KLHK Menuding Kala Greenpeace Menantang Adu Data Deforestasi

KLHK menyebut perkebunan sawit di kawasan hutan sudah ada sejak era sebelum Jokowi.

Twitter/@GreenpeaceID
Spanduk raksasa dibentangkan aktivis Greenpeace Indonesia di Jembatan Sungai Kahayan, Palangkaraya, Ahad (22/9).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan. A

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menuding Greenpeace Indonesia pernah bekerja sama dengan sejumlah perusahaan sawit dan perusahaan kertas, yang melakukan penggundulan hutan pada periode 2011-2018. KLHK menyampaikan pernyataan ini sebagai respons atas kritikan Greenpeace terkait naiknya angka deforestasi Indonesia sepanjang 2002-2019.

Baca Juga

"Greenpeace tentu menyadari laju deforestasi Indonesia dari tahun ke tahun pada periode tersebut; karena di antaranya Greenpeace turut ambil bagian dalam kerjasama yang dilakukannya dengan sejumlah perusahaan sawit dan kehutanan di Indonesia, dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2018," kata Sekjen KLHK Bambang Hendroyono dalam siaran persnya, Rabu (17/11).

Bambang menjelaskan, Greenpeace mulai berkolaborasi dengan sebuah perusahaan grup sawit yang cukup besar pada tahun 2011. Ketika itu, korporasi sawit tersebut terlibat dalam deforestasi, pengeringan lahan gambut, dan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

"Hal itu terjadi, justru dalam periode saat kerjasama perusahaan-perusahaan itu dengan Greenpeace," ujarnya.

Greenpeace, lanjut dia, juga berkolaborasi dengan grup perusahaan industri pulp dan kertas di Sumatera pada 2013. Pada saat berkolaborasi dengan Greenpeace, perusahaan tersebut masih terlibat dalam aktivitas deforestasi, melakukan pengeringan gambut, dan pembukaan kanal-kanal baru sepanjang ratusan kilometer. Pada akhirnya, terjadi karhutla yang luas di area konsesi perusahaan tersebut.

Bahkan, kata Bambang, KLHK menjatuhkan sanksi kepada sejumlah perusahaan grup besar tersebut karena terbukti bersalah atas bencana Karhutla 2015. "Sanksi-sanksi itu diberikan pemerintah justru pada saat Greenpeace masih dalam kerja bersama, dalam kolaborasinya dengan  perusahaan dimaksud," ujarnya.

Atas semua kerja samanya itu, kata Bambang, tentu wajar Greenpeace memahami isu deforestasi, pengeringan gambut dan karhutla. "Karena, dia pernah secara dekat berkolaborasi dengan grup besar perusahaan  sektor sawit dan pulp/kertas bertahun-tahun lamanya," kata dia menyindir.

Tak konsisten

Bambang juga menyoroti permintaan Greenpeace agar KLHK mencabut izin-izin usaha di lahan gambut. Menurut Bambang, Greenpeace bersikap tebang pilih. Sebab, Greenpeace tak menjadikan aktivitas produksi di luar lahan gambut sebagai syarat ketika bekerja sama dengan sejumlah perusahaan tersebut.

"Greenpeace juga tidak mensyaratkan agar perusahaan itu  menyerahkan izin-izin usahanya di lahan gambut kepada pemerintah untuk dicabut," kata Bambang.

Dengan demikian, lanjut dia, berarti selama bertahun-tahun berkolaborasi dengan Greenpeace, grup sawit dan pulp/kertas itu tetap beroperasi di lahan gambut. "Mengapa Greenpeace sekarang mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan posisi Greenpeace yang tidak konsisten," ujarnya.

Bambang juga menyoroti ihwal perkebunan sawit di kawasan hutan. Menurut dia, kasus perkebunan sawit di kawasan hutan terjadi sebelum era pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Jika sekarang Greenpeace mempersoalkan sawit di kawasan hutan, pertanyaannya adalah mengapa baru sekarang mempersoalkannya? Bukankah Greenpeace telah bertahun-tahun lamanya berkolaborasi dengan grup sawit yang memiliki sawit di dalam kawasan hutan?" kata Bambang lagi.

Sebelumnya, Greenpeace Indonesia mengkritik pidato Jokowi di COP26 Glasgow, Skotlandia terkait turunnya angka deforestasi. Greenpeace membantah klaim Jokowi itu. Greenpeace menyebut, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019).

Merespons tudingan KLHK, Greenpeace Indonesia mengakui pernah bekerja sama dengan sebuah grup perusahaan sawit dan kertas pada 2013-2018 silam. Tetapi, organisasi pemerhati lingkungan ini membantah bahwa dalam kerja sama tersebut mereka tak pernah mempersoalkan deforestasi, aktivitas produksi di lahan gambut dan di kawasan hutan yang dilakukan perusahaan itu.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, menjelaskan, kerja sama yang dimulai pada 2013 itu adalah antara Greenpeace Indonesia dan Asia Pulp & Paper (APP) grup Sinar Mas. Arie menyebut, pihaknya hanya bekerja sama dengan grup Sinar Mas. Pihaknya tak pernah bekerja sama dengan sebuah perusahaan sawit pada 2011, sebagaimana dirundingkan KLHK.

Adapun kerja sama dengan Sinar Mas, kata Arie, bermula ketika grup perusahaan yang bergerak di bidang kertas dan sawit tersebut diketahui "Merupakan pemain besar dalam melakukan deforestasi hutan". Setelah mendapat tekanan dari kelompok pemerhati lingkungan dan konsumennya sendiri, Sinar Mas akhirnya berkomitmen untuk menghentikan deforestasi di area konsesinya.

Dari komitemen itulah, Greenpeace Indonesia sepakat bekerja sama memberikan saran dan memantau upaya penghentian deforestasi Sinar Mas. "Kita kemudian kasih advice ke mereka untuk membuat kebijakan konservasi lahan dan nol deforestasi di grup ini, di semua perusahaanya," kata Arie kepada Republika, Rabu (17/11).

Dengan demikian, kata Arie, tudingan KLHK bahwa Greenpeace tak pernah mempermasalahkan deforestasi yang dilakukan Sinar Mas adalah salah besar. Justru penghentian deforestasi itulah pokok kerja sama Greenpeace dengan Sinar Mas. Greenpeace juga mempersoalkan aktivitas produksi grup tersebut di lahan gambut dan di kawasan hutan.

Arie juga menyoroti tudingan KLHK yang menyebut, selama bekerja sama, Greenpeace tak pernah meminta pencabutan izin Sinar Mas di lahan gambut dan di kawasan hutan. Arie mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah berulang kali mengkampanyekan hal itu.  

"Kan Greenpeace bukan pemerintah yang punya kewenangan. Seharusnya KLHK yang mencabut izin tersebut berdasarkan temuan KLHK," ungkap Arie.

Ironisnya, kata Arie, ketika beberapa tahun silam Greenpeace mengkampanyekan soal penggunaan lahan gambut dan kawasan hutan oleh Sinar Mas, KLHK justru membantah. "Kan lucu ya pernyataan Sekjen KLHK ini yang dulunya Dirjen. Ketika Greenpeace mengkampanyekan kerusakan-kerusakan yang disebabkan Sinar Mas, dia yang kemudian membantah bahwa itu adalah kampanye yang akan merusak ekonomi Indonesia," kata Arie.

Sekjen KLHK Bambang Hendroyono diketahui pernah menjabat Dirjen Bina Usaha Kehutanan KLHK pada 2012-2015.

Arie menambahkan, kerja sama Greenpeace dan KLHK resmi diakhiri pada 2018 silam. Hal itu diumumkan Greenpeace secara resmi di website-nya. Kerja sama berakhir, kata dia, karena Sinar Mas diketahui masih melakukan deforestasi pada 2016-2017 dengan menggunakan jasa perusahaan lain.

Menurut Arie, semua tudingan KLHK ini menunjukkan kebobrokannya lembaga itu sendiri. Saat Greenpeace ingin berdebat terbuka terkait data deforestasi, KLHK malah berupaya menyerang Greenpeace.

"KLHK malah secara subjektif menyampaikan informasi-informasi sampah untuk publik," katanya.

 

Perubahan iklim ancam 100 juta warga Afrika. - (republika)

 
Berita Terpopuler