Kembalinya Xavi ke Barcelona, Antara Bimbang dan Asa

Xavi Hernandez bisa dibilang masih bau kencur dalam dunia kepelatihan.

EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Xavi Hernandez.
Rep: Reja Irfa Widodo Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Era baru Barcelona seolah sudah dimulai, bahkan sebelum sang pemberi harapan itu resmi diperkenalkan kepada publik di Stadion Camp Nou. La Blaugrana sudah mencatatkan keunggulan tiga gol saat laga lawatan ke markas Celta Vigo baru menginjak menit ke-34, Ahad (7/11) dini hari WIB.

Kurang dari 24 jam setelah Barcelona resmi mengumumkan perekrutan Xavi Hernandez sebagai pengganti Ronald Koeman di kursi pelatih, Memphis Depay dan kawan-kawan langsung menunjukkan sinyal kebangkitan via performa apik pada setengah jam pertama laga pada pekan ke-13 La Liga Spanyol tersebut.

Namun, keunggulan tiga gol pada babak pertama dibuang percuma oleh Barca. Tim tuan rumah mampu bangkit dan akhirnya menutup laga dengan skor imbang, 3-3.

Barca memang belum stabil. Kendati begitu, ada antusiasme dan optimisme besar menyusul penunjukan Xavi sebagai pelatih anyar menggantikan Ronald Koeman. Latar belakang personal dan cerita sukses pelatih berusia 41 tahun itu saat masih merumput bersama Blaugrana menjadi pangkal dari antusiasme tersebut.

Xavi menjadi simbol asa dari upaya Barcelona untuk keluar dari krisis dan keterpurukan, terutama performa di atas lapangan. Secara khusus, pemain yang mempersembahkan 25 trofi bergengsi selama 17 tahun memperkuat tim utama Barcelona itu dianggap sebagai pewaris dari gaya dan identitas permainan Barcelona, tiki-taka.

Xavi adalah metronom permainan Barcelona yang bergelimang sukses kala di bawah kendali Pep Guardiola pada 2008-2012. Jebolan La Masia itu dinilai menjadi penerjemah terbaik dari modifikasi gaya permainan tiki-taka yang diusung Guardiola di atas lapangan. Seperti halnya saat Guardiola menjadi penerjemah taktik dan strategi yang diterapkan Johan Cruyff dalam enam tahun terakhirnya membesut Barcelona.

Visi bermain dan obsesi Xavi terhadap penguasaan bola serta memanfaatkan ruang sekecil mungkin di lini belakang lawan diharapkan bisa ditransmisikan kepada para penggawa Barca saat dirinya berdiri di pinggir lapangan. Namun, Xavi akan mewarisi Barcelona yang benar-benar berbeda dibanding yang terakhir kali dia ingat.

Koeman seolah mencabut Barcelona dari identitas permainannya. Pelatih asal Belanda itu sempat berkilah tidak memiliki pemain yang cukup mumpuni untuk bisa menerapkan gaya permainan tiki-taka. Kendati begitu, ini semata-mata bukan soal opsi pemain di tim utama, melainkan kemampuan dan pemahaman Koeman dalam menerjemahkan filosofi permainan Barca.

Belum lagi langkah kontroversi Koeman mencoret sejumlah pemain yang sebenarnya masih memiliki kemampuan. Ketidakmampuannya dalam menjaga hubungan dengan para pemain senior membuat suasana ruang ganti Blaugrana dikabarkan tidak kondusif.

Baca Juga

Terlepas dari keberhasilan Koeman membawa titel Copa del Rey pada musim lalu, eks pelatih Valencia itu terbukti tak bisa lagi menyelamatkan performa Barca pada musim ini. Hanya memetik empat kemenangan dari 10 laga, Barcelona tertahan di papan tengah klasemen sementara La Liga. Barca pun terseok-seok di Liga Champions.

Melorotnya kepercayaan diri, tidak adanya visi dan karakter permainan yang kuat dari Barcelona, menjadi sederet tantangan yang harus dijawab Xavi. Di titik ini, keraguan mulai muncul terkait kemampuan Xavi.

Maklum, Xavi bisa dibilang masih bau kencur dalam dunia kepelatihan. Eks gelandang timnas Spanyol itu baru memulai kiprahnya sebagai pelatih pada 2019 dan tidak punya pengalaman menukangi klub di daratan Eropa. Klub Qatar Al Sadd menjadi tim profesional pertama yang ditangani Xavi sejak resmi memegang lisensi kepelatihan.

Xavi bahkan sempat dua kali menolak tawaran manajemen Barcelona, yaitu pada Januari dan Agustus 2020, lantaran merasa belum siap memoles Blaugrana. Tak hanya itu, status legenda yang dimiliki mantan pemain di sebuah klub tidak menjadi jaminan kesuksesan saat kembali ke klub tersebut sebagai pelatih.

Kiprah Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United ataupun Frank Lampard di Chelsea dapat menjadi contoh anyar anggapan tersebut. Kendati begitu, Guardiola berusaha memberangus keraguan.

Guardiola bahkan menyebut Xavi jauh lebih siap dibandingkan dirinya saat pertama kali menangani Barca pada awal musim 2008/2009. Guardiola malahan tak pernah menukangi tim senior sebelumnya. Pada saat itu, resume kepelatihannya baru sebatas tim Barcelona B.

Namun, dengan membawa semangat baru dan ide permainan yang lebih segar, Guardiola langsung membawa Barcelona meraih tiga gelar sekaligus, La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions pada musim debutnya menangani tim utama. Torehan yang saat ini masih terpatri sebagai salah satu prestasi terbaik tim raksasa asal Katalan tersebut.

 
Berita Terpopuler