat mayoritas penduduknya beragama Protestan, disusul umat Islam dan sebagian kecil beragama Katolik. Muslim dan umat Kristiani ini telah hidup rukun berdampingan sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. 

Baca Juga

Masyarakat Papua Barat khususnya tokoh-tokoh agama dan masyarakat menyadari kerukunan yang terjalin adalah warisan nenek moyang atau orang-orang terdahulu. 

Sejarah tersebut membuat ikatan kerukunan antarumat beragama di tanah Papua Barat selalu terjaga dengan baik. Di samping itu, kearifan lokal yang dikenal sebagai 'Satu Tungku Tiga Batu' juga menjadi fondasi kerukunan umat beragama di Papua Barat.

Meski demikian, tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Papua Barat tetap harus menjaga kerukunan lewat peran, tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. 

Untuk itu, mereka berharap pemerintah pusat maupun daerah lebih bisa bersinergi lagi dengan tokoh-tokoh agama dalam rangka merawat kerukunan umat beragama.

Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua Barat, Ustadz Ahmad Nausrau, mengatakan sebetulnya kerukunan antarumat beragama yang terjalin baik di Papua Barat bukan hal yang baru. Kerukunan yang terjalin baik sudah dicontohkan oleh nenek moyang atau orang-orang terdahulu. 

Pada 5 Februari 1885, Sultan Tidore membawa dua orang misionaris asal Belanda dan Jerman ke Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Dua misionaris tersebut adalah Pendeta Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler. 

Baca juga: Sempat Kembali Ateis, Mualaf Adam Takjub Pembuktian Alquran

"Dua orang misionaris ini dibawa ke Pulau Mansinam oleh Sultan Tidore, pada masa itu Sultan Tidore menguasai wilayah Papua," kata Ustadz Nausrau kepada Republika.co.id, Jumat (19/11). 

Dia menceritakan, dua orang misionaris tersebut difasilitasi dan disediakan kapal untuk mengantar mereka ke Pulau Mansinam. Bahkan para hulubalang Kesultanan Tidore mengantarkan dua misionaris tersebut sampai selamat ke Pulau Mansinam. Sejarah itulah yang menjadi dasar penyebaran agama Kristen di tanah Papua. 

 

 

Menurutnya, mungkin saja tanpa bantuan Sultan Tidore, di tanah Papua agama Kristen tidak akan berkembang pesat. Melihat sejarah ini, bisa disimpulkan bahwa kerukunan antarumat beragama di tanah Papua sudah ada semenjak Negara Indonesia belum berdiri. 

"Jadi ada kerjasama yang terjalin antara dua agama yakni Islam dan Kristen sejak saat itu, yang menjadi fondasi," kata Ustadz Nausrau yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua Barat itu. 

Ia menceritakan, di wilayah Kabupaten Fakfak dan Kaimana ada kearifan lokal yang menjadi fondasi kerukunan di Papua Barat. Yaitu 'Satu Tungku Tiga Batu' sebagai filosofi kerukunan yang terjalin baik di tanah Papua Barat. 

Kearifan lokal ini melambangkan kerukunan umat beragama di Papua Barat, di antaranya agama Islam, Protestan, dan Katolik. Jadi di dalam satu keluarga atau satu marga itu sudah biasa terdiri dari Muslim, Protestan, dan Katolik. Jadi diibaratkan sebagai satu tungku, tiga batu.

"Meski mereka berbeda keyakinan, namun dalam kehidupan sosial masyarakatnya, mereka saling membantu, saling bahu-membahu satu sama lain," jelas Ustadz Nausrau. 

Ia menegaskan, kerukunan di antara Muslim, Protestan, dan Katolik sampai sekarang tetap terjalin baik. Meski banyak cobaan dan gangguan yang bisa merusak ikatan kerukunan, ikatan mereka tetap kuat karena ikatan mereka adalah ikatan kekeluargaan. 

Ia mengatakan, kerukunan antarumat beragama yang dibangun di Papua Barat itu adalah kerukunan yang dibangun di atas landasan kekeluargaan yang kuat dalam sebuah marga. Ini yang menjadi dasar kerukunan di Papua Barat terjalin dengan baik dan kuat dibandingkan dengan daerah lainnya. 

"Kerukunan di sini kerukunan yang dibanun atas dasar hubungan emosional, ada keterikatan silsilah keluarga di situ, sehingga menjadi fondasi kerukunan yang sangat kuat," jelasnya. 

Ustadz Nausrau mengatakan, sikap saling menghormati dan menghargai antarumat beragama bukan sesuatu yang dibuat-buat, melainkan sikap tersebut saling menghormati dan menghargai itu sudah berlangsung sejak dulu. 

Baca juga: Kian Dalami Islam, Mualaf Thenny Makin Yakin Kebenarannya

Sementara itu, anggota FKUB Papua Barat perwakilan umat Katolik, Abraham Yumte, mengatakan ada hal-hal yang mendasari kerukunan umat beragama di Papua Barat.

Pertama, dari sisi sejarah, Injil masuk ke tanah Papua berkat kapal Sultan Tidore mengantarkan misionaris ke Papua Barat. "Sultan Tidore itu Islam tapi mengantarkan dua pendeta itu sampai ke tanah Papua, sehingga dari segi historis kami sudah rukun dari dulu," ujarnya.  

 

Abraham menambahkan, dari sisi hukum dan falsafah bangsa, Indonesia memiliki Pancasila yang mempersatukan semuanya. Sehingga masyarakat Papua Barat bisa rukun sampai sekarang. 

Selain itu, ia mengatakan, ada kearifan lokal yang disebut 'Satu Tungku Tiga Batu' karena dalam satu keluarga ada tiga agama. Di antaranya Islam, Protestan dan Katolik. Sehingga masyarakat Papua Barat dapat tetap rukun hingga sekarang.

Dukungan pemerintah 

Dalam rangka berupaya merawat dan menjaga kerukunan yang telah terjalin baik di Papua Barat, Ustadz Nausrau, mengatakan, pemerintah pusat perlu terus memberikan dukungan ke masyarakat Papua Barat. Supaya kerukunan dan toleransi di Papua Barat yang sudah terjalin baik semakin baik. 

Menurutnya, penghargaan dari pemerintah tidak boleh hanya sekadar basa-basi tapi harus diwujudkan dalam bentuk yang nyata. Sehingga bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Papua Barat.

"Tokoh-tokoh agama di Papua Barat harus diberi penghargaan oleh pemerintah pusat, FKUB harus didukung dan dibantu, lembaga-lembaga agama harus diberi penghargaan yang layak oleh pemerintah pusat," ujarnya. 

Ia mengatakan, dengan adanya dukungan dari pemerintah pusat, FKUB di tingkat provinsi dan kabupaten kota beserta lembaga-lembaga agama bisa semakin berdaya untuk menjaga kerukunan. Sebab dalam upaya menjaga kerukunan, tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah.

Menurutnya, FKUB di kabupaten dan kota di Papua Barat belum mendapatkan dukungan yang semestinya. Sehubungan dengan itu, FKUB Papua Barat mengingatkan, kerukunan menjadi fondasi bagi terwujudnya pembangunan di suatu daerah. "Pemerintah bisa membangun daerah itu kalau daerah itu aman, salah satu tolok ukurnya adalah kerukunan umat beragama," ujar Ustadz Nausrau. 

Abraham juga berharap, pemerintah lebih memberikan afirmasi untuk masyarakat Papua Barat dengan cara membantu pembangunan rumah-rumah ibadah di Papua Barat.

Baca juga: Tiga Perangai Buruk dan Tiga Sifat Penangkalnya  

Menurutnya, FKUB juga perlu didukung oleh pemerintah, sehingga program pembinaan dan pemberdayaan bisa dilakukan dan dimulai dari tingkat paling bawah seperti desa atau distrik. Sebab kerukunan harus dibangun dari kampung ke distrik terus ke tingkat kabupaten atau kota.

 

Ia mengatakan, kalau FKUB berdaya dan memiliki dana, program merawat dan menjaga kerukunan dapat berjalan normal. Sebab selama ini tanpa dukungan yang cukup dari pemerintah, FKUB ada yang mampu menjalankan program tapi ada juga yang tidak mampu menjalankan programnya.     

 
Berita Terpopuler