Sempat Kembali Ateis, Mualaf Adam Takjub Pembuktian Alquran

Mualaf Adam berdiskusi tentang keberadaan Allah SWT

Dok Istimewa
Mualaf Adam berdiskusi tentang keberadaan Allah SWT. Mualaf Adam
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Adam Ahmad Daud Abdurrahman memiliki pengalaman yang cukup panjang sebelum mantap memeluk Islam. Lelaki yang lahir dengan nama Davidson Nainggolan itu telah mengenal agama tauhid sejak dirinya berusia anak-anak. Bahkan, saat berumur 10 tahun, pria asal Jakarta itu sudah berniat menjadi Muslim. 

Baca Juga

Menurutnya, intensinya saat itu muncul setelah melihat teman-temannya yang Muslim rajin beribadah. Setiap azan Maghrib berkuman dang, misalnya, mereka langsung meninggalkan permainan dan bergegas ke masjid. 

Adam mengenang, momen itu sangat menyentuh hatinya. “Saya lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang kebanyakan Muslim. Hampir semua teman saya itu Muslim,” ujar dia kepada Republika beberapa waktu lalu. 

Karena tertarik dengan kebiasaan kawan-kawannya itu, ia pun menirunya. Sesekali, kenang Adam, dirinya bahkan ikut shalat berjamaah atau mendengarkan pengajian di masjid. Beberapa temannya kemudian mengajaknya untuk berislam. 

Baca juga: Kian Dalami Islam, Mualaf Thenny Makin Yakin Kebenarannya

Untuk menjadi Muslim, ternyata syaratnya cukup mudah. Seseorang hanya perlu mengucap kan dua kalimat syahadat dan mengerti artinya. Maka Adam kecil pun melafalkan pernyataan ikrar tersebut. Waktu itu, yang menjadi saksinya adalah seorang saudara jauh. 

Meskipun begitu cepat, Adam saat itu sudah menyadari konsekuensinya menjadi seorang Muslim. Ia paham bahwa kalau sudah berislam, dirinya wajib melaksanakan ibadah-ibadah, semisal sholat atau puasa Ramadhan. Dengan sekuat daya, ia melakukannya. 

Baca juga: Rasulullah SAW Terbiasa Menahan Lapar Sejak Usia Muda

Akan tetapi, Adam masih menyimpan rasa waswas. Ia takut kedua orang tuanya mengetahui kabar keislamannya. Karena itu, setiap akhir pekan dirinya masih mengikuti ritual agama ayah dan ibunya. Adapun sepanjang Senin hingga Sabtu, bocah lelaki ini berusaha tidak meninggalkan sholat lima waktu atau mengaji bersama teman-temannya. 

Sebagai seorang mualaf cilik, Adam saat itu tentunya memerlukan bimbingan lebih lanjut. Ia ingat, waktu itu ada seorang guru agama di mas jid dekat rumahnya. Namanya, Ustaz Suripto. Beberapa kali, Adam kecil bersama beberapa kawannya sempat mengikuti kajian yang digelar sang ustadz. Namun, dai itu kemudian pindah ke luar kota. 

Setelah itu, Adam sempat merasa kehilangan arah.... 

Setelah itu, Adam sempat merasa kehilangan arah. Terlebih lagi, keluarganya sudah mengetahui bahwa kini ia telah berislam. Ayah dan ibunya marah bukan kepalang, sampai-sampai dirinya sempat akan diusir. Bagaimanapun, ia pantang kembali kekeyakinan lama. Semasa remaja, Adam masih menjadi Muslim kendati ibadahnya sehari-hari banyak bolong. Lama kelamaan, ia merasa, iman dalam hatinya melemah. 

Usia Adam kemudian genap 20 tahun. Seperti yang dikatakan orang-orang, inilah momen pencarian jati diri. Adam mulai mempertanyakan komitmennya sendiri pada Islam. Ia juga tertarik pada konsep yang menyamaratakan semua agama. Kalau begitu, untuk apa menjadi Muslim? tanyanya saat itu.

Puncaknya, Adam meragukan keberadaan Tuhan karena Dia tidak terlihat. Jika ibadah sekadar didirikan untuk menyembah Tuhan, menurutnya, itu sama saja seperti agama-agama lain. Persepsinya ketika itu, Untuk apa masih memeluk Islam jika ini sama dengan agama-agama lainnya? 

Meskipun tebersit keraguan, Adam toh enggan meninggalkan Islam. Dia tetap saja melaksanakan sholat lima waktu atau berpuasa. Akan tetapi, ketika itu dirinya dilanda dahaga akan jawab atas pertanyaan-pertanyaan tentang ketuhanan. 

Baca juga: 4 Jalan Menuju Allah SWT Menurut Imam Syadzili 

 

 

Melalui takdir-Nya, Adam berjumpa lagi dengan sahabat semasa kecilnya. Teman dekatnya itu lalu mengajaknya bertemu dengan seorang mubaligh, Ustadz Eko.

“Dai ini lebih suka disapa dengan sebutan mas, alih-alih ustadz. Dulu semasa kecil, saya diajarkan cukup ketat. Misalnya, dilarang mendengar musik, bercelana haruslah di atas mata kaki, dan lain-lain. Jadi ketika melihat sosok Mas Eko, saya merasa, dia memiliki perspektif yang berbeda dengan ustadz-ustadz sebelumnya yang pernah saya temui,” tutur Adam. 

Pada suatu hari, Adam meminta kesediaan mubaligh itu untuk berdiskusi. Mas Eko bersedia menerimanya. Pertama-tama, mualaf ini ditanya perihal kepercayaan yang dianutnya sekarang. Adam tentu menjawab bahwa dirinya masih Muslim. 

Baca juga: Nasihat KH Mashum Sufyan Supaya Tiru Filosofi Beras

Selanjutnya, Mas Eko bertanya tentang hal yang sangat fundamental: siapa itu Allah? Adam hanya menjawab sekenanya, berdasarkan apa-apa yang diketahuinya sejauh ini. Ia mengatakan, bahwa Allah adalah Tuhan dibuktikan dengan Alquran. 

Mas Eko rupanya tidak puas dengan jawaban ringkas Adam. “Saya perlu bukti untuk membuktikan bahwa Alquran benar dan bahwa kamu yakin, Alquran membuktikan keberadaan Allah,” ucap Adam menirukan perkataan Ustadz tersebut. 

Adam hanya bisa tertegun...

Adam hanya bisa tertegun. Ia merasa, pertanyaan Mas Eko itu hanyalah pancingan agar dirinya mengucapkan pertanyaan yang selama ini menjadi beban di hatinya. Sepertinya, dia akan mendapat jawaban itu dari orang yang baru dikenalnya ini. 

Mas Eko kemudian menjelaskan, mengenal Tuhan haruslah dengan akal. Maka dari itu, ketika beragama, seseorang tidak akan mudah goyah. Sebab, dirinya telah yakin tentang kebenaran agamanya. Manusia memiliki akal pikiran. Ustadz itu lalu mencontohkan kisah Nabi Ibrahim AS saat mencari Tuhan.

Baca juga: Tiga Perangai Buruk dan Tiga Sifat Penangkalnya  

 

 

Riwayat tersebut ada di dalam Alquran. Yakni, ketika ayahanda Nabi Ismail dan Nabi Ishaq itu mula-mula mengira bahwa bintang, bulan, dan matahari adalah Tuhan. Pada akhirnya, rasul Ulul Azmi itu menyadari, semua benda langit itu selalu timbul-tenggelam. Zat Yang menciptakan dan menggerakkan mereka, itulah satu-satunya yang pantas disembah. 

“Manusia diciptakan dengan kemampuan berpikir, tetapi akal toh terbatas. Karena itu, manusia memerlukan wahyu untuk menuntunnya kepada kebenaran,” ujar Adam meniru nasihat Mas Eko. Wahyu itu adalah Alquran. Mas Eko mengatakan, Allah SWT menyatakan Diri-Nya adalah Tuhan semesta alam melalui firman- Nya di dalam Alquran. 

Baca juga: Brasil Kini Punya Kota yang Jadi Destinasi Wisata Halal 

Inilah satu-satunya kitab suci yang dengan tegas menyebutkan Dia sebagai Tuhan. Penyebutan ini sesuai dengan salah satu sifat-Nya, Al- Mutakabbir, 'Dia Yang Memiliki segala ke agungan.' 

“Sedangkan di agama lain, dalam kitab mereka masing-masing, tidak ada yang berani mengakui bahwa zat tertentu adalah Tuhan semesta alam,” ucapnya. Adapun tentang bukti kebenaran Alquran, itu dijelaskan dalam kitab suci itu sendiri. Misalnya, surat al Isra ayat 88.

Allah SWT menantang semua makhluk-Nya untuk membuat yang serupa dengan Alquran. Katakanlah, 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.' 

 

Setelah diskusi itu, Adam bertobat nasuha kepada Allah. Ia kembali merasa, imannya kuat dan teguh. Komitmennya terhadap Islam kian dalam. Tidak lagi terpikir untuk kembali ke agama lama atau menjadi ateis. Saat itu, kedua orang tuanya sudah menganggap dirinya telah dewasa.

Mereka tak lagi mempersoalkan perbedaan keyakinan. Pilihan Adam untuk memeluk Islam tak lagi diganggu-gugat. Adam tetap tinggal bersama orang tuanya. Setiap perayaan hari besar keagamaan, ia selalu datang untuk menghormati mereka.   

 
Berita Terpopuler