Tentang Isu Regenerasi Jelang Muktamar NU

Regenerasi menjadi salah satu isu hangat seputar Muktamar ke-34 NU

ANTARA FOTO/Syaiful Arif
Regenerasi menjadi salah satu isu hangat seputar Muktamar ke-34 NU. Ilustrasi Muktamar NU
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Freelance journalist, pemerhati isu sosial dan politik.

REPUBLIKA.CO.ID, Nahdlatul Ulama (NU) akan menggelar Muktamar ke-34 sebagai jalan untuk menentukan pucuk pimpinan 5 tahun ke depan. Sesuai keputusan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar pada akhir September lalu, Muktamar rencananya dilaksanakan di Lampung Tengah, Lampung, 23 - 25 Desember 2021 mendatang. 

Baca Juga

Dari sekian nama kandidat yang muncul sebagai penantang KH  Said Aqil Siroj , sosok KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dinilai yang paling berpeluang. Ulama asal Rembang, Jawa Tengah ini mengusung isu regenerasi sebagai bahan kampanyenya, menawarkan perubahan di struktur kepengurusan pusat NU. Menarik dikaji sejauh mana keseriusan regenerasi akan dilakukan, dan bagaimana NU menyikapinya selama ini?  

Menakar regenerasi 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring memaknai regenerasi merupakan pembaruan semangat atau tata susila sebagai yang utama. Pilihan makna kedua adalah penggantian alat yang hilang atau rusak dengan pembentukan jaringan sel baru, serta makna terakhir adalah penggantian generasi tua kepada yang muda.  

Kata regenerasi berasal dari generation, bentuk kata benda yang dalam kamus Oxford berarti all the people who were born at about the same time (Oxford Advance Learner’s Dictionary, New 8th Edition, Oxford University Press, New York, 2010). 

Sedangkan bentuk kata kerjanya, generate, berarti to produce or create something. Kemudian ditambahkan awalan “re” ke dalam generate menjadi regenerate, yaitu to make an area, institution, etc. develop and grow strong again.  

Merujuk pada makna-makna di atas, regenerasi bukan semata-mata soal mengganti (orang) yang tua ke yang lebih muda, namun bagaimana kemampuan menumbuhkan semangat untuk menjadikan sebuah sistem atau institusi menjadi lebih baik ke depannya.  

Apabila nantinya benar-benar maju untuk mempertahankan kedudukannya, Kiai Said akan bertarung dalam usia 68 tahun. Sementara Gus Yahya yang lahir pada 1966, kini berumur 55 tahun.

Di Indonesia beberapa jabatan penting memang “diperbolehkan” diisi mereka yang berusia di atas 45 tahun, batasan usia produktif sebagaimana ditetapkan badan kesehatan dunia, WHO, sebagaimana KH Ma’ruf Amin yang menduduki jabatan Wakil Presiden RI di usia 73 tahun. 

Ironis memang, karena jika merujuk pada prespektif kesehatan yang disusun Kementerian Kesehatan RI, angka 55, 68, maupun 73 sama-sama masuk pada klasifilasi lansia atau lanjut usia. Pertanyaannya kemudian, di mana letak regenerasinya jika yang menawarkan adalah orang yang tergolong lansia? 

Kembali pada kelaziman yang berlaku di Indonesia beberapa pos strategis diisi mereka yang “berumur”, sah-sah saja Kiai Said berkeinginan mempertahankan kedudukannya dan Gus Yahya maju menjadi penantang.

Meski idealnya, jika sungguh-sungguh menginginkan regenerasi berdasarkan perspektif kesehatan dalam pembagian umur, mereka yang berusia di bawah 55 tahun diberikan kesempatan terlebih dahulu. NU sendiri tidak kekurangan stok “generasi muda” yang kapabilitasnya mumpuni untuk menjadi pemimpin organisasi.

Sebut saja Prof H Nadirsyah Hosen, atau Gus Nadir, Gus Ulil Abshar Abdalla, KH Cholil Nafis, KH Asrorun Ni’am Sholeh, atau sosok Gus Baha yang namanya sudah muncul di daftar kandidat berdasarkan survei Indostrategic.  

 

 

 

NU dan kebutuhan regenerasi  

Merujuk definisi NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah, dakwahnya tidak hanya di bidang keagamaan, melainkan juga sosial kemasyarakatan yang mencakup segala lini kehidupan manusia.

Peran keagamaan NU dengan prinsip Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah, khususnya para ulama pesantren sejak dulu memang mampu memberikan solusi konkret bagi problematika kemasyarakatan dan kebangsaan (Ahmad Fathoni, NU Online, 2021).  

Di era kemajuan teknologi perubahan sosial berlangsung begitu cepat. Ditambah terjadinya pandemi Covid-19 yang melanda nyaris semua negara di dunia, menjadikan tantangan yang dihadapi NU semakin kompleks.

Situasinya semakin pelik karena desakan pengusung ideologi transnasional dengan propaganda radikalismenya yang belum kendur, menjadikan peran NU yang memang sudah memproklamirkan politiknya untuk keharmonisan seluruh elemen bangsa menjadi tambah tidak mudah. 

Pembaruan organisasi memang mutlak diperlukan. Pertanyaannya, bagaimana NU sebagai sebuah organisasi menyikapi tantangan itu?  

Apabila regenerasi dimaknai pergeseran dari tua ke muda, kita ulas hal ini dengan melihat susunan struktur kepengurusan PBNU masa khidmad 2015 - 2020 yang sebenarnya sudah menempakkan sosok-sosok “muda” di dalamnya. 

Lihat saja bagaimana Helmy Faishal Zaini sudah ditempakkan sebagai Sekretaris Jenderal di usianya yang tergolong muda. Ada juga jajaran ketua yang dalam kesehariannya memiliki panggilan “Gus” karena usianya, seperti Aizzudin Abdrurrahman, Juri Ardiantoro, Andi Najmi Fuaidi, hingga Robikin Emhas. 

Tidak cukup di struktur pengurus harian, di lembaga-lembaga di dalam organisasi NU saat ini banyak sosok muda, seperti KH  Muhammad Nur Hayid di Lembaga Dakwah, dr Makky Zamzami dan Citra Fitri di Lembaga Kesehatan, atau Ahmad Sudrajat di Lembaga Amil Zakat dan Shodaqoh (NU Care) yang pada prosesnya digantikan Abdul Ro’uf.  

Sementara jika regenerasi dimaknai transformasi organisasi yang semakin maju mengikuti perkembangan zaman, kita bisa melihat bagaimana dakwah NU kini sudah turut memanfaatkan teknologi. 

 

Portal NU Online bahkan sudah ada sejak kepengurusan era KH Hasyim Muzadi. Ketika penggunaan website mulai luntur dan lahir media sosial dengan sarana gawai, dakwah NU-pun turut menggunakannya, yaitu lahirnya kanal NU Chanel dan TV NU di Youtube, serta akun resmi, pribadi di Instagram, dan Twitter.  

Ingin melihat contoh lainnya? Perhatikan bagaimana NU Care LazisNU bertransformasi dan mampu bersaing dengan lembaga sejenis yang bahkan “telah mapan” lebih awal, dengan mampu menggalang dana umat hingga puluhan miliar rupiah dan menyalurkannya kembali untuk kemaslahatan Nahdliyin.

Atau lihat bagaimana NU kini mulai bisa lepas dari bayang-bayang Muhammadiyah di bidang pendidikan tinggi, yaitu telah berdirinya puluhan universitas di berbagai daerah di Indonesia.  

Lewat contoh di atas saya hanya ingin mengatakan, sebagai sosok “tua” yang memimpin NU, Kiai Said tidak menjadikan organisasinya ikut “tua” tanpa memiliki manfaat untuk umat, masyarakat, dan bangsa.

Sejak kepengurusannya di periode pertama regenerasi sudah dilakukan, yang dipertajam di periode kedua 2015 - 2020. Bukan tidak mungkin jika nantinya kembali terpilih untuk ketiga kalinya hal yang sama akan dipertahankan dan bahkan ditingkatkan, mengingat tantangan dakwah NU yang jelas semakin berat.  

Seberat dan sebesar apapun tantangan yang dihadapi, NU tetaplah NU, organisasi yang oleh sebagian kalangan masih dianggap “kuno”, meskipun sebenarnya modernisasi sudah dilakukan. Di kalangan Nahdliyin adalah istilah “NU adalah pesantren dan skala besar”.

Dan di pesantren generasi tua lebih diutamakan menduduki jabatan ketua/pengurus karena dibutuhkan dawuh dan teladannya. Ada pula budaya ewuh pakewuh yang kental, tidak ada keberanian kelompok muda mendesak yang tua lengser menanggalkan jabatannya. 

Saya ingin menutup artikel ini dengan kalimat bijak, “Menjadi tua itu sebuah keniscayaan. Yang terpenting bagaimana semakin tua menjadikan pribadi bertambah bijaksana.”

 

NU sudah terbukti membawa manfaat untuk keharmonisan hubungan antar-manusia di Indonesia dan dunia, dan untuk itu keutuhan dan kiprah NU harus dipertahankan, yang untuk itu dibutuhkan kebijaksanaan pemimpinnya.    

 
Berita Terpopuler