Air di Gaza Telah Tercemar dan Mengandung Racun

Gaza mengalami krisis air bersih yang berdampak cukup signifikan terhadap warganya

AP/Adel Hana
Seorang pemuda Palestina berjalan di antara puing-puing sebuah bangunan yang runtuh setelah terkena serangan udara selama perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel Mei lalu, di Kamp Pengungsi Maghazi, Jalur Gaza tengah, Senin, 12 Juli 2021. Gaza mengalami krisis air bersih yang berdampak cukup signifikan terhadap warganya.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Gaza telah mengalami krisis air bersih yang berdampak cukup signifikan terhadap warganya. Sebagian besar warga Gaza harus membeli air minum dari pemasok swasta karena air keran biasanya terlalu asin untuk diminum.

Sumber air yang tercemar di Jalur Gaza juga berdampak serius pada kesehatan masyarakat, khususnya anak-anak. Mereka menghadapi risiko penyakit yang ditularkan melalui air. Falesteen Abdelkarim (36 tahun) dari kamp pengungsi Al-Shati mengatakan air di daerahnya tidak bisa diminum.

“Rasanya seperti berasal dari laut. Kami tidak bisa menggunakannya untuk minum, memasak, atau bahkan mandi,” kata Abdelkarim dilansir Aljazirah, Rabu (13/10).

Abdelkarim mengatakan warga memiliki akses untuk menggunakan air keran hanya tiga kali sepekan. Bahkan terkadang air itu bercampur dengan limbah karena infrastruktur yang rusak di kamp-kamp pengungsi.

“Hidup di kamp-kamp pengungsi sangat menyedihkan. Kami selalu membeli air minum dari pedagang kaki lima,” kata Abdelkarim yang merupakan ibu dari lima anak.

Sebagian besar pedagang air swasta di Gaza menghilangkan garam air dan menjualnya kepada orang-orang di wilayah tersebut. Harga untuk 1000 liter air biasanya rata-rata adalah 30 shekel atau tujuh dolar AS.

Muhammad Saleem (40 tahun) dari lingkungan Al-Sheikh Redwan di Gaza utara menuturkan upaya dia untuk menumbuhkan kebun di rumahnya telah gagal karena airnya terlalu tercemar. Dia mengatakan air yang tercemar membuat tanamannya menjadi kering dan mati.

“Semua tanaman saya mengering dan mati karena salinitas air yang tinggi dan klorida yang tinggi,” ujar Saleem.

Saleem menambahkan dia tidak mungkin menggunakan air keran kota untuk minum, memasak, atau kebutuhan lainnya. “Jika tanaman mati karena air ini, bagaimana dengan tubuh manusia?" ujarnya.

Organisasi hak asasi manusia telah memperingatkan krisis air bersih yang semakin memburuk di Jalur Gaza. Pada sesi ke-48 Dewan Hak Asasi Manusia PBB Senin (11/10) lalu, Institut Global untuk Air, Lingkungan, dan Kesehatan serta Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Mediterania mengatakan air di Gaza tidak dapat diminum dan secara perlahan telah meracuni warga.

Baca Juga

Baca juga : Indonesia dan Turki Prihatin dengan Situasi Myanmar

"Blokade Israel telah menyebabkan kerusakan serius keamanan air di Gaza dan membuat 97 persen air terkontaminasi. Penduduk dipaksa untuk menyaksikan anak-anak dan orang yang mereka cintai mengalami keracunan," ujar pernyataan bersama sejumlah organisasi hak asasi manusia.

Seorang ahli air yang berbasis di Gaza, Ramzy Ahel, menerangkan pembicaraan tentang krisis air dimulai pada 2012 ketika PBB mengeluarkan pernyataan yang mengatakan Gaza akan menjadi tempat yang tidak layak huni pada 2020.  Sembilan tahun sejak pembicaraan krisis air dimulai, angka dan statistik menunjukkan fakta mengerikan tentang situasi air di Jalur Gaza.

“Semua strategi pembangunan ditunda dan satu-satunya akuifer dari jalur tersebut telah lumpuh selama bertahun-tahun. Tidak ada alternatif, tidak ada sungai atau lembah di Jalur Gaza untuk menghentikan krisis air," ujar Ahel.

Ahel setuj situasi putus asa diperkuat oleh pengepungan Gaza selama 14 tahun oleh Israel. Menurutnya, blokade yang melumpuhkan di Gaza semakin memperburuk masalah.  

"Kami belum dapat membawa peralatan untuk pembangunan pabrik desalinasi pusat selama bertahun-tahun. Satu-satunya pabrik desalinasi juga rusak selama serangan di Gaza (pada Mei)," kata Ahel.

Ahel menuduh Israel membuang air limbah ke Gaza dan memutus arus listrik yang berkelanjutan. Ahel mengatakan pabrik desalinasi dan pengolahan limbah membutuhkan arus listrik yang konstan. Krisis listrik akut juga menghambat pengoperasian sumur air dan pabrik pengolahan limbah yang menyebabkan 80 persen limbah Gaza yang tidak diolah dibuang ke laut. Sementara 20 persen merembes ke bawah tanah.

"Ada kebutuhan mendesak untuk sikap serius PBB dan komunitas internasional untuk menyelamatkan Jalur Gaza yang telah menjadi tempat tidak layak huni," kata Ahel.

Kepala komunikasi di Euro-Med Monitor, Muhammed Shehada, mengatakan sekitar seperempat penyebaran penyakit di Gaza disebabkan oleh polusi air. Sementara 12 persen kematian anak kecil terkait dengan infeksi usus akibat air yang terkontaminasi.

Shehada menambahkan serangan 11 hari Israel di Gaza pada Mei lalu sangat memengaruhi infrastruktur air dasar dan memperburuk krisis di daerah tersebut. Otoritas kota Gaza menyebut 290 fasilitas pasokan air, termasuk satu-satunya pabrik desalinasi di Gaza utara, rusak selama serangan itu. Jaringan pembuangan limbah juga hancur dan jalan-jalan dipenuhi dengan air kotor.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tingkat salinitas dan nitrat di air tanah Gaza telah berada di atas pedoman untuk air minum yang aman. Sekitar 50 persen anak-anak Gaza menderita infeksi yang berhubungan dengan air.

 
Berita Terpopuler