Program B30 Diperkirakan Bantu RI Hemat Devisa Rp 56 T

Program mandatori biodiesel B30 juga mendorong stabilitas harga sawit.

Antara/Akbar Tado
Pekerja mengumpulkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Mamuju, Sulawesi Barat, Ahad (14/11/2021). Harga TBS kelapa sawit tingkat pengepul sejak dua bulan terakhir mengalami kenaikan dari Rp 2.180 per kilogram naik menjadi Rp 2.850 per kilogram disebabkan meningkatnya permintaan pasar.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program bahan bakar biodiesel 30 persen diperkirakan membantu negara menghemat devisa hingga Rp 56 triliun tahun ini. Kementerian Koordinator Perekonomian mendorong agar riset produk sawit untuk bahan bakar terus ditingkatkan.

Baca Juga

"Industri sawit ini selain mendorong kemandirian energi, mengurangi emisi gas, juga mengurangi impor solar senilai Rp 38 triliun rupiah tahun 2020. Tahun ini dengan adanya program B30 diperkirakan terjadi penghematan devisa sebesar 56 triliun rupiah,” kata Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam siaran pers, Rabu (17/11).

Lebih lanjut, ia menuturkan, program mandatori biodiesel B30 juga mendorong stabilitas harga sawit dan membuat sawit masuk dalam supercycle dengan harga sebesar 1,283 dolar AS per ton. Selain itu, sawit juga memberikan nilai tukar kepada petani dengan harga tandan buah segar (TBS) yang juga relatif paling tinggi selama periode ini, yaitu antara Rp 2.800 sampai Rp 3.000 rupiah per TBS.

Dirinya mengharapkan adanya proses perbaikan yang terus-menerus terutama dari hulu mulai dari perbaikan benih/varietas, pupuk, alat mesin, kultur budidaya, cara-cara teknik panen, sampai dengan hilir berupa pengembangan produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, memperluas pasar, serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.

Terkait dengan situasi kebun sawit, saat ini kepemilikan masyarakat masih sebesar 41 persen. Oleh karena itu smallholders perlu diberikan dukungan terutama menghadapi isu perubahan iklim dan juga isu terkait dengan hasil kebun rakyat yang selama ini lebih rendah daripada kebun yang dimiliki oleh swasta maupun BUMN.

Diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masuk pada zona positif di kuartal II dan III tahun 2021 tidak terlepas dari peran kelapa sawit yang berkontribusi mencapai 15,6 persen dari total ekspor non-migas dan menyumbang sekitar 3,5 persen terhadap PDB nasional.

Untuk itu, industri yang mempekerjakan 16,2 juta pekerja tersebut perlu terus didukung dengan penelitian dan pengembangan agar memiliki daya saing sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Peran riset dan pengembangan serta pemanfaatan teknologi menjadi sangat penting dalam meningkatkan bargaining position negara.

Ia mengatakan, riset dari industri sawit diharapkan menitikberatkan pada tiga pilar utama. Pertama, aspek penguatan, aspek pengembangan, dan aspek peningkatan pemberdayaan perkebunan dan industri sawit yang bersinergi baik dari hulu maupun hilir.

Kedua, yang terkait dengan konsolidasi data, produktivitas, peningkatan kapasitas maupun teknologi di pabrik kelapa sawit, dan tentunya pemberdayaan petani sawit. Ketiga, pengembangan domestik market dengan penggunaan bahan bakar nabati, dan riset di bidang pengembangan biodisel 100 dan avtur.

“Riset ini harus terus dilakukan agar produk sawit bisa terus memberikan nilai tambah, dan hilirnya juga perlu ditingkatkan," ujarnya.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan akan terjadi penurunan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga akhir tahun 2021. Penurunan ekspor tersebut seiring produksi minyak sawit domestik yang cenderung stagnan.

"Ekspor sangat tergantung produksi karena pemenuhan dalam negeri menjadi prioritas," kata Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono dalam konferensi pers jelang Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2021, Rabu (17/11).

Diketahui total produksi CPO nasional periode Januari-September 2021 mencapai 34,85 juta ton atau naik tipis dari periode sama 2020 sebesar 34,41 juta ton. Adapun ekspor khusus CPO selama Januari-September 2021 sebesar 2,23 juta ton. Nilai tersebut turun dari periode sama tahun lalu yang tembus 5,35 juta ton.

"Produksi sampai September itu flat, jadi mau tidak mau akhirnya ekspornya ya akan berkurang dan itu sudah terlihat sampai September bahwa ekspor (CPO) kita mengalami koreksi," kata Joko.

Sementara itu total ekspor produk CPO, baik minyak mentah dan turunannya sekaligus olahan minyak kernel sawit pada periode Januari-September 2021 ini tercatat 25,67 juta ton. Angka itu mencatat kenaikan dari tahun lalu 24,07 juta ton.

Joko menambahkan, total konsumsi domestik produk CPO tahun ini mencapai 13,72 juta ton meningkat dari tahun lalu sebesar 12,92 juta ton. Konsumsi itu tersebar untuk kebutuhan pangan, oleokimia, hingga biodiesel untuk bahan bakar kendaraan bermotor.

"Tiga bulan ini (kuartal IV 2021) produksi kita masih waswas kalau flat saya menduga ekspor terkoreksi karena domesti harus diutamakan juga," ujarnya.

Adapun dalam tren bulanan, Direktur Eksekutif Mukti Sardjono mengatakan, produksi CPO Indonesia pada September mencapai 4.176 ribu ton. Volume itu turun sekitar 1 persen dari bulan Agustus dan masih belum naik seperti yang diharapkan.

Alhasil, ekspor minyak sawit bulan September 2021 ikut turun menjadi 2,886 juta ton setelah pada Agustus lalu mencatatkan volume ekspor hingga 4,274 juta ton. Seiring dengan penurunan volume ekspor dari Agustus ke September, nilai ekspor produk minyak sawit juga turun menjadi 3,111 miliar dolar AS dari 4,433 milliar dolar AS pada bulan Agustus.

 

 
Berita Terpopuler