Peluru 2024 untuk Anies Baswedan

Upaya menggerus kepercayaan terhadap Anies terus digalang.

Dok Pemprov DKI
Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan.
Red: Joko Sadewo

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Nama Anies Baswedan tak akan bisa pernah lepas dari konstelasi hari ini hingga 2024. Suka atau tidak, dia akan menjadi salah satu dari pusaran kekuatan politik dalam konteks pilpres. Kekuatan ini dalam arti ketokohan, figur, elektabilitas, sebagai prasyarat berdiri menjadi calon kontestan.

Secara personal, modal Anies Baswedan hampir lengkap jika sulit untuk bilang sudah siap. Elektabilitasnya sebagai calon presiden selalu muncul bersaing dengan yang lain di berbagai lembaga survei. Namanya selalu berebut tempat dengan beberapa nama di level atas. Jika tren elektabilitas seperti ini terus bertahan menjelang 2024, kemungkinan realistisnya, partai politik akan berkompromi.

Soal gagasan, sudah tuntas. Anies bahkan sudah menyiapkannya sebelum 2014. Kita tentu belum lupa dengan keikutsertaannya sebagai peserta konvensi Partai Demokrat. Retorika yang rapi sebagai manifestasi penyampaian ide jadi ciri khasnya. Kemampuan menarasikan gagasan memang salah satu poin lebih mantan rektor Universitas Paramadina ini.

Anies juga sudah didekralasikan secara ‘resmi’ oleh kelompok relawan yang menamakan Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES). Klaimnya memang tidak diketahui Anies soal deklarasi ini. Spontanitas mereka bilang. Tetapi dalam percaturan politik, setiap langkah tak ada yang kebetulan. Semua direncanakan melalui berbagai kalkulasi dengan variabel yang menyertai. Termasuk untung rugi secara opini.

Analisis peristiwa ini beragam. Ada yang bilang hanya test the water, menjaga elektabilitas karena akan terus diperpincangkan, hingga upaya mengetuk pintu partai politik dengan secara tidak langsung menyatakan ‘saya siap dicalonkan’. Semuanya bisa benar. Karena setiap kemungkinan dalam politik tidak akan pernah ada yang bisa menegasikan satu dan yang lain secara mutlak.

Baca juga : Luhut Ungkap Modus Pelanggaran PeduliLindungi

Antitesis pemerintah

Yang menjadi pembeda antara Anies dan tokoh dengan elektabilitas di papan atas seperti Ridwan Kamil maupun Ganjar Pranowo, adalah terkait positioning-nya. Jika mereka bertiga mewarnai kontestasi politik di 2024, Anies punya diferensiasi. Salah satu think tank sekaligus juru kampanye Jokowi-Jusuf Kalla pada pilpres 2014 ini dipersepsikan secara kuat sebagai antitesis dari pemerintah saat ini.

Lahirnya Anies sebagai gubernur DKI Jakarta akan selalu dikaitkan dengan peristiwa besar aksi 212 di Ibu Kota. Anies-Sandi adalah pemenang dari gabungan gemuruh kontestasi pilkada DKI dan peristiwa itu. Semuanya berkelindan, meski secara normatif bisa saja dipisahkan. Tapi di lapangan, akan sulit diterima jika kita mengatakan itu tidak berkaitan.

PDIP sebagai oposisi utama di DKI Jakarta terus memborbardir Anies dengan berbagai isu, dari.....

 

PDIP sebagai oposisi utama di DKI Jakarta terus memborbardir Anies dengan berbagai isu, dari banjir hingga Formula E. Partai banteng bergandeng tangan bersama PSI mengajukan interpelasi, meski kemudian gagal tak cukup syarat. Tetapi bahwa PDIP dan PSI sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi terus berupaya menggerus kepercayaan publik terhadap Anies di level DKI, itu kenyataan yang sulit ditutupi.

Fakta-fakta itulah yang semakin memperkuat persepsi publik terhadap Anies sebagai tokoh yang ‘berbeda’ dengan pemerintah saat ini. Pasti akan ada untung rugi bagi Anies dengan positioning seperti ini. Tetapi jangan pernah lupa, Anies adalah salah satu tokoh politik yang pandai betul memanfaatkan momentum.

Ketika Pilkada DKI 2017, Anies mampu mengkapitalisasi ketidakpuasan masyarakat terhadap Ahok menjadi suara untuknya. Isu keberpihakan terhadap rakyat kelas bawah, penggusuran, hingga reklamasi, terus diulang-ulang dalam setiap kesempatan. Anies-Sandi mengambil sikap berseberangan dengan pejawat di isu-isu itu.

Keberanian mengambil posisi secara diametral inilah yang menjadi salah satu pengerek suara mereka. Anies-Sandi lolos ke putaran kedua, AHY-Silvy pun tersingkir. Dan di putaran kedua ini, jika kita memperhatikan, Anies-Sandi lebih ‘santai’ ketika head to head dengan Ahok-Djarot.

Situasi bisa saja sama terjadi pada pilpres nanti. Celah-celah di pemerintahan Jokowi sangat mungkin dieksploitasi Anies. Sekali lagi, persepsi publik bahwa Anies sebagai antitesis pemerintahan saat ini, bisa menjadi pijakan yang menguntungkan secara elektoral.

Kita ambil satu contoh saja ‘kekurangan’ yang ada pada pemerintahan saat ini. Sikap gemar melapor para pendukung pemerintah terhadap mereka yang mengkritik adalah poin minus pemerintah saat ini di mata publik. Anies bahkan pernah menyentil dengan mengunggah sebuah potret aktivitas sedang membaca buku ‘How Democracies Die’.

Baca juga : Kecelakaan LRT Diduga Akibat Kelalaian Masinis

Foto itu diunggah Anies tak lama selepas kepulangan Habib Rizieq Shihab di Tanah Air. Anies yang sempat menemui Rizieq akhirnya berbuntut panjang. Dia harus memenuhi panggilan Polda Metro Jaya untuk diperiksa terkait dugaan pelanggaran protokol kesehatan. Lantas, muncul lah foto itu.

Sebaliknya, Anies maupun pendukungnya belum pernah terdengar melaporkan para pengkritiknya. Disebut Giring PSI sebagai pembohong, Anies bergeming. Diberi rapor merah dari LBH Jakarta, dia justru menyediakan Balai Kota sebagai tempat mereka mempublikasikan kritiknya. Ini bisa jadi ‘investasi’.

Pemerintah bisa saja mengatakan ‘kami tidak antikritik’. Tetapi di mata publik, Anies telah selangkah di depan untuk isu ini. Fakta-fakta itu pasti akan menjadi salah satu, ya, salah satu pelor bagi Anies Baswedan untuk berkontestasi di 2024.

Kendaraan politik

Sistem politik di Indonesia mengharuskan capres diusung partai politik atau koalisi partai politik. 20 persen minimal kursi di DPR, atau 25 persen suara hasil pemilu. Parpol sebagai kendaraan pencapresan ini juga satu tantangan Anies. Termasuk juga Ridwan Kamil. Dan bisa jadi Ganjar Pranowo, jika PDIP memaksakan Puan Maharani sebagai capres atau paling tidak cawapres.

Sejauh ini, parpol yang pernah secara terbuka mengungkap keinginannya mengusung Anies adalah.....

Sejauh ini, parpol yang pernah secara terbuka mengungkap keinginannya mengusung Anies adalah Nasdem. Dengan berbagai cara, bisa saja ini akan serius direalisasikan. Realita tidak adanya kader parpol yang ‘layak’ dicapreskan mengharuskan mereka mencari tokoh untuk menaikkan pamor partai di pemilihan legislatif, termasuk Nasdem. Cara ini sebenarnya tidak baru, tetapi sangat mungkin masih efektif. Sehingga, baik tokoh maupun parpolnya, sama-sama diuntungkan.

Partai pimpinan Surya Paloh itu bisa saja memberi Anies gelar kehormatan kader Nasdem, atau bahkan jabatan sangat penting di DPP, misalnya. Jeda dua tahun sebelum pilpres pascalengser sebagai gubernur DKI adalah momen krusial. Karenanya, Anies akan tetap butuh panggung untuk terus tampil di depan publik.

Anies juga sebelumnya telah bilang bahwa ia akan keliling Indonesia setelah selesai tidak menjabat sebagai gubernur. Di Pilkada DKI, kelilingnya Anies di Ibu Kota dengan bertemu masyarakat selalu dijadikan legitimasi program-programnya dalam kampanye. Sekarang ia mau keliling Indonesia. Ini isyarat sangat jelas. Pola yang sama.

Di sisi lain, Nasdem jelas tak bisa mengusung sendirian capres-cawapres. Butuh koalisi politik. Di sinilah ada tawar menawar. Melihat rekam jejak Anies, rasanya ia tak akan mau menjadi nomor dua. Terakhir, pilkada DKI menjadi buktinya. Meski tak berparpol, ia menjadikan elektabilitasnya sebagai posisi tawar.

Artinya, kemungkinan besar orang keduanya adalah dari petinggi parpol. Karena jika capres dan cawapres tak berparpol, resistensi di partai pengusung akan besar, bahkan bisa buyar tidak ketemu. Setidaknya ada tiga ketua umum parpol yang bisa saja bersanding dengan Anies. Ada Airlangga Hartarto Golkar, Muhaimin Iskandar PKB, dan AHY Demokrat.

Jika Anies-Airlangga, koalisi Nasdem dengan Golkar sudah cukup. Sementara Anies-Muhaimin juga sudah cukup karena melebihi 20 persen kursi di DPR. Jika skenario Anies-AHY, Nasdem dan Demokrat mengumpulkan 113 kursi alias belum menggenapi syarat 115 kursi atau 20 persen dari total 575 kursi DPR. Butuh satu lagi parpol, bisa PAN atau PPP, dua parpol terbawah di DPR. Ini akan panjang jika diteruskan dengan kalkulasi untung rugi, ceruk pemilih, dan variabel-variabel lain terkait elektoral.

Sekali lagi, semua itu kemungkinan. Sangat mungkin pula dinamika akan mengubah semuanya. Kombinasi kemungkinan amat banyak. Belum lagi jika Prabowo Subianto nekat kembali maju di 2024, maka peta dan konstelasi akan berubah. Terlebih jika menteri pertahanan itu akan mengambil jalan beda dengan PDIP.

Baca juga : Penyebab Kapolres Nunukan Pukuli Anak Buahnya

Tetapi yang terpenting, masyarakat melihat dinamika pencapresan sejak prosesnya dengan riang. Satu ungkapan klise yang mesti terus diingat publik adalah tidak adanya kawan dan lawan yang abadi dalam politik. Artinya, kita jangan sampai berantem karena agitasi dan propaganda para politisi.

Keterbelahan yang sudah terjadi sejak 2014, berlanjut di 2017, dan kian menganga di 2019 harus disudahi. Kita musti tutup telinga dengan isu-isu primordial yang terus diamplifikasi para pendengung (buzzer). Kita pun tak perlu terprovokasi, apalagi saling membenci.

Kita, rakyat, mestinya telah belajar dari yang pernah ada. Mereka, yang di atas, kini bisa sangat mesra setelah sebelumnya mengajak kita membantunya ‘bertengkar’. Tapi apa yang kita dapat? Tak lebih dari memburuknya hubungan kita dengan saudara, keluarga, teman, dan tetangga. Semoga tidak terulang.

 
Berita Terpopuler