Beda Sukarno-Natsir, Pujian untuk Attaturk, dan Pancasila

Sukarno dan Natsir berbeda pendapat terkait bentuk negara Indonesia

Republika/Thoudy Badai
Sukarno dan Natsir berbeda pendapat terkait bentuk negara Indonesia. Ilustrasi Pancasila dan Agama
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Pancasila sebagai dasar negara merupakan kesepakatan suci atau mitsaqan ghalidha bangsa Indonesia setelah melalui debat panjang yang bermutu tinggi.    

Baca Juga

Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, perdebatan yang paling bermutu ialah perdebatan antara dua tokoh Islam, yakni Sukarno dan M Natsir.

"Perdebatan yang paling menonjol dan bermutu adalah perdebatan dua tokoh Islam yakni Soekarno dan Natsir sejak akhir 1930-an," ungkap Mahfud lewat keterangannya kepada Republika.co.id, Kamis (11/11).

Mahfud menilai, keduanya sama-sama merupakan tokoh dan pejuang Islam. Keduanya, kata dia, hanya berbeda dalam meletakkan hubungan antara Islam dan negara ketika Indonesia akan merdeka kala itu.

Keduanya pun dia lihat sama-sama ingin melihat umat Islam maju di dalam negara yang juga maju. "Semula, Sukarno ngotot mendirikan negara sekuler Indonesia sedangkan Natsir ingin negara Islam. Tapi akhirnya keduanya mencapai persetujuan yang indah, yakni, lahirnya negara kebangsaan Indonesia yang berketuhanan atau religious nation state," kata Mahfud. 

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu pun meringkas perdebatan Sukarno-Natsir yang menjadi debat seluruh warga bangsa itu. Mahfud memulai ringkasan itu dari 1938, sepuluh tahun setelah Sumpah Pemuda yang bertekad mendirikan negara merdeka.

Baca juga: Sempat Kembali Ateis, Mualaf Adam Takjub Pembuktian Alquran

 

Ketika itu, kata dia, Sukarno secara tiba-tiba membuat serangkaian tulisan di Majalah Panji Islam yang isinya memuji-muji Kemal Attaturk yang telah mengubah Turki dari negara Islam menjadi negara sekuler. 

Menurut Mahfud, Bung Karno saat itu menyatakan negara harus dipisahkan dari agama agar keduanya sama-sama maju seperti yang dilakukan oleh Kemal Attaturk.

Baca juga:Tiga Perangai Buruk dan Tiga Sifat Penangkalnya  

"Tulisan-tulisan Sukarno itu dibantah Natsir dengan argumen yang tak kalah hebat. Kata Natsir, justru negara itu harus menyatu dengan agama. Islam, kata Natsir, bisa menyediakan semua perangkat yang dibutuhkan oleh negara modern sehingga kalau kita mau mendirikan negara merdeka Indonesia maka dasarnya yang tepat adalah Islam," jelas Mahfud.

Mahfud menilai debat itu...

 

Mahfud menilai debat itu penuh retorika tingkat tinggi. Artikel-artikel yang Sukarno tulis kala itu, yakni "Memudakan Pengertian Islam", "Mengapa Turki Memisahkan Agama dari Negara", "Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara", dan lain-lain.

Sementara Natsir menyanggah dengan artikel-artikel "Persatuan Agama dan Negara", "Ichwanus Shafa", "Rasionalisme dalam Islam", "Arti Agama dalam Negara", dan lain-lain. 

"Ketika Indonesia akan merdeka perdebatan itu masuk ke dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di sana ada perdebatan tentang negara kebangsaan Islam dan negara kebangsaan sekuler," kata Mahfud. 

Ketika itu, sidang pleno pertama macet dan ditutup pada 1 Juni 1945 tanpa kesepakatan. Pada 22 Juni 1945, jelas Mahfud, Bung Karno memimpin Tim Sembilan yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta. 

Baca juga: Rasulullah SAW Terbiasa Menahan Lapar Sejak Usia Muda

 

Dalam Piagam tersebut, sila pertama dari lima dasar negara berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". 

"BPUPK menyetujui Piagam Jakarta itu pada tanggal 10 Juli 1945. Tetapi Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) yang melanjutkan tugas BPUPK pada tanggal 18 Agustus 1945 memperbarui kesepakatan itu dgn menngganti tujuh kata pada sila pertama sehingga menjadi 'Ketuhanan yang Maha-Esa'," ujar Mahfud. 

Dari sanalah lahir NKRI yang berdasarkan Pancasila sebagai kesepakatan luhur. Indonesia, kata Mahfud, bukan negara sekuler seperti yang dulu diperjuangkan oleh Bung Karno dan kawan-kawan. Indonesia juga bukan negara Islam seperti yang dulunya diperjuangkan  Natsir dan kawan-kawan.

"Sukarno yang memang Islam santri menerima pentingnya agama dalam bernegara, Natsir yang juga santri tidak bisa menolak kenyataan bahwa bangsa ini majemuk sehingga tidak bisa dipaksa menjadi negara Islam," jelas dia. 

Mahfud menyatakan, karena itulah NKRI berdasar Pancasila merupakan darul mitsaq menurut NU atau darul ahdi wassyahadah menurut Muhammadiyah, yakni negara yang lahir karena kesepakatan dan perjanjian suci. 

Baca juga: Kian Dalami Islam, Mualaf Thenny Makin Yakin Kebenarannya

Menurut dia, kenyataan Sukarno mengambil peran utama dalam seluruh proses itu tak dapat dibantah. Tak dapat dibantah pula, dalam arti umum Soekarno, seperti halnya Natsir, adalah santri yang saleh. 

 

"Keduanya membuat gerbong yang sama-sama kuat untuk membangun mitsaqan ghalidha. Di negara Pancasila, negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu tetapi melindungi semua warga negara yang ingin melaksanakan ajaran agamanya masing-masing," kata Mahfud.   

 
Berita Terpopuler