Kemenperin Tolak Labelisasi BPA Kemasan Pangan

Sertifikasi BPA justru menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia.

123rf.com
BPA Free
Rep: Novita Intan/Antara Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian menolak pemberian sertifikasi atau labelisasi Bisphenol-A (BPA) Free pada kemasan pangan. Hal ini dikarenakan sertifikasi BPA justru menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia. 

Baca Juga

Direktur Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar)  Kementerian Perindustrian Edy Sutopo mengatakan, saat ini yang diperlukan itu yakni edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA secara benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri pangan.

“Saat ini sertifikasi BPA belum diperlukan. Sertifikasi BPA hanya akan menambah cost dan mengurangi daya saing  Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (11/11).

Adapun batas aman BPA dalam kemasan makanan ini sudah diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Di dalam aturan ini semua persyaratan migrasi zat kontak pangan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan pangan, tidak hanya BPA saja. Tapi juga zat kontak pangan lainnya termasuk etilen glikol dan tereftalat yang ada pada plastik pangan berbahan PET. 

Dalam peraturan BPOM yang dikeluarkan pada tahun 2019 itu juga dijelaskan bahwa tidak ada kemasan pangan yang free dari zat kontak pangan. Tapi, di sana diatur mengenai batas migrasi maksimum dari zat kontak itu, sehingga aman digunakan sebagai kemasan pangan.

Sebelumnya, Anggota Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Hermawan Seftiono dan Pakar Kimia ITB Ahmad Zainal juga sudah menegaskan semua produk pangan yang sudah memiliki izin edar sudah diuji keamanannya. Artinya, produk pangan itu sudah sesuai pedoman dan kriteria yang ditetapkan BPOM dan Kemenperin.  

“Keamanan pangan, itu sudah ada aturannya, yaitu wajib SNI (Standar Nasional Indonesia). Jadi, jika sudah memiliki SNI, produk pangan itu sudah sesuai dengan kriteria aman digunakan oleh konsumen,” ucapnya.

Banyak kalangan menyoroti kandungan BPA dalam kemasan plastik terutama yang bersentuhan langsung dengan anak. Dokter spesialis anak Farabi El Fouz, menyampaikan kekhawatirannya akan dampak buruk dari penggunaan wadah plastik yang mengandung bahan kimia Bisphenol A atau BPA. Ia mengajak kepada masyarakat agar waspada.

“Kalau mau pakai wadah plastik sebaiknya hati-hati. Kita harus waspada dengan yang ada goresan karena akan membuat luka plastik sehingga konten-konten dari plastik masuk ke dalam makanan. Kita juga harus hati-hati memasukan masakan yang panas karena bisa menimbulkan migrasi BPA ke makanan," kata Farabi dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

Farabi mengatakan pengetahuan terhadap bahaya Bisphenol A ini sangat penting diketahui oleh publik. Apabila terjadi akumulasi dalam waktu lama, kata dia, bisa menimbulkan penyakit yang serius seperti kanker, gangguan hormon, penyakit jantung koroner, diabetes, gangguan kekebalan tubuh, dan ketidaknormalan enzim pada hati dan lain sebagainya.

 

Lebih lanjut Farabi menjelaskan Bisphenol A atau BPA ini mempunyai manfaat untuk bahan campuran yang dapat mengeraskan plastik sehingga plastik bisa lebih tahan lama, kuat dan mudah dibentuk. Sayangnya, BPA ini masih digunakan untuk plastik kemasan.

“Sayangnya, sebagian besar ibu-ibu di Indonesia membuat susu atau bubur bayi dari air yang bisa saja berasal dari wadah galon isi ulang yang mengandung BPA. Padahal semua wadah bayi sudah free BPA. Sehingga ini yang mengkhawatirkan. Karena bagi bayi, balita dan janin tidak disarankan bersentuhan dengan BPA,” tuturnya.

Terkait dengan masih banyaknya penggunaan BPA dalam kemasan plastik yang selalu digunakan dalam kehidupan berkeluarga, Farabi berharap kepada pemegang regulasi bisa bersikap lebih menjaga kepentingan masyarakat. Ia berharap pemegang regulasi mewajibkan ketentuan diberi label peringatan agar wadah plastik yang mengandung BPA terdapat label peringatan supaya tidak digunakan oleh bayi, balita dan janin. 

“Intinya kita berharap pemegang regulasi memperhatikan hal tersebut,” kata Farabi.

 
Berita Terpopuler