Sentra Industri Berbasis Energi Bersih di Indonesia

Dunia industri saat ini sangat teliti soal emisi karbon.

Pertamina
Subholding PNRE merupakan generasi masa depan Pertamina, dan merupakan energi baru bagi Pertamina untuk mewujudkan transisi energi, mendukung ketahanan energi nasional, serta mampu mewujudkan Indonesia yang bersih sesuai dengan komitmen pemerintah dalam Paris Agreement.
Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Intan Pratiwi

Baca Juga

Sepulang dari perhelatan COP 26, Wakil Menteri I BUMN Pahala Nugraha Mansury menceritakan dalam paparannya di COP 26, ia mengatakan pemerintah akan membuat tiga sentra industri yang berbasis energi bersih. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah mengurangi emisi karbon dan juga menangkap peluang investor yang lebih memilih pengembangan industri berbasis energi bersih.

"Pemerintah mengembangkan tiga wilayah percontohan yang bebentuk sentra industri berbasis green energi. Tiga wilayah tersebut, Jawa Barat, Sumatra Selatan dan Banten," ujar Pahala kepada Republika.co.id, Senin (8/11).

Pahala menuturkan, dunia industri saat ini sangat teliti soal emisi karbon. Sebab, di beberapa negara diterapkan pajak karbon bagi para industri yang menghasilkan karbon. Sedangkan di Indonesia, pajak karbon ini rencananya juga akan diterapkan pada tahun depan.

Hal ini kemudian, kata Pahala, menjadi kunci daya tarik juga bagi para investor untuk berinvestasi di Indonesia, karena Indonesia sudah punya sentra industri yang sumber energinya, dalam hal ini salah satunya adalah pasokan listrik yang berbasis energi bersih.

"Kita akan bekerja sama dengan PLN, Pertamina Power Indonesia dan beberapa kawasan industri BUMN dan swasta untuk mengembangkan sentra industri berbasis green energi untuk menangkap peluang ini," ujar Pahala.

Pahala menyebutkan, di Jawa Barat sebagai wilayah pilot project pertama sudah tersedia PLTA dan PLTP  baik yang dioperasikan PLN dan Pertamina. Begitu juga di Sumatra Selatan.

Coporate Secretary Subholding Power and Renewable Energy Pertamina Dicky Septriadi menilai, potensi kapasitas terpasang pembangkit EBT yang ada saat ini juga mampu memenuhi kebutuhan listrik sektor industri.

Saat ini, kata Dicky, Subholding Power & NRE sendiri sudah banyak mengoperasikan pembangkit berbasis EBT. Untuk di Jawa Barat sendiri sudah ada PLTP Kamojang dengan kapasitas 235 MW.

Sedangkan di Sumatra Selatan, kata Dicky Pertamina punya PLTP Lumut Balai dengan kapasitas terpasang 55 MW. Selain itu ada PLTP Ulubelu dengan kapasitas terpasang 220 MW.

"Terkait potensi tersebut, tentunya kita akan support karena aspirasi dari KBUMN selaku ultimate shareholder kita," ujar Dicky kepada Republika.co.id.

Senada dengan Pertamina, PLN juga menangkap potensi pengembangan sentra industri berbasis green energy dengan antusias. EVP Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Agung Murdifi menjelaskan kapasitas terpasang pembangkit EBT yang ada saat ini mampu mendukung kebutuhan listrik sektor industri.

Agung menjelaskan saat ini porsi EBT dalam bauran energi kapasitas terpasang milik PLN mencapai 12,56 persen atau sebesar 2,9 GW. Dengan komposisi Panas Bumi sebesar 5,54 persen, Tenaga Surya sebesar 0,4 persen, Biomassa 0,20 persen dan PLTB sebesar 0,18 persen.

Agung juga menjelaskan investor tak perlu ragu untuk berinvestasi di Indonesia, karena pemerintah dan PLN juga sudah menerbitkan RUPTL Hijau dimana porsi EBT jauh lebih besar dibandingkan fosil fuel.

"Hingga 2030 mendatang PLN mentargetkan akan mencapai 23,8 GW pasokan listrik berbasis EBT," ujar Agung dihubungi terpisah.

Khusus untuk mendukung rencana pemerintah dalam membuat industri berbasis energi bersih, Agung merinci saat ini di Jawa Barat saja PLN telah mengoperasikan PLTM Cikaso dengan kapasitas 10 MW. Selain itu, ada PLTM Cikandang dengan kapasitas 6 MW dan PLTM Cibanteng dengan kapasitas 4,4 MW dan PLTM Cibuni Mandiri sebesar 2 MW.

"Kami juga mengoperasikan PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara, PLTS Terapung cirata dengan kapasitas 145 MW. Dengan kapasitas terpasang EBT yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan industri, khususnya Industri yang memang ingin memakai energi berbasis energi hijau," ujar Agung.

Peluang investasi

Peluang investasi EBT di Indonesia cukup terbuka lebar. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengutarakan besarnya potensi bisnis EBT di Indonesia dilihat dari sisi potensi EBT yang belum dioptimalkan. 

"Peluang pertama dan utama tentu saja Indonesia memiliki sumber daya baru dan terbarukan yang melimpah, terutama solar, diikuti oleh hidro, bioenergi, angin, panas bumi, dan lautan, dengan total potensi 648,3 GW, termasuk potensi uranium untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Hingga saat ini, baru 2 persen dari total potensi yang telah dimanfaatkan," kata Arifin.

Di samping itu, Arifin menyoroti harga energi baru dan terbarukan mulai tumbuh kompetitif, khususnya harga Solar PV global yang cenderung menurun. Apalagi didukung dengan pengembangan teknologi baru seperti pumped storage, hidrogen, dan Battery Energy Storage System (BESS) sehingga akan mengoptimalkan pemanfaatan potensi EBT yang melimpah di Indonesia. "Ini bisa bersaing dengan energi fosil," ungkapnya.

Meningkatnya kebutuhan energi, jelas Arifin, mendorong pemerintah untuk terus menyediakan akses energi ke seluruh lapisan masyarakat terutama di wilayah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) dengan harga terjangkau dan tetap memperhatikan ketersediaan sumber daya energi setempat. Kondisi in sejalan dengan pemenuhan target rasio elektrifikasi 100 persen di tahun 2022 mendatang. 

"Tentu ini menjadi peluang bagi pengembangan EBT karena harga bahan bakar fosil di daerah terpencil bisa begitu mahal, sedangkan sumber EBT tersedia dan dapat dimanfaatkan secara lokal," tegasnya.

Pemerintah sendiri terus memperkuat kerangka peraturan untuk memastikan keberhasilan transisi energi di Indonesia. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021-2030 memberikan porsi lebih besar kepada EBT. "Energi terbarukan akan berkontribusi lebih besar dalam penambahan kapasitas pembangkit listrik, di mana 20,9 GW sumber energi terbarukan untuk listrik, atau 51,6 persen dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga tahun 2030," jelas Arifin.

Di samping itu, pemerintah juga menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang mengatur tentang mekanisme perdagangan karbon dan pajak atas karbon. "Salah satu prinsip utama dari kebijakan tersebut adalah mengenakan pajak karbon pada kegiatan yang menghasilkan karbon dan memberi insentif efisiensi-karbon,"ungkap Arifin.

 

 
Berita Terpopuler