Disikat Mafia, Puluhan Anak Yatim Terancam Kehilangan Rumah

Beberapa anak yatim jadi korban kekerasan oknum yang turut mengawal eksekusi paksa.

Republika/ Yasin Habibi
Spanduk tanda penyegelan tertempel di pagar rumah. (Ilustrasi)
Rep: Ali Mansur Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Puluhan anak-anak yatim Yayasan Yatim Fajar Hidayah, Kota Wisata, Ciangsana, Bogor, terancam kehilangan tempat berteduh. Itu terjadi setelah dua rumah yang selama ini mereka tinggali, secara diam-diam dilelang melalui Pengadilan Negeri Cibinong Kelas I A. Bahkan mereka dipaksa angkat kaki dan mengosongkan barang-barangnya dari tempat tinggal mereka di kawasan Kota Wisata, Ciangsana, Bogor.

Pemilik sekaligus Ketua Yayasan Fajar Hidayah, Kota Wisata, Bogor, Mirdas Eka Yora, mengatakan, eksekusi telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Cibinong pada Kamis (21/10) kemarin. Disebutnya, selain penuh dengan kedzaliman, eksekusi tersebut dilakukan secara bar-bar. Sampai-sampai beberapa anak yatim menjadi korban kekerasan oknum yang turut mengawal eksekusi paksa rumah yatim tersebut.

“Namanya eksekusi pemaksaan. Ada yang dilindas kakinya dengan mesin forklift oleh salah satu oknum. Jadi, pokoknya kita diintimidasi fisik dan fisikis, anak-anak trauma, nangis-nangis,” keluh Mirdas saat ditemui di kediamannya, Jumat (22/10).

Mirdas menceritakan ihwal sengketa lahan dan bangunan itu berawal dari pembangunan sebuah masjid Fajar Hidayah di Kota Deltamas, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada tahun 2006 silam. Dalam pembangunan itu, dia mempercayakan kepada pemborong bernama Abdul Syukur. 

Namun, masjid yang dibangun itu roboh total. Diduga, sarana beribadah dibangun tidak sesuai dengan standar atau ada malpraktik saat membangunan masjid tersebut.

“Proyek itu mesjidnya rubuh total sehingga, hancurnya mesjid itu belum kita tuntut sama sekali,” ungkap Mirdas.

 

Tak sampai disitu, Mirdas mengaku, pihaknya didatangi oleh debtcollector dari suplayer pemborong. Karena usut punya usut pemborong belum membayar bahan bangunan yang diambilnya. 

Padahal, pihak Yayasan Fajar Hidayah sudah membayar lunas proyek senilai Rp 1.731.228.963. Pada akhirnya, Abdul Syukur harus mendekam dibalik jeruji akibat perbuatannya.

“Jadi akhirnya sampai dia pernah bermasalah, sempat masuk penjara, dan istri beliau minta tolong ke saya untuk keluarin, nah saya bantu,” kata Mirdas.

Namun setelah keluar dari penjara, Absul Syukur malah menuding Yayasan Fajar Hidayah menunggak utang senilai Rp 2,3 miliar kepada pihak pemborong. Tak terima dengan tuduhan itu, kata Mirdas, pihaknya membawa perkara ini ke pihak berwajib dan dilakukan audit oleh lembaga independent. Hasilnya, dinyatakan bahwa pihak Yayasan Fajar Hidayah telah membayar lunas dan tidak hutang ke pihak pemborong. 

“Setelah diaudit terbukti kita sudah bayar Rp 3,7 miliar (hasil audit keseluruhan proyek yang pernah Abdul Syukur kerjakan) malah kelebihan 300 juta. Jadi, sudah selesai dengan kondisi proyek tidak sempurna, nah kita tetap masih tidak menuntut,” terang Mirdas.

Kemudian secara diam-diam Abdul Syukur tetap memperkarakannya dengan tuduhan pihak Yayasan Fajar Hidayah belum melakukan pembayaran. Akhirnya, pada medio tahun 2017 silam Pengadilan Negeri Cibinong mengirimkan surat yang dikirimkan ke kelurahan bukan ke pihak Yayasan Fajar Hidayah yang jaraknya beberapa meter dari kantor kelurahan. 

Sehingga, pihak Yayasan Fajar Hidayah tidak mengetahui perihal surat pemanggilan yang sudah dikirim sebanyak empat kali. Akibatnya, perkara tersebut diputuskan secara pihak dan inkrah tanpa adanya sidang.

“Inkrah langsung nggak ada sidang, dan divonis siap dirampas. Ini perampokan, dibilang rekayasa karena kita hanya lima menit dari kantor desa. Ditujukan ke saya, tapi sampainya ke desa. Pernah ditanya ke desa kenapa nggak dikasih ke saya,” ucap Mirdas.

 

Ternyata pihak, secara sepihak Pengadilan Negeri Cibinong telah melakukan lelang terhadap tanah dan bangunan milik Mirdas selaku tereksekusi. Padahal, yang menjadi objek perkara adalah bangunan sarana pendidikan di Kota Deltasmas Bekasi, tapi yang disita kemudian dilelang adalah dua bangunan rumah beserta tanahnya di kawasan Kota Wisata, Bogor yang menjadi tempat tinggal anak-anak yatim saat ini.

Padahal saat itu, lanjut Mirdas, pihaknya masih melakukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek yang masih diperiksa di Mahkamah Agung (MA). Sehingga dengan demikian, Pengadilan Negeri Cibinong telah melanggar hak-hak hukum pihaknya dalam melakukan upaya hukum perlawanan atas putusan verstek yang diterimanya.

“Kita mencari keadilan jangan sampai sekolah Islam dibuat semena-mena mentang-mentang ada yang kuat. Ini perampasan-perampasan seperti ini harus disetop harus, disuarakan tindakan merekayasa seperti menjalani hukum, padahal mafia,” tegas Mirdas.

Diketahui dua buah bangunan rumah beserta tanahnya yang ditempati anak-anak yatim itu telah beralih kepemilikan atas nama Henricus Samodra. Dalam surat pemberitahuan eksekusi tertera ‘Tanah berikut bangunan berdasarkan Sertifikat Hak Guna bangunan No.6021/Ciangsana, Surat Ukur No.111/Ciangsana/2007 Tgl 28-02-2017, luas 240 m2, nama pemegang hak: HENRICUS SAMODRA, yang terletak di Perumahan Kota Wisata Cluster Amsterdam 111 No.31 Kel. Ciangsana Kec. Gunung Putri Kab. Bogor’. 

 

Kemudian Tanah berikut bangunan berdasarkan Sertifikat Hak Guna bangunan No.6021/Ciangsana, Surat Ukur No.112/Ciangsana/2007 Tgl 28-02-2017, luas 240 m2, nama pemegang hak: HENRICUS SAMODRA, yang terletak di Perumahan Kota Wisata Cluster Amsterdam 112 No.32 Kel. Ciangsana Kec. Gunung Putri Kab. Bogor’. 

 
Berita Terpopuler