Perjuangan Atlet Berhijab Lawan Stereotip Negatif

Menjadi atlet, muslim, dan hijab, merupakan tantangan tersendiri.

islamicvoice.com
Atlet Muslimah (ilustrasi)
Rep: Zahrotul Oktaviani, Muhammad Ikhwanuddin, Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Oleh: Zahrotul Oktaviani, Muhammad Ikhwanuddin

Baca Juga

JAKARTA – Menjadi atlet, muslim, dan hijab, merupakan tantangan tersendiri bagi Fairouz Gaballa. Gaballa adalah atlet lari lintas alam atau Cross County di University of Prince Edward Island, Kanada.

Jalannya menjadi atlet terbilang panjang, namun ia sudah merasakan tantangannya. Tak sekedar bicara soal kemampuan namun lebih banyak identitasnya yang menjadi sorotan 

"Ketika saya berlari, ada saat-saat ketika saya merasa terpinggirkan dan berbeda dari semua orang di sekitar. Saya memakai jilbab dan tidak banyak yang menggunakannya di lapangan, atau di tempat lain di Pulau Prince Edward," kata dia dikutip di CBC, Ahad (14/11).

Gaballa merasakan betul sterotip seorang perempuan Muslim yang tak jauh dari kata tertindas dan terbelakang. Belum lagi, bicara soal ledekan rasis yang sering dialaminya. 

Gaballa pertama kali mulai mengenakan jilbab saat berada di kelas 8, dan menganggapnya sebagai salah satu perilaku berasaskan agama. Tapi beberapa tahun kemudian, ia mulai memahami siapa dirinya, pernyataan manis terkait identitasnya dalam menghadapi Islamofobia.

Infografis Mengenal Ragam Penutup Kepala Muslimah - (Republika.co.id)

"Ada hal-hal luar biasa yang datang dari mengenakan jilbab, seperti tidak pernah mengalami bad hair day lagi. Namun dalam masyarakat barat, ada beberapa hambatan dalam mengenakan jilbab. Selain prasangka dan diskriminasi yang sering saya hadapi, saya menyadari tidak banyak atlet yang juga berhijab," lanjutnya.

Sejauh ini, ia merasa senang menjadi atlet yang kebetulan memakai hijab. Jilbab tidak mendefinisikan sebagai pribadi, tetapi menjadi bagian dari dirinya dan sesuatu yang tidak akan pernah ia lepaskan.

 

Sukses

Ibtihaj Muhammad membuktikan bahwa hijab bukan penghalang seorang wanita Muslim untuk mewujudkan mimpi dan mencetak sejarah. Ia membuktikannya melalui bidang olahraga anggar ketika meraih kesuksesan di Olimpiade Rio 2016 lalu. 

Ibtihaj menjadi atlet Amerika Serikat (AS) Muslim pertama yang meraih medali olimpiade dengan mengenakan hijab. Lewat perunggu yang ia raih empat tahun lalu, ia membuktikan wanita Muslim dapat berjaya sambil berusaha bertakwa.

Buah kesuksesan dari kehidupannya pun dituangkan ke dalam buku berjudul 'The Proudest Blue: A Story of Hijab and Family' yang sempat dinobatkan sebagai buku paling laris versi The New York Times pada 2019 lalu.

Ibtihaj mengatakan, orang tua adalah sosok paling berpengaruh dalam kehidupannya saat ini. Sebab sejak masih anak-anak, ayah ibunya meminta Ibtihaj untuk tidak mengubah gaya pakaiannya dengan hijab.

Sadar pakaian bernuansa agama rentan menemui berbagai halangan, orang tuanya pun memberi saran agar Ibtihaj menekuni anggar karena olahraga tersebut mewajibkan atlet mengenakan baju pengaman yang tertutup seluruhnya.

"Anggar mengakomodasi kepercayaan saya dalam beragama. Kelihatannya mudah, tapi saya sempat kesulitan hingga pada 2010 saya menembus timnas AS," kata Ibtihaj seperti dilansir Hypebae, Kamis (6/8). 

"Saya wanita berkulit hitam Muslim pertama yang memenangkan medali olimpiade. Petualangan hidup saya sangat sulit untuk mengubah persepsi orang atas latar belakang saya dalam dunia anggar."

 

Untuk membuat tetap percaya diri di arena, Ibtihaj mengatakan kekuatan ibadah adalah kuncinya. Sebelum memulai aktivitas sehari-hari, ia selalu menunaikan Shalat Subuh kemudian sarapan sambil mendengarkan musik.

Untuk membuat tetap percaya diri di arena, Ibtihaj mengatakan kekuatan ibadah adalah kuncinya. Sebelum memulai aktivitas sehari-hari, ia selalu menunaikan Shalat Subuh kemudian sarapan sambil mendengarkan musik.

 

 

 

 
Berita Terpopuler