Muslim Sri Lanka Hadapi Diskriminasi dan Pelecehan

Permusuhan terhadap Muslim Sri Lanka meningkat pada taraf yang mengkhawatirkan

AP/Eranga Jayawardena
Seorang pria memegang plakat bertuliskan mengapa presiden takut pada menteri kehakiman saat protes oleh biksu Buddha Sri Lanka yang pro-pemerintah di luar kantor presiden meminta pemerintah untuk tidak meninjau kebijakan wajib kremasi bagi korban COVID-19 Muslim, di Kolombo, Sri Lanka, Senin, 28 Desember 2020.
Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zahrotul Oktaviani

KOLOMBO -- Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyebut Muslim di Sri Lanka secara konsisten menjadi sasaran karena keyakinan agama mereka. Sejak 2013, mereka menghadapi diskriminasi, pelecehan dan kekerasan dari mayoritas Buddha di negara itu.

Dalam sebuah laporan yang baru-baru ini dikeluarkan, Amnesty mengatakan permusuhan terhadap Muslim meningkat pada taraf yang mengkhawatirkan, utamanya sejak serangan bom Paskah pada 2019 dengan persetujuan diam-diam dari pihak berwenang.

"Diskriminasi ini telah berkembang dari serangkaian serangan massa yang dilakukan dengan impunitas, menjadi kebijakan pemerintah yang secara eksplisit mendiskriminasi Muslim, termasuk kremasi paksa korban Covid-19 Muslim dan proposal saat ini melarang Niqab (cadar) dan madrasah (sekolah agama)," tulis laporan tersebut dikutip di 5 Pillars UK, Rabu (3/11).

Wakil Sekretaris Jenderal Amnesty International, Kyle Ward, mengatakan sentimen anti-Muslim di Sri Lanka bukanlah hal baru. Namun, situasinya meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Insiden kekerasan terhadap Muslim, yang dilakukan dengan persetujuan diam-diam dari pihak berwenang, terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan. Hal ini disertai dengan adopsi retorika dan kebijakan pemerintah saat ini, yang secara terbuka memusuhi umat Islam.

“Pihak berwenang Sri Lanka harus mematahkan tren yang mengkhawatirkan ini dan menegakkan tugas mereka melindungi Muslim dari serangan lebih lanjut, meminta pertanggungjawaban pelaku dan mengakhiri penggunaan kebijakan pemerintah untuk menargetkan, melecehkan dan mendiskriminasi komunitas Muslim,” kata dia.

Gerakan nasionalis Buddhis Sinhala, kelompok di balik mayoritas kekerasan anti-Muslim, memiliki tujuan menegakkan supremasi politik, ekonomi dan agama Buddhis Sinhala. Mereka percaya, umat Islam asing bagi negara dan keberhasilan ekonomi maupun demografi yang mereka rasakan tidak proporsional, sehingga menimbulkan ancaman bagi umat Buddha Sinhala.

Permusuhan yang meningkat ini disebut dimulai dengan kampanye anti-halal. Saat itu, kelompok nasionalis Buddha Sinhala berhasil melakukan lobi mengakhiri sertifikasi halal makanan, sebagai tanda makanan yang boleh dikonsumsi oleh umat Islam sesuai dengan Alquran dan adat istiadat Islam.

Kampanye tersebut lantas memunculkan sejumlah serangan terhadap masjid dan bisnis Muslim. Laporan yang sama menyebut, kurangnya akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab bertindak sebagai sinyal kepada orang lain, bahwa tindakan kekerasan terhadap Muslim dapat dilakukan dengan impunitas.

Pada 2015 Pemerintah baru menjanjikan keadilan dan akuntabilitas bagi etnis dan agama minoritas. Namun, tak lama setelah pemilu, kekerasan massa anti-Muslim berkobar dan terus berlanjut.

Laporan tersebut merinci bagaimana selama insiden di kota pesisir selatan Ginthota pada 2017 dan serangan terhadap Muslim di Digana dan Ampara pada 2018, para pelaku lolos dari pertanggungjawaban. Polisi serta angkatan bersenjata tidak berbuat banyak untuk mencegah kekerasan.

Demikian pula, lonjakan kekerasan terhadap Muslim terlihat setelah pemboman Paskah pada 2019. “Setelah serangan ini, pada 13 Mei 2019, Muslim di beberapa kota di Provinsi Barat Laut Sri Lanka diserang selama Ramadhan, bulan paling suci dalam kalender Islam. Masjid-masjid di seluruh negeri juga diserang dan serentetan 'ucapan kebencian' dan kata-kata kasar anti-Muslim terlihat di media sosial", tulis laporan tersebut.

Tak hanya itu, laporan itu juga menyoroti pemerintah saat ini, yang dipimpin oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa, terus menargetkan dan mengkambinghitamkan penduduk Muslim untuk mengalihkan perhatian dari masalah politik dan ekonomi sejak menjabat.

Kebijakan kremasi wajib terkait mayat korban Covid-19 tetap dilaksanakan, meski kremasi secara tegas dilarang dalam Islam. Aturan ini dilakukan dengan kurangnya bukti ilmiah yang mendukung klaim mengubur korban akan meningkatkan penyebaran penyakit.

"Kami mendesak pihak berwenang memikirkan kembali proposal yang saat ini sedang dipertimbangkan, dan bagi masyarakat internasional untuk memantau dan mengambil langkah-langkah memastikan kebebasan dan perlindungan komunitas minoritas di Sri Lanka,” kata Kyle Ward.

Laporan tersebut mendokumentasikan beberapa kasus di mana undang-undang ini telah disalahgunakan untuk menargetkan individu. Salah satunya Hizbullah Hizbullah, seorang pengacara dan aktivis yang telah ditahan selama lebih dari 15 bulan. Ahnaf Jazeem selaku seorang penyair dan guru, ditangkap pada 16 Mei 2020 menyusul klaim yang tidak berdasar tentang puisi berbahasa Tamilnya.

 
Berita Terpopuler