MA Cabut PP Pengetatan Remisi Koruptor

Pemidanaan berdasarkan putusan hakim dan tak boleh ada hukuman tambahan di luar itu. 

ANTARA/Makna Zaezar
Warga binaan melakukan sujud syukur usai menerima surat remisi Kemerdekaan RI di Lapas Kelas IIA Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (17/8/2021). Pada peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-76 Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi terhadap 134.430 narapidana dan anak yang tersebar di seluruh Indonesia.
Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rizkyan Adiyudha

 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku mendukung putusan Mahkamah Agung (MA) terkait pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012. PP tersebut mengatur tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, pemidanaan harus berdasarkan putusan hakim dan tidak boleh ada hukuman tambahan di luar itu. Artinya, sambung dia, apabila ada penghapusan hak narapidana, maka hal itu sebaiknya menjadi bagian dari putusan hakim.

"Penghuni terbesar lapas adalah terpidana narkoba, sebagian merupakan pemakai. Kalau disyaratkan sebagai justice collaborator (JC), maka hal itu akan memberatkan mereka karena narkoba jaringan tertutup dan melibatkan mafia, termasuk oknum," kata Edwin dalam keterangan, Senin (1/11).

Dia mengatakan, penghuni penjara di Indonesia saat ini sudah melebihi kapasitas alias //overcrowded//. Dia melanjutkan, khusus bagi JC, Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur mengenai penanganan khusus dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

"Pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lain merupakan bentuk penghargaan bagi JC atas kesaksian yang mereka berikan," katanya.

Edwin mengatakan, dalam praktiknya PP nomor 99 Tahun 2012 menghambat implementasi pemenuhan hak narapidana seperti diatur dalam Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dia mengungkapkan, terjadi penyimpangan atau kolusi antara terpidana dengan oknum aparat untuk mendapatkan status JC agar narapidana bisa mendapatkan haknya.

Dia mengatakan, hal yang anehnya yakni bila pelaku tunggal juga bisa diterbitkan status JC. Lagi pula, sambung dia, pengalaman LPSK mengungkapkan kalau sebagian kepala lapas lebih merujuk PP ini dibandingkan Pasal 10A yang juga mengatur hak-hak narapidana bagi JC.

Saat ini Kemenkumham juga tengah menyusun peraturan turunan dari Pasal 10A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Dengan demikian, kata dia, pencabutan PP nomor 99 Tahun 2012 sejalan dengan penyusuan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun Kemenkumham.

Menurutnya, pemerintah tidak perlu ragu untuk melaksanakan putusan MA tersebut. Dia mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya terhadap judicial review terhadap Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diajukan terpidana kasus korupsi OC Kaligis pada September lalu juga berpendapat senada.

Dia mengatakan, MK menegaskan semua terpidana yang sedang menjalani masa pemidanaan di lapas, berhak mendapatkan remisi sebagaimana dijamin UU Pemasyarakatan. Namun, dia melanjutkan, karena tidak berwenang mengadili PP, MK tidak mencabut PP nomor 99 Tahun 2012.

 

Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi). - (Antara/Akbar Nugroho Gumay)

 

Tidak sehat bagi upaya pemberantasan koruspi

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai, bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) soal Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012, sangat janggal. MA mencabut PP nomor 99 tahun 2012 sehingga memudahkan koruptor untuk mendapatkan remisi.

"Oleh karena itu putusan ini sangat janggal dan tidak sehat bagi upaya pemberantasan koruspi," kata Feri Amsari di Jakarta, Ahad (31/10).

Menurutnya, putusan MA terkait pencabutan PP tersebut patut dipertanyakan. Terlebih, sambung dia, pencabutan PP dimaksud bertentangan dengan putusan MA tentang hal serupa yang menegaskan bahwa tidak ada permasalahan soal pembatasan hak bagi koruptor.

"Dan di dunia juga dikenal konsep pembatasan hak terahdap napi khusus, terutama kejahatan luar biasa," katanya.

Feri menjelaskan, PP 99 tahun 2012 sebenarnya juga tidak menghalangi para koruptor untuk mendapatkan remisi. Dia mengatakan, mereka bisa mendapatkan potongan hukuman sepanjang memenuhi dan menjalankan syarat semisal menjadi Justice Collabolator (JC).

Feri mengatakan, JC merupakan hal penting guna mengungkap secara tuntas sebuah perkara korupsi. Menurutnya, keberadaan JC sangat membantu aparat dalam mengusut perkara korupsi sehingga ketiadaannya berpotensi membuat kasus korupsi tidak terpecahkan.

Dia menilai, putusan MA jelas janggal dalam praktik-praktik pemberantasan korupsi. Menurutnya, dibutuhkan hakim yang betul-betul memahami gagasan pemberantasan korupsi dengan baik dan tindakan luar biasa dalam melawan pelaku tindak pidana rasuah.

"Mestinya menghadapi kasus tindak pidana extra ordnidary seperti terotirs atau korupsi perlu juga tindakan extra ordinary. Makanya saya bilang ada banyak hal yang patut dipertanyaakn dalam putusan MA ini," katanya.

Seperti diketahui, MA mencabut dan membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera. Namun, pemidanaan sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice.

Pandangan MA juga didasarkan pada pendapat bahwa narapidana bukan hanya objek melainkan juga subjek yang dapat melakukan kekhilafan yang bisa dikenakan pidana. Atas dasar itu mereka tidak harus diberantas namun yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

"Bahwa berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, maka rumusan norma yang terdapat didalam peraturan pelaksanaan UU No. 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," ungkap pertimbangan majelis.

Dengan pertimbangan tersebut, maka hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Artinya, keputusan itu juga berlaku setara bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

Keputusan ini diketuk oleh Ketua Majelis Supandi yang beranggotakan Yodi Martono W dan Is Sudaryono. Sementara pihak yang mengajukan uji materil ini adalah Subowo dan kawan-kawan. Mereka merupakan mantan kepala desa dan warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung.

 

Sebelumnya, PP Nomor 99 Tahun 2012 menyatakan bahwa pelaku tindak pidana korupsi, teror, dan narkoba bisa mendapatkan remisi. Namun, remisi diberikan dengan syarat lebih ketat dibandingkan narapidana lainnya.

 
Berita Terpopuler